Penanganan Psikologis Korban Bencana Cianjur Belum Menjangkau Semua Wilayah
Korban bencana belum sepenuhnya mendapatkan layanan psikologis untuk menguatkan mereka. Bahkan, sebagian besar dari para korban belum mendapatkan bantuan obat-obatan untuk anak dan kelompok rentan lailnnya.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
CIANJUR, KOMPAS — Penanganan psikologis dan pemulihan trauma untuk korban bencana gempa di Cianjur, terutama untuk anak-anak, masih belum menjangkau semua wilayah. Di lokasi-lokasi terpencil, pengungsi masih membutuhkan bantuan obat-obatan hingga sanitasi.
Sejumlah pengungsian di kawasan terdampak longsor Cianjur masih tersebar di sejumlah lokasi. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Suharyanto di Kantor Bupati Cianjur, Jumat (25/11/2022), menyebut, pengungsian warga tersebar di 110 titik dengan jumlah pengungsi yang bervariasi.
”Pengungsian ini tersebar di 15 kecamatan, butuh strategi dan tenaga yang ekstra dalam pendistribusian logistik ini. Mudah-mudahan ke depan seiring berjalannya waktu akan tersebar ke 60.000 lebih warga Cianjur yang mengungsi,” ujarnya.
Selain pendistribusian logistik, penanganan psikologis korban bencana, terutama anak-anak dan perempuan, juga terus dilakukan. Sekretaris Daerah Kabupaten Cianjur Cecep S Alamsyah menyebut, posko pelayanan psikologi para korban bencana telah disediakan. Namun, belum semua daerah mendapatkan layanan tersebut.
”Sekarang sudah ada layanan psikologi untuk para korban bencana dengan kerja sama Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Kami telah membuka posko yang membantu psikologis para korban untuk kembali bangkit. Namun, ada beberapa daerah yang belum terjangkau dan akan terus kami data,” katanya.
Salah satu daerah yang belum mendapatkan layanan psikologis ada di Kampung Nagrog, Desa Gasol, Kecamatan Cugenang. Hingga Jumat (25/11/2022), ratusan warga di sana masih berkutat dengan kekurangan obat-obatan dan logistik.
Erni (29), ibu dua anak yang tidur di tenda terpal di kawasan RW 001 Kampung Nagrog, masih bingung karena minyak kayu putih miliknya hampir habis. Sementara itu, obat-obatan lain, seperti penurun panas dan obat batuk, belum didapatkan.
Bagi Erni, pelayanan psikologis masih belum terpikirkan karena kesehatan anak-anaknya masih terancam. Apalagi, beberapa hari terakhir kerap turun hujan dan udara malam yang dingin hanya dihalau dengan selimut seadanya.
”Kalau untuk makanan dan minuman kami sudah dapat, tetapi belum ada dapur umum, jadi anak-anak makan seadanya. Kalau malam, ya, pakai selimut yang kami ambil dari reruntuhan rumah. Kami juga belum ada sabun mandi,” ujarnya.
Jarak kampung ini dengan Kantor Bupati Cianjur hanya terpaut 7 kilometer. Namun, di sepanjang jalan, terdapat banyak tenda pengungsi. Sebagian dari mereka belum mendapatkan bantuan.
Hamdani (33), sukarelawan dari RW 001 Kampung Nagrog, menyebutkan, di kawasan itu terdapat lebih dari 27 tenda yang tersebar di antara puing-puing reruntuhan. Dari lokasi tersebut, sebagian berisi anak-anak dan para warga lanjut usia yang rentan terkena gangguan kesehatan.
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi, masalah kesehatan kerap muncul beberapa hari setelah bencana. Hal itu perlu diantisipasi dengan memastikan kebutuhan pada korban bencana terpenuhi, termasuk masalah sanitasi hingga air bersih.
”Yang paling dibutuhkan masyarakat dan harus diakomodasi saat terjadi bencana itu adalah sanitasi dan air bersih. Saat ini gangguan kesehatan masih belum terlihat, tetapi satu minggu ke depan bisa saja ada kenaikan kasus, seperti diare dan saluran pernapasan,” ujarnya.