Perlu Dukungan terhadap Hasil Karya Para Penyandang Tunanetra NTT
Masyarakat perlu memberi dukungan terhadap setiap hasil karya para tunanetra. Dalam keterbatasan, mereka berjuang dengan segala kemampuan menghasilkan sesuatu untuk menghidupi ekonomi keluarga.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Masyarakat diajak memberi perhatian dan kepedulian khusus terhadap hasil karya para penyandang tunanetra. Dalam keterbatasan yang ada, mereka berjuang bekerja dan berkreasi untuk mendapatkan sesuatu dari hasil karya itu. Berbelanja hasil karya kaum tunanetra, sekaligus mendapatkan pahala dari Tuhan.
Kemajuan teknologi digital telah membantu penyandang tunanetra untuk berkomunikasi dan berkarya. Perlu perhatian pemerintah terhadap anak-anak tunanetra dalam perekrutan tenaga birokrasi atau BUMN dan BUMD.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur Yosep Rasi pada rapat kerja daerah Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sosialisasi mata uang rupiah dari Bank Indonesia, di Kupang, Selasa (15/11/2022), mengatakan, jumlah kaum tunanetra yang terdata resmi dari seluruh NTT lebih dari 200 orang.
Kemungkinan, jumlahnya lebih dari itu. Mereka ini tersebar di 22 kabupaten/kota, dengan kondisi hidup yang masih memprihatinkan.
”Mari, semua pihak memberi kepedulian khusus terhadap hasil karya para penyadang tunanetra di Kota Kupang, dan daerah lain di NTT, jangan sekadar melihat jenis barang yang dihasilkan, tetapi bagaimana perjuangan mereka untuk menghasilkan barang itu di tengah segala keterbatasan fisik dan finansial yang dimiliki,” ajak Rasi.
Jumlah penyandang tunanetra di bawah binaan Dinas Sosial NTT di Kupang sekitar 70 orang. Mereka memiliki keterampilan, antara lain, memijat refleksi, pijat shiatsu, dan pijat sport. Kegiatan pijak berlangsung di Klinik Pijat milik Dinas Sosial Kupang. Setiap hari ada dua pekerja yang bertugas secara shift, dengan tarif pijat antara Rp 75.000-Rp 100.000 per jam per orang.
Selain itu, para penyandang tunanetra juga diajari keterampilan membuat sapu kemoceng dari tali rafia. Jenis sapu ini sesuai dengan kondisi fisik mereka. Tali rafia lembut dan tidak membahayakan tangan saat diraba atau dipegang tanpa melihat. Mereka menghasilkan ratusan sapu per bulan, tetapi jarang diminati masyarakat.
Mereka membawa sapu kemoceng ini menyusuri sejumlah lorong dan jalan di Kota Kupang atau kota-kota lain di NTT. Sebagian dibimbing orang lain, anggota keluarga, dan sebagian berjalan sendiri dengan alat tongkat sebagai pemandu jalan. Sebagian dari mereka duduk atau berdiri di emperan toko, swalayan, atau pasar-pasar sambil menjual hasil kreasi mereka tersebut.
Mungkin bagi sebagian masyarakat sapu jenis initidak begitu mendesak, tetapi dengan berbelanja, cara membantu kehidupan ekonomi mereka. (Yosef Rasi)
Ia mengajak masyarakat untuk berbelanja sapu kemoceng ini untuk membersihkan perabot rumah tangga, kendaraan mobil, alat elektronik seperti komputer, ponsel, dan televisi.
”Mungkin bagi sebagian masyarakat sapu jenis initidak begitu mendesak, tetapi dengan berbelanja, cara membantu kehidupan ekonomi mereka,” katanya.
Kehidupan para penyandang tunanetra pun bervariasi. Beberapa orang berprofesi sebagai guru SLB atau tenaga kontrak dan PNS, memiliki kehidupan ekonomi relatif lebih baik, dibandingka mereka yang semata-mata bertanggung dari hasil pijat atau jualan sapu kemoceng.
Meski memiliki keterbatasan fisik, organisasi Pertuni NTT ini perlu melakukan konsolidasi dengan Pertuni kabupaten/kota. Konsolidasi organisasi penting untuk membangun komunikasi dan informasi di antara mereka. Kebersamaan sebagai warga tunanetra itu perlu dibangun sehingga bisa saling membantu satu sama lain.
Ketua Pertuni NTT Adeodatus Libing mengatakan, kelemahan fisik bukan kesulitan untuk berkarya. Kaum tunanetara pun memiliki kemampuan untuk bersaing di dunia kerja, sesuai kemampuan fisik yang dimiliki.
Apalagi saat ini kemajuan teknologi digital telah menyediakan beberapa fitur yang sangat membantu tunanetra dalam berkarya, berkomunikasi, dan memahami ponsel pintar ini.
Mengembangkan talenta
”Kami punya kesempatan untuk mengembangkan bakat dan talenta yang kami miliki. Untuk itu, kami butuh dukungan semua pihak, baik moril, materiil, maupun kebijakan-kebijakan. Kami tidak ingin bergantung penuh dari pemberian orang. Kami ingin hidup mandiri dengan berkarya untuk kesejahteraan diri, keluarga, masyarakat, dan negara ini,” kata Libing.
Ketua Panitia Rakerda Oswaldus Lius Parut mengatakan, rakerda diikuti 8 cabang yang ada di daratan Timor Barat, Sabtu, Rote, dan Alor. Sementara cabang Pertuni di Flores Lembata dan Sumba menyelenggarakan rakerda sendiri.
Cara Ini untuk menghemat biaya dan lebih memudahkan rekan-rekan tunanetra di dua pulau itu untuk terlibat langsung dalam kegiatan serupa.
Melalui rakerda ini kami tetap berkomunikasi mencari jalan keluar, mengatasi masalah-masalah yang dihadapi anggota Pertuni di provinsi ini. Ke depan, organisasi Pertuni harus lebih aktif, dan benar-benar menjadi lembaga yang bisa memberikan solusi para kami penyandang tunanetra,” kata Oswaldus.
Rakerda diikuti perwakilan Pertuni dari delapan cabang, dengan peserta sekitar 50 orang. ”Sebagai wakil Pertuni dari kabupaten/kota, semua peserta wajib menyampaikan pikiran dan gagasan apa saja terkait kehidupan anggota Pertuni di daerah masing-masing,” kata putra Manggarai Timur ini.
Dominggu He (65), salah satu anggota Pertuni, peserta rakerda mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan anak-anak dari keluarga tunanetra yang sudah lolos pendidikan menengah atas atau perguruan tinggi. Mereka ini harus diprioritaskan dalam perekrutan tenaga di birokrasi pemerintahan, BUMN atau BUMD, TNI dan Polri.
”Dengan susah payah kami berjuang menyekolahkan mereka. Jika anak-anak ini mendapat perhatian dari pemerintah, bisa membantu meringankan beban ekonomi orangtua. Kebanyakan tunanetra menikah dengan pasangan pria atau wanita, yang juga menyandang tunanetra,” kata He.