Para orangtua dari anak autis di Nusa Tenggara Timur meminta pendidikan keterampilan advokasi bagi mereka agar dapat membimbing dan mendampingi anak-anak autis. Selama ini pengetahuan terhadap autisme masih dangkal.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Para orangtua dari anak autis di Nusa Tenggara Timur meminta pendidikan keterampilan advokasi bagi mereka agar dapat membimbing dan mendampingi anak-anak autis. Selama ini pengetahuan terhadap autisme masih dangkal.
Mira Kale (45), salah satu orangtua dari anak autis dalam lokakarya pendampingan anak autis di Pusat Layanan Autis (PLA) Kupang, Jumat (20/12/2019), mengatakan, tidak semua orangtua mampu memahami dan mendampingi anak autis di rumah secara tepat. Masih banyak orangtua yang terikat dengan adat dan tradisi ketika memiliki dan menghadapi anak autis di rumah.
”Para orangtua anak-anak autis perlu mendapatkan keterampilan advokasi sehingga saat menghadapi anak autis di rumah tidak kaget atau mencari cara lain selain terapi,” katanya.
Menurut Kale, masih banyak orangtua yang menilai anak autis disebabkan pelanggaran tradisi adat tertentu oleh orangtua. Masih banyak dari orangtua yang menyembunyikan anak autis di rumah karena malu atau larangan adat juga.
Tien Kadja (48), orangtua lain, mengatakan, dengan memberi pelatihan kepada orangtua, terapi yang dijalankan di PLA Kupang dapat dilanjutkan orangtua di rumah. Orangtua bisa memberi arahan kepada semua anggota keluarga, termasuk tetangga sekitar. Dengan ini, tetangga pun bisa membantu menyebarkan informasi yang sama kepada orang lain sehingga lingkungan turut mendukung anak berkebutuhan khusus (ABK).
Ia mengatakan, NTT sejak 2016 telah mendeklarasikan diri sebagai provinsi inklusi. Inklusi yang dimaksud tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di masyarakat, keluarga, tempat kerja, dan lingkungan sekitar. Namun, sejak tiga tahun semangat itu dideklarasikan, perlakuan masyarakat atau lingkungan sekitar terhadap ABK masih diskriminatif.
Sering pemda beranggapan telah memberi tempat khusus dalam perekrutan CPNS dengan kategori ABK. Namun, ABK yang dimaksud selama ini hanya anak-anak tunarungu dan tunadaksa. Sementara ketunaan lain, terutama autis, tidak pernah mendapat tempat dalam perekrutan itu.
Tien mengharapkan agar terapis di PLA Kupang ditambah. Jumlah lima terapis untuk menangani 43 anak autis terlalu membebani. Apalagi, terapis ini juga tidak hanya fokus di PLA, tetapi juga masih mencari pekerjaan sampingan.
”Kalau bisa jumlah tenaga terapis ditambah dan kesejahteraan mereka ditingkatkan. Upah mereka hanya Rp 1,7 juta per bulan, sementara pekerjaan terapis cukup berat, termasuk membantu anak autis saat berurusan di kamar mandi atau toilet,” kata Tien.
Tien mengaku, anaknya, Lince (6), sebelumnya tidak bisa berbicara, tetapi setelah mengikuti terapi selama dua tahun di PLA Kupang, ia sudah mulai berbicara memanggil nama bapa, mama, dan nama anggota keluarga lain. Lince pun jauh lebih tenang, diam, dibanding sebelumnya selalu bergerak atau hiperaktif.
Kalau bisa jumlah tenaga terapis ditambah dan kesejahteraan mereka ditingkatkan.
Ia yakin anaknya bisa masuk sekolah inklusi di tingkat SMP. Namun, ia khawatir perilaku rundung di kalangan siswa sekolah formal masih sangat kuat. Karena itu, sekolah-sekolah formal pun harus diajarkan bagaimana para siswa dan guru menghadapi ABK.
Anastasia Palar (44), orangtua anak autis, juga mengaku sulit memberikan menu makan pada anaknya, Mikel. Mikel selalu memilih makanan instan, bakso, dan soto. Jika ia mengonsumsi ayam goreng pun harus digoreng dengan balutan tepung.
”Enam tahun ia mengonsumsi makanan-makanan itu. Setelah saya mencari informasi di internet, ditemukan jenis-jenis makanan yang harus dihindari anak-anak autis. Sekarang saya tidak memberi Mikel makanan-makanan itu. Perilaku hiperaktif berkurang dan jarang membenturkan kepala ke dinding,” katanya.
Palar pun menginginkan agar anak-anak autis diberi pendidikan vokasi khusus. Mereka tidak digabung dengan ABK lain dalam pengembangan sekolah vokasi. Selama mereka digabung, yang lebih berkembang ABK lain, sementara autis jauh tertinggal.
Anak autis perlu disiapkan sekolah khusus, tidak digabung dengan SLB umum karena sifat anak autis selalu meniru. Saat mereka menyaksikan anak tunanetra, mata mereka pun disesuaikan dengan anak tunanetra. Anak-anak berkebutuhan lain akan ditiru anak-anak autis selama berada di sekolah dan di rumah. Dalam hal kemampuan membaca dan menulis, anak autis dan downsyndrom jauh lebih lambat dibanding ABK lain.
Ia mengatakan, layanan autis hanya ada satu di Kupang sehingga pemda perlu menyiapkan asrama atau penginapan bagi orangtua dan anak autis yang datang dari 22 kabupaten di NTT. Sejumlah orangtua anak autis yang datang dari kabupaten terpaksa menyewa kamar atau rumah warga untuk menginap, sementara proses terapi berlangsung cukup lama.
Kepala Bidang Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Valens Balun berjanji meneruskan usulan para orangtua anak autis kepada pihak-pihak berwenang. Misalnya, pendidikan vokasi bagi anak autis, sekolah khusus autis, rumah penginapan, dan penambahan terapis.
”Soal pelatihan keterampilan advokasi bagi orangtua anak autis bisa dilakukan para terapis di PLA Kupang. Para terapis bisa bekerja sama dengan orangtua siswa sehingga apa yang telah dilakukan di PLA dapat dilanjutkan orangtua di rumah dan lingkungan sekitar,” kata Valens.