Sengketa Lahan Kalasey Dua, LBH Manado Tuduh Pemerintah Langgar HAM
LBH Manado menuduh pemerintah daerah dan pusat serta kepolisian melakukan pelanggaran HAM ketika menggusur kebun masyarakat Desa Kalasey Dua di Minahasa. Sengketa lahan tersebut saat ini masih dalam proses kasasi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Lembaga Bantuan Hukum Manado menuduh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kepolisian Resor Kota Manado melakukan pelanggaran hak asasi manusia ketika menggusur kebun masyarakat Desa Kalasey Dua, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, pekan lalu. Sengketa lahan tersebut saat ini masih dalam proses kasasi.
Dihubungi dari Manado, Senin (14/7/2022), Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado Frank Tyson Kahiking mengatakan, ketiga institusi tersebut telah diadukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). ”Laporan kami sudah diterima, dan Komnas HAM menanggapi dengan menyurat ke Kapolda Sulut,” katanya.
Eksekusi lahan kebun masyarakat dilaksanakan pada Senin (7/11/2022) sekitar pukul 10.00 Wita. Sekitar 80 warga dan aktivis menghadang kedatangan sekitar 100 personel Polresta Manado serta 40-an Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sulut yang mengawal kedatangan dua unit ekskavator.
LBH Manado menuduh polisi maupun polisi pamong praja melakukan kekerasan fisik kepada masyarakat. ”Delapan orang petani dipukul dengan tangan kosong, dengan pentungan, dan tameng. Ada yang dipiting, dicakar, ditendang, diinjak, dan dimaki dengan sebutan binatang. Ada juga yang luka karena terkena tembakan gas air mata,” kata Frank.
Di samping itu, sebanyak 46 warga, termasuk dua wartawan dan dua pengacara publik dari LBH Manado, ditangkap dan ditahan di Markas Polresta Manado untuk diinterogasi. ”Penangkapan itu dilakukan tanpa alasan hukum yang jelas. Polisi menarik secara acak dan paksa,” ujar Frank.
Setelah mengatasi hadangan warga, dua ekskavator segera dioperasikan untuk meratakan kebun warga yang ditanami pisang, kelapa, dan umbi-umbian. ”Sekarang bahkan sudah ada tiga. Ada puluhan polisi yang menjaga lokasi penggusuran. Petani takut kembali ke kebun,” ujar Frank.
Kurang lebih ada 20 hektar lahan yang hendak diambil alih oleh Pemprov Sulut di Kalasey Dua itu. Lahan akan dihibahkan kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Lahan akan menjadi lokasi Politeknik Pariwisata Manado yang dapat menampung 2.500 mahasiswa.
Frank mengatakan, kejadian ini merupakan bentuk pelanggaran HAM yang mencakup hak hidup, standar hidup yang layak, pangan, pekerjaan, kebebasan dari penyiksaan, serta rasa aman. Pada saat yang sama, Surat Keputusan Gubernur Sulut Nomor 368 Tahun 2021 yang mendasari hibah lahan tersebut kepada Kemenparekraf masih dalam tahap kasasi. ”Seharusnya belum bisa dieksekusi,” kata Frank.
Terkait dengan aduan dari LBH Manado, Komnas HAM pada Rabu (9/11/2022) telah meminta Polda Sulut untuk menjelaskan duduk perkara penggusuran ini. Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam, yang masih menjabat saat itu, menyatakan Kepala Polda Sulut Inspektur Jenderal Setyo Budiyanto diberi waktu tujuh hari untuk menjawab.
Informasi yang diminta, antara lain, keterangan status lahan dan dasar keterlibatan aparat kepolisian. Choirul juga meminta Polda Sulut menghindari tindakan kekerasan, penangkapan, dan penahanan. ”Memastikan adanya perlindungan hukum dan HAM secara berkeadilan dalam konteks penanganan masalah lahan di Desa Kalasey Dua,” katanyaa.
Sebelumnya, Kepala Bagian Operasi Polresta Manado Komisaris Thommy Aruan mengatakan, pemerintah telah tiga kali melaksanakan sosialisasi mengenai eksekusi lahan ini. Menurut dia, penolakan adalah sesuatu yang wajar, tetapi sebagian besar masyarakat telah menerima apa yang menjadi kebijakan pemerintah.
Sengketa
Menurut kajian hukum LBH Manado, masyarakat di Kalasey Dua telah menggarap lahan tersebut sejak 1935 sebagai buruh perusahaan perkebunan bernama PT Asiatik. Pada 1982, hak guna usaha (HGU) perusahaan itu berakhir dan warga mulai menggarap lahan tersebut secara mandiri.
Pemprov Sulut kemudian disebut mengklaim tanah garapan petani itu sebagai tanah hak pakai. Setelah memberikan 33 hektar lahan di sana kepada beberapa institusi negara sejak 2018, pada 2021 pemprov menghibahkan lahan 20 hektar yang kini disengketakan kepada Kemenparekraf.
Pada Februari lalu, Menparekraf Sandiaga Uno telah meninjau lokasi pembangunan Politeknik Pariwisata Manado di Desa Kalasey Dua. Sekolah vokasi yang akan didirikan di sana diharapkan dapat mempersiapkan masyarakat lokal Sulut untuk bekerja di Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Likupang, Minahasa Utara.
Sekolah vokasi yang akan didirikan di sana diharapkan dapat mempersiapkan masyarakat lokal Sulut untuk bekerja di Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Likupang, Minahasa Utara.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Biro Hukum Pemprov Sulut Flora Krisen mengatakan, pemprov tetap bisa melaksanakan tugasnya untuk mempersiapkan pembangunan Politeknik Pariwisata. Sebab, obyek hukum yang sedang digugat di Mahkamah Agung adalah SK Gubernur tentang hibah, bukan sertifikat kepemilikan pemprov atas lahan tersebut.
”Sertifikat yang kami miliki adalah HPL (hak pengelolaan) Nomor 0013 Tahun 2019. Ini, kan, sudah hampir dua tahun sejak keputusan hibah, jadi harus ada pembersihan lahan untuk itu,” kata Flora.
Di daerah Kalasey, lanjut Flora, pemprov sebenarnya memiliki 225 hektar lahan. Dari jumlah itu, sudah ada 21 hektar yang dihibahkan kepada masyarakat. Kendati begitu, masyarakat tetap menolak penggusuran lahan kebun 20 hektar yang akan dihibahkan.
Sebanyak 43 warga kemudian menggugat SK hibah. Gugatan mereka ditolak baik di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado maupun Pengadilan Tinggi TUN Makassar. ”Kami sudah berusaha menawarkan ganti rugi tanaman kepada mereka. Awalnya diterima, tetapi kemudian ditolak. Tetapi pada prinsipnya, kami tidak mungkin bertentangan dengan masyarakat,” kata Flora.