Suka Duka Difabel Netra di NTT Menafkahi Hidupnya
Penyandang tunanetra di Kupang butuh dukungan semua pihak. Mereka sebagian besar hidup berkeluarga dan memiliki anak. Penghasilan mereka tidak tetap.
Banyak difabel netra di Nusa Tenggara Timur punya beragam daya. Namun, karya-karya mereka masih saja kerap diabaikan.
Lukas Karong (48) duduk di emper pusat perbelanjaan di Kupang, NTT, Rabu (16/11/2022). Dia membawa tiga kemoceng, barang jualannya.
Sudah lima jam ia duduk di teras itu setelah diantar putranya, Marsel (13), yang duduk di salah satu SMP di Kota Kupang.
”Anak saya antar ke sini. Kami ikut angkot. Anak sudah ke sekolah. Nanti saya dijemput lagi,” kata Karong.
Istri Karong, Marselina (38), juga tunanetra. Ia ibu rumah tangga. Karong menjadi tulang punggung ekonomi bagi keluarga yang beranggotakan empat orang ini.
Biaya kontrak kamar Rp 350.000 per bulan. Belum termasuk biaya hidup sehari-hari. Pendidikan Marsel belum dipungut biaya sekolah.
Baca juga: Perlu Dukungan terhadap Hasil Karya Para Penyandang Tunanetra NTT
Selain berjualan kemoceng Rp 25.000 per buah, Karong juga menjalankan terapi pijat refleksi di rumah atau pijat panggilan. Tarif pijat di rumah Rp 100.000 per jam, pergi ke rumah warga Rp 120.000 per jam, dan dipanggil ke hotel Rp 150.000 per jam.
Akan tetapi, keahlian itu tidak lantas membuatnya sejahtera. Terkadang uang kos ditunggak 2-3 bulan. Jika sampai bulan ketiga belum bayar, pemilik kos mulai bersikap kurang bersahabat.
”Saya berjuang untuk melunasi tunggakan itu, termasuk meminta bantuan anggota keluarga,” katanya.
Ia mengatakan selama 17 tahun hidup di Kupang sudah 10 kali pindah kos. Pemilik kos sering menaikkan tarif setelah satu tahun menetap di rumah itu. Karong pun harus meninggalkan tempat kos tersebut dan mencari tempat lebih murah.
Densi Nitsae (38), difabel netra Kupang lainnya, mengatakan setiap Rabu dan Sabtu menjalankan tugas pijat kesehatan di Klinik Tunanetra, binaan Dinas Sosial NTT. Tarif pijat Rp 75.000-Rp 100.000 per jam.
Akan tetapi, kini tamu sepi. Klinik itu pun tidak banyak masyarakat yang tahu karena letaknya di dalam kompleks perkantoran Dinas Sosial NTT.
Baca juga: Dukung Penyandang Tunanetra Masuk Dunia Kerja
Perempuan dua anak ini juga menjual kemoceng. Bahan baku tali rafia dibeli Rp 42.000 per kg atau Rp 385.000 per 10 kg.
Lia hanya mampu belanja 1 kg untuk menghasilkan 3-5 kemoceng. Harganya Rp 25.000 per kg, tetapi masih saja jarang diminati warga.
”Anak pertama saya delapan tahun, kelas dua SD. Ia sempat membawa kemoceng ke sekolah untuk dijual, tetapi tidak laku dibeli. Jika ada guru atau orangtua siswa pesan, dia bawa, tetapi ini pun sangat jarang,” kata Densi.
Karena tidak menikah resmi dengan mantan suami, ia pun tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Ia sangat bergantung dari hasil pijat kesehatan dan penjualan kemoceng.
”Kalau ditanya penghasilan bulanan, sulit saya jawab. Saya usahkan anak bisa makan, biar hanya nasi dan garam,” katanya.
Baca juga: Pelatihan Penanganan Autisme Dibutuhkan di NTT
Saat ini sedikitnya ada 100 tunanetra di Kota Kupang. Sebanyak 20 orang sudah memiliki rumah tinggal dan 80 lainnya indekos atau tinggal dengan anggota keluarga.
Tunanetra yang sudah memiliki rumah bekerja sebagai PNS, pedagang kecil atau menengah, hingga seniman.
Baca juga: Sosialisasi Kepedulian terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Kupang
Kepala Dinas Sosial NTT Yosep Rasi mengatakan, masyarakat harus peduli terhadap penyandang disabilitas, termasuk tunanetra. Salah satunya memanfaatkan jasa dan keahlian mereka. Dalam keterbatasan, difabel netra telah berjuang menghasilkan sesuatu.
”Ini mestinya dihargai masyarakat. Jangan menilai kemanfaatan produk itu, tetapi nilai perjuangan mereka di tangan kondisi fisik yang terbatas itu. Daya juang mereka itu perlu diapresiasi,” katanya.
Lembaga agama bisa mendorong umat berbelanja hasil produk tunanetra ini. Produk-produk ini bisa dipajang di depan pintu masuk rumah ibadat, seperti gereja. Berbelanja hasil karya kaum disabilitas bagian dari pengamalan cinta kasih.
Anggota DPRD NTT, Viktor Mado, mengatakan, ke depan pemerintah perlu memikirkan permukiman khusus bagi disabilitas sesuai kebutuhan mereka.
Fasilitas umum, seperti pasar, kios, air bersih, listrik, dan puskesmas, disiapkan dan mudah diakses. Di pasar itu mereka bisa menjual hasil-hasil produk mereka. Permukiman ini bisa menjadi destinasi wisata kategori tertentu.
”Ini bagian dari perintah undang-undang yang menyebutkan, kaum fakir miskin dipelihara negara. Karena itu, pemerintah jangan membiarkan kelompok disabilitas ini berjuang sendiri. Bantuan sosial pemerintah selama ini, seperti bantuan langsung tunai, belum cukup bagi kaum disabilitas,” katanya.
Baca juga: Anak Berkebutuhan Khusus Belum Dapat Perhatian Serius di NTT