Babak Belur dan Saling Lapor Polisi Jadi Buntut Aksi Mahasiswa Palangkaraya
Di halaman kantor Gubernur Kalimantan Tengah, mahasiswa dipukuli, ditendang, bahkan diinjak karena aksi demonstrasi. Ironisnya, hal itu terjadi di daerah yang berjuluk Bumi Pancasila.
Gisela (20) duduk lesu di lantai salah satu sudut kantor Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Palangka Raya saat mendung mulai menjatuhkan titik hujan, Selasa (15/11/2022). Wajahnya letih. Dada dan lengannya memar. Dia salah satu korban kericuhan dalam aksi yang terjadi sehari sebelumnya.
Seharian, dia mencari keadilan. Gisela bolak-balik kampus, Polda Kalteng, dan Rumah Sakit Bhayangkara Palangkaraya. Bersama perwakilan LBH Genta Keadilan, dia tengah berjuang melaporkan tindakan represif aparat yang dialaminya. Gisela merasa telah dipukul, ditendang, hingga diinjak aparat saat ikut aksi.
Akan tetapi, semua tidak mudah. Ada mekanisme laporan yang ternyata menyita banyak waktu. Diupayakan tuntas sejak pagi, laporan itu baru rampung pada malam harinya. Dalam surat laporan nomor STTLP/163/XI/YAN/.2.5/2022/SPKT, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kalteng dan anak buahnya dilaporkan telah melakukan kekerasan terhadap mahasiswa.
”Demokrasi sudah rusak kalau pemerintah merespons dengan kekerasan, bentuk represif ini yang jadi biang masalah sejak dulu,” kata Parlin Bayu Hutabarat, pendamping hukum dari LBH Genta Keadilan.
Aksi ketiga
Tidak ada yang berbeda saat Gisela keluar dari rumah keluarganya di Kota Palangkaraya, Senin pagi. Hendak ikut aksi, dia tidak sempat berpamitan dengan pamannya yang sibuk bekerja. Ia pun tak sempat mengabari orangtuanya yang tinggal di kampung di Kabupaten Katingan, berjarak sekitar 140 kilometer dari Palangkaraya.
Ini bukan aksi pertama Gisela. Sebelumnya, ia sudah beberapa kali turun ke jalan, mulai dari menolak omnibus law sampai aksi yang mengevaluasi kinerja pemerintah daerah ini.
Seusai mengingat kembali materi aksi, Gisela berangkat mengendarai sepeda motor menuju kantor Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Palangka Raya (UPR). Di sana sudah banyak mahasiswa menunggu dengan atribut masing-masing. Mereka menamai kelompoknya GERAM, Gerakan Rakyat Merdeka.
Bersiap sejak pagi, aksi baru dimulai di depan kantor Gubernur Kalteng pukul 14.00. Siang itu adalah aksi ketiga. Aksi pertama dan kedua dilakukan sejak Oktober lalu.
Aksi berlanjut karena permintaan bertemu Gubernur Kalteng Sugianto Sabran tidak pernah tercapai. Pertemuan itu penting lantaran mereka membawa 12 persoalan daerah Kalteng, mulai dari kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Selama kepemimpinan Sugianto Sabran, masalah itu dinilai tidak kunjung bertemu solusi.
Lebih dari satu jam menunggu, Sugianto tidak kunjung hadir di tengah aksi massa. Negosiasi dengan aparat kepolisian dilakukan. Namun, tidak ada yang bisa menjamin Gubernur Kalteng keluar dari kantornya dan menemui peserta aksi.
Hingga akhirnya peserta aksi memaksa masuk ke dalam halaman kantor. Pagar diguncangkan. Peserta aksi saling dorong dengan aparat. Saat itu, Gisela ada di barisan belakang. Dia memberi semangat kepada kawan-kawannya di baris depan.
Ketegangan sempat mereda. Juru bicara pemerintah datang dan mengatakan, gubernur akan menemui massa GERAM. Namun, 2 jam kemudian, gubernur tidak kunjung datang. Mahasiswa kembali geram.
Berhasil memasuki halaman kantor gubernur sekitar pukul 17.00, mahasiswa yeng kesal berinisiatif menurunkan bendera setengah tiang. Kericuhan pun kembali mekar. Saat itu, Gisela masih berada di barisan belakang wartawan dan peserta aksi yang memegang kamera.
Baca Juga: Kekerasan dalam Aksi Mahasiswa di Palangkaraya Dinilai Merusak Demokrasi
”Aku, tuh,berdiri di situ aman aja, tetapi enggaktahutiba-tiba Satpol PP mendorong kami sampai kami seperti dikelilingi mereka, kena aku masuk ke tengah-tengah yang lagi rusuh,” katanya.
Gisela tidak lagi mampu melihat tangan mana yang memukul dan kaki siapa yang menendangnya. Ia hanya ingat tersungkur di antara kaki teman-temannya. Gisela hanya melihat sekelebat tangan dan seragam yang berseliweran di depan matanya.
Gisela tak mengingat siapa yang menarik dan melindunginya, tetapi ia dengan jelas mendengar teriakan.
