Kalangan Buruh Meminta agar Upah Disesuaikan dengan Standar Kebutuhan Hidup Layak
Kalangan buruh DIY menolak peraturan pemerintah sebagai dasar penentuan upah. Adapun upah minimum diharapkan ditetapkan sesuai dengan kebutuhan hidup layak.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Agar bisa memenuhi rasa keadilan dan kebutuhan buruh, kalangan pekerja di DI Yogyakarta meminta agar upah minimum provinsi atau UMP dihitung dengan mengacu pada angka kebutuhan hidup layak (KHL).
”Tidak perlu memusingkan PP Nomor 39 Tahun 2021 ataupun Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 karena dua peraturan tidak menawarkan solusi penghitungan upah secara tepat. Agar bisa hidup dengan layak, kami meminta agar UMP dihitung dengan mengacu pada angka KHL saja,” ujar Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY Irsyad Ade, Rabu (23/11/2022).
Dengan mempertimbangkan laju inflasi dan kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan pokok pascakenaikan harga BBM, angka KHL meningkat 60-80 persen. Angka ini jelas tidak sesuai dengan peningkatan upah minimum di tahun 2023, yang dibatasi maksimal hanya 10 persen.
Berdasarkan keterangan dari pemerintah, Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 sengaja diterbitkan untuk memberikan jalan tengah bagi kalangan pengusaha dan buruh dalam hal penentuan upah. Namun, bagi kalangan buruh, permenaker tersebut belum menjadi aturan yang solutif.
”Permenaker sengaja diterbitkan supaya pemerintah terkesan bahwa mereka seolah-olah juga berpihak kepada kalangan buruh. Padahal, di balik semua formula penghitungan upah yang rumit dan membingungkan tersebut, permenaker tetap saja tidak memberikan hitungan angka yang mampu mendukung buruh untuk hidup layak,” ujarnya.
Sementara itu, di Kota Magelang, Jawa Tengah, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Persatuan Buruh Demokrasi Indonesia (SPBDI) Kota Magelang juga mengecam terbitnya peraturan baru berupa Permenaker Nomor 18 Tahun 2022.
”Peraturan baru yang terbit di tengah situasi mendesak untuk segera ditetapkannya upah minimum tahun 2023 justru menimbulkan pro-kontra, kericuhan yang tidak perlu, yang nantinya justru mengganggu ancang-ancang penetapan upah yang sebelumnya telah dibuat dengan mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021,” ujar Yani Supriyadi, Ketua DPC SPBDI Kota Magelang.
Kalangan pengusaha
Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DIY juga menolak Permenaker Nomor 18 Tahun 2022. Selain dinilai cacat hukum karena permenaker semestinya tidak mengganggu peraturan di atasnya, seperti PP, penentuan kenaikan upah maksimal 10 persen, yang ditetapkan tanpa melihat kondisi daerah, dikhawatirkan justru akan menimbulkan semakin besarnya angka disparitas, kesenjangan upah antardaerah.
”Kesenjangan upah yang terlalu tinggi pada akhirnya akan rawan memicu munculnya protes dari kalangan pekerja,” ujar Ketua Apindo DIY Buntoro.
Agar terasa adil untuk semua kalangan, pemerintah diharapkan mengeluarkan aturan dengan lebih memperhatikan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah. Dalam hal ini, DIY, menurut dia, memerlukan perhatian khusus karena kalangan pengusaha masih menanggung beban, dampak dari pandemi, dan baru kembali menata dan menjalankan usaha di tahun ini.
”Dampak pandemi terasa luar biasa karena wisata lesu dan kunjungan ke DIY dibatasi. Kondisi ini jelas tidak mungkin disamakan dengan daerah-daerah lain di luar Jawa, yang perekonomiannya mengandalkan sumber-sumber alam, seperti minyak atau batubara,” ujarnya.
Penentuan upah minimum, menurut dia, juga tidak bisa secara mendadak dipaksakan dengan memakai acuan peraturan baru, seperti Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, karena sebelumnya kalangan sudah melakukan ancang-ancang, menetapkan upah minimum dengan mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021.