Kekerasan dalam Aksi Mahasiswa di Palangkaraya Dinilai Rusak Demokrasi
Aksi mahasiswa yang berujung ricuh dinilai sebagai bentuk arogansi aparat dan merusak demokrasi. Mahasiswa terluka dan kini melaporkan hal itu ke polisi. Satpol PP pun melaporkan mahasiswa.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kekerasan yang dilakukan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Kalimantan Tengah dalam aksi mahasiswa di Palangkaraya dinilai sebagai bentuk upaya pembungkaman dan merusak demokrasi di Kalimantan Tengah. Kejadian itu pun berujung saling lapor antara mahasiswa dan Satuan Polisi Pamong Praja Pemprov Kalteng.
Masalah itu bermula dari aksi mahasiswa yang menamakan diri mereka sebagai Gerakan Mahasiswa Merdeka (Geram) yang melakukan unjuk rasa dengan tema ”Evaluasi Kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur Kalteng”. Aksi itu dilakukan tiga kali sejak Oktober 2022.
Krismes Santo, salah satu peserta aksi, mengungkapkan, aksi dilakukan terus-menerus karena pihaknya ingin bertemu dengan Gubernur Kalteng Sugianto Sabran, tetapi tak pernah tercapai. Hingga pada saat aksi ketiga terjadi kekerasan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) hingga oknum lembaga swadaya masyarakat yang juga melakukan aksi tandingan dalam rangka membela pemerintah.
”Dalam aksi itu, tindakan represif aparat tidak hanya melukai demokrasi, tetapi juga teman-teman kami bahkan sampai masuk rumah sakit. Mereka dipukul sampai diinjak,” kata Krismes saat ditemui di Polda Kalteng, Selasa (15/11/2022).
Aksi yang berujung kerusuhan itu terjadi pada Senin (14/11/2022) petang saat massa dari Geram berupaya masuk ke halaman kantor Gubernur Kalteng. Kericuhan dimulai sejak aparat ingin membubarkan kerumunan mahasiswa yang saat itu berhasil masuk ke halaman kantor Gubernur Kalteng. Menurut Krismes, tiga mahasiswa terluka cukup parah, yakni Enrico, Doni, dan seorang mahasiswi bernama Gisela.
Setelah kericuhan itu, mahasiswa berupaya kembali pulang dan sebagian langsung ke RSUD Doris Sylvanus untuk membantu yang terluka. Sebelum mereka berjalan pulang dari lokasi aksi, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mencoba mendatangi mahasiswa, tetapi mereka enggan kembali.
”Mahasiswa ke sini, saya Gubernur Kalteng Sugianto Sabran, jangan hanya koar-koar ke sini,” ungkap Sugianto.
Enrico, salah satu korban kekerasan, mengaku tidak bisa menghitung berapa banyak pukulan dan tendangan yang mengenai tubuhnya. Enrico tidak bisa memastikan pelaku yang menginjak dan memukulinya, ia hanya bisa melihat bahwa mereka mengenakan seragam.
”Banyak yang injak saya dari belakang. Perut saya dan kepala saya diinjak. Saya dah bisa melawan, HP saya hilang,” kata Enrico.
Pada Selasa siang mahasiswa yang didampingi oleh kuasa hukum mereka, Parlin Bayu Hutabarat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Genta Keadilan, melaporkan kejadian tersebut ke Polda Kalteng dengan dugaan tindak pidana kekerasan yang dilakukan aparat, dalam hal ini Satpol PP.
Dalam surat laporan nomor STTLP/163/XI/YAN/.2.5/2022/SPKT ditunjukkan bahwa mahasiswa melaporkan Kepala Satpol PP Kalimantan Tengah karena dinilai ikut melakukan kekerasan terhadap mahasiswa.
”Jangan hanya rakyat kecil, kalau penguasa melakukan tindak pidana juga harus ditindak. Ini seperti kembali ke zaman Orde Baru saat berpendapat direspons dengan tindakan represif dari aparat,” kata Parlin.
Menurut Parlin, aksi mahasiswa dalam mengevaluasi kinerja Gubernur Kalteng merupakan hal wajar. Pasalnya, mahasiswa melihat banyak persoalan dan tidak puas dengan upaya yang dilakukan.
Membubarkan aksi dengan kekerasan ini yang jadi soal. (Aryo Nugroho)
Hal senada juga diungkapkan Direktur LBH Palangkaraya Aryo Nugroho. Menurut dia, aksi aparat dengan kekerasan merupakan tanda Kalimantan Tengah darurat demokrasi. Menurut dia, mahasiswa dilindungi Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sementara yang dilakukan aparat menghalang-halangi dengan ancaman kekerasan hak warga negara menyampaikan pendapat adalah pelanggaran sesuai Pasal 18 UU tersebut.
”Selama aksi ini mereka juga buat aksi tandingan, tapi itu tidak soal. Membubarkan aksi dengan kekerasan ini yang jadi soal,” kata Aryo.
Saling lapor
Pada hari yang sama, pihak Satpol PP Provinsi Kalteng juga melaporkan penganiayaan dan perusakan yang diduga dilakukan mahasiswa. Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polresta Palangkaraya Komisaris Ronny M Nababan mengatakan, pihaknya menerima dua laporan masuk dari Satpol PP Kalteng mengenai aksi demo mahasiswa atau kelompok Geram.
”Dua anggota Satpol PP laporannya masuk hari ini (Selasa, 15/11/2022). Kami terima selanjutnya menunggu hasil visum,” kata Ronny saat dikonfirmasi.
Dua anggota Satpol PP tersebut merupakan tenaga honorer berinisial KMP (33) dan MJ (29). Keduanya mengaku menjadi korban saat kondisi demonstrasi yang berakhir ricuh pada Senin petang lalu. Dua petugas tersebut sebelumnya sempat dievakuasi ke RS Doris Sylvanus untuk mendapatkan pertolongan medis.
”Setelah membuat laporan, baru akan diberi pengantar untuk visum lalu diarahkan untuk pemeriksaan,” ucap Ronny.
Kompas berupaya menghubungi Pemprov Kalteng terkait kasus dugaan kekerasan dan saling lapor itu, tetapi belum mendapatkan jawaban.