”Woi… jangan dipukul, ini cewek,” kata Gisela menirukan suara orang itu. Gisela pun ditarik keluar kerumunan.
Gisela tersungkur dan pingsan. Ia kembali membuka matanya dan sudah berada di bawah pohon rindang ditemani kawan-kawannya. ”Setelah pingsan itu baru aku merasa sakit di dada, sesak napas, tanganku juga sakit sekali,” katanya.
Lebam lebar ada di lengan kirinya dan di bagian dada. Sampai pada malam itu, ia masih trauma hingga kadang kesulitan bernapas. Gisela sempat dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Doris Sylvanus. Di tempat itu, Gisela bertemu dengan Enrico dan Doni, kawan-kawannya yang juga terluka karena dipukuli.
Cerita Enrico pun mirip dengan Gisela. Hanya saja, Enrico ada di garis depan bersama Doni. Namun, ia tak mampu mengingat siapa yang memukulnya. Ia hanya yakin pelakunya petugas Satpol PP.
”Banyak yang injak saya dari belakang. Perut saya dan kepala saya diinjak. Saya enggak bisa melawan, HP saya hilang,” kata Enrico. Terdapat luka robek di pipi kanan Enrico dan lebam.
Doni lebih buruk lagi. Ia dipukul di kepala dan langsung pingsan di saat situasi sudah memburuk. Beberapa video aksi yang viral di media sosial menunjukkan salah satu petugas menggunakan jaket hitam dan topi dengan rambut tipis agak putih menginjak kepala Doni yang sudah pingsan di rumput.
Saling lapor
Parlin menjelaskan, kekerasan yang dilakukan aparat merupakan laku pidana yang harus diusut dan ditindak. Pihaknya tak hanya melaporkan dugaan penganiayaan.
Petugas dinilai menghalang-halangi mahasiswa berunjuk rasa atau diduga melanggar hak kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh oknum petugas berinisial AG dan E.
Menurut Parlin, aksi mahasiswa mengevaluasi kinerja Gubernur Kalteng merupakan hal wajar. Mahasiswa melihat banyak persoalan dan tidak puas dengan upaya yang dilakukan.
Hal senada juga diungkapkan Direktur LBH Palangkaraya Aryo Nugroho. Aksi kekerasan aparat menjadi tanda Kalteng darurat demokrasi. Menurut dia, mahasiswa dilindungi Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Adapun yang dilakukan aparat dengan menghalang-halangi serta menggunakan kekerasan terhadap warga negara yang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat adalah sebuah pelanggaran. ”Selama aksi ini, mereka juga buat aksi tandingan, tapi itu tidak soal. Membubarkan aksi dengan kekerasan ini yang jadi soal,” kata Aryo.
Baca Juga: Mahasiswa Tunggu Janji Politik Kalteng Berkah
Pada hari yang sama, pihak Satpol PP Provinsi Kalteng juga melaporkan penganiayaan dan perusakan yang diduga dilakukan mahasiswa. Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polresta Palangkaraya Komisaris Ronny M Nababan mengatakan, pihaknya menerima dua laporan masuk dari Satpol PP Kalteng mengenai aksi demo mahasiswa atau kelompok GERAM.
”Dua anggota Pol PP laporannya masuk hari ini (Selasa, 15/11/2022). Kami terima selanjutnya menunggu hasil visum,” kata Ronny saat dikonfirmasi.
Dua anggota Pol PP tersebut merupakan tenaga honorer, berinisial KMP (33) dan MJ (29). Dua petugas tersebut sebelumnya sempat dievakuasi ke RS Doris Sylvanus untuk mendapatkan pertolongan medis.
”Setelah membuat laporan, baru akan diberi pengantar untuk visum lalu diarahkan untuk pemeriksaan,” ujar Ronny.
Berdialog
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran pada Rabu (16/11) siang menyampaikan siap menerima mahasiswa untuk duduk bersama membahas terkait tuntutan mahasiswa soal pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, ataupun tingkat perekonomian.
Sugianto menganggap mahasiswa adalah penerus generasi bangsa yang diharapkan dapat melanjutkan dan mempertahankan NKRI. Sugianto menyatakan apa yang sudah terjadi patut menjadi pelajaran bagi semua pihak.
”Yang jelas, saya siap menerima mahasiswa jika mereka mengkritik kami yang memimpin 7,5 tahun di Kalteng. Namun, ayo berdiskusi dengan data,” kata Sugianto.
Sugianto menambahkan, dirinya dan wakil gubernur tentunya tidak bisa memuaskan semua pihak dalam memimpin dan mengambil kebijakan. ”Saya menerima masukan ataupun kritik yang bersifat konstruktif dalam kerangka bersama membangun Kalteng. Maka, forum yang tepat menyampaikan kritik adalah melalui forum dialog,” tuturnya.
Apa pun alasannya, kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Pintu diskusi harus dibuka jauh-jauh hari sebelum semuanya diakhiri dengan kepalan tangan dan hati penuh amarah. Kesejahteraan masyarakat tidak akan bisa terwujud apabila pertengkaran selalu mewarnai.
Baca Juga: Mahasiswa Palangkaraya Tak Berhenti Beraksi