Politik Identitas Masih Membayangi Pemilu 2024 di Jabar
KPU Jawa Barat meminta seluruh pihak mencegah politik identitas pada Pemilu 2024. Politisasi suku, agama, ras, dan antar-golongan itu dapat menyebabkan polarisasi di masyarakat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Politik identitas masih menjadