Lahan Kebun Digusur, Ratusan Warga Kalasey Dua, Minahasa, Bentrok dengan Kepolisian
Penggusuran paksa lahan kebun masyarakat memicu bentrokan antara warga dan kepolisian di Desa Kalasey Dua, Minahasa. Pemprov Sulut dituntut untuk menghentikan eksekusi lahan selagi proses hukum berlangsung.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
TOMOHON, KOMPAS — Penggusuran paksa kebun masyarakat memicu bentrokan antara warga dan kepolisian di Desa Kalasey Dua, Minahasa, Sulawesi Utara. Pemerintah provinsi dituntut menghentikan eksekusi lahan calon lokasi Politeknik Pariwisata Manado itu selagi proses hukum berlangsung.
Cekcok terjadi pada Senin (7/11/2022) sekitar pukul 10.00 Wita. Satu jam sebelumnya, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Manado telah menyiagakan ratusan personel bertameng dari Korps Sabhara sebagai pengawal akses ekskavator yang akan digunakan untuk meratakan sekitar 20 hektar kebun warga.
Ratusan personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sulut juga dilibatkan mengawal eksekusi lahan tersebut. Ini merupakan upaya untuk melaksanakan isi Surat Keputusan Gubernur Sulut Nomor 368 Tahun 2021 yang berisi penghibahan lahan tersebut kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Warga desa, termasuk para orang tua, menghadang aparat yang berjalan ke arah lokasi eksekusi. Saling dorong pun tak bisa terhindarkan. Karena terdesak, warga yang mengamuk kemudian beralih ke kantor Hukum Tua (kepala desa) Kalasey Dua untuk menyegelnya dengan palang kayu, tetapi kemudian dilepas polisi.
Sore setelah bentrokan, Solidaritas Petani Penggarap Kalasey Dua (Solipetra) melaporkan di akun Instagramnya bahwa 12 orang ditahan kepolisian. Mereka adalah warga, mahasiswa, dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado.
Dihubungi dari Tomohon, Direktur LBH Manado Frank Tyson Kahiking mengecam penggusuran kebun ini sebagai ketidaktaatan Pemprov Sulut kepada proses hukum. ”Lahan tersebut masih dalam proses hukum upaya kasasi. Belum ada putusan yang membolehkan eksekusi, tetapi pemprov malah menggunakan aparat dengan senjata api untuk memaksa masuk ke kampung,” katanya.
Menurut kajian hukum LBH Manado, kebun 20 hektar yang ditanami pisang, kelapa, dan umbi-umbian itu merupakan lahan aktif permukiman dan perkebunan warga sejak 1935. Saat itu, mereka menjadi buruh di sebuah perusahaan perkebunan bernama PT Asiatik dengan cakupan lahan yang lebih besar.
Pada 1982, hak guna usaha (HGU) PT Asiatik berakhir dan warga mulai menggarap lahan tersebut secara mandiri. Pemprov Sulut kemudian disebut mengklaim tanah garapan petani itu sebagai tanah hak pakai.
Pada 2012, pemprov membagikan tanah tersebut kepada Satuan Brigadir Mobil (Brimob) Daerah Sulut sebesar 20 hektar, disusul 6 hektar kepada Dinas Kesehatan Sulut. Pada 2018, lahan seluas 7 hektar diberikan kepada Badan Keamanan Laut (Bakamla). ”Yang untuk Bakamla ini batal karena masyarakat menentang,” katanya.
Akhirnya pada 2021, Pemprov Sulut menyatakan akan menghibahkan 20 hektar kepada Kemenparekraf untuk pembangunan Politeknik Pariwisata Manado. Sekolah vokasi itu akan mampu menampung 2.500 mahasiswa yang diproyeksikan menjadi tenaga kerja di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Likupang.
Menurut laporan LBH Manado, petani Desa Kalasey Dua terancam kehilangan perkebunan dan permukman karena tidak ada upaya ganti rugi lahan yang hilang. LBH Manado juga berpendapat, lahan tersebut seharusnya diberikan kepada petani yang telah mendudukinya lebih dari 20 tahun sesuai Peraturan Pemerintah No 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
”Karena itu, awal 2022, petani Kalasey Dua mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado. Tanggal 24 Oktober , kami mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung setelah PTUN Manado tidak menerima gugatan petani dan PT TUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) Makassar menguatkan putusan PTUN Manado,” kata Frank.
Karena itu, lanjut Frank, pihaknya menuntut pemerintah menghentikan penggusuran paksa di Kalasey Dua selagi proses hukum berjalan. Ia juga mendesak penarikan aparat kepolisian serta pembebasan warga, aktivis, dan pengacara LBH Manado yang ditahan di Polresta Manado.
Di lain pihak, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Negara Hadi Tjahjanto telah berkunjung ke Sulut pada pertengahan September 2022. Melalui siaran pers, ia menyatakan, sebanyak 415 bidang tanah di Desa Kalasey Dua kini sedang dalam proses pelepasan hak pakai.
Di lokasi bentrokan, Kepala Bagian Operasi Polresta Manado Komisaris Polisi Thommy Aruan mengatakan, pemerintah telah tiga kali melaksanakan sosialisasi mengenai eksekusi lahan ini. Menurut dia, penolakan adalah sesuatu yang wajar, tetapi sebagian besar masyarakat telah menerima apa yang menjadi kebijakan pemerintah.
”Kami mengimbau masyarakat menaati aturan dari pemerintah karena menurut sejarah, tanah ini HGU milik negara yang sudah diberikan kepada Pemprov Sulut. Nanti, masyarakat akan mendapatkan dispensasi dari pemerintah,” katanya.
Dispensasi yang Thommy maksud adalah pemberian sertifikat hak milik (SHM) bagi lahan yang digunakan masyarakat untuk mendirikan tempat tinggal. ”Jadi warga bisa memiliki hak atas tanah yang didiami sekarang,” katanya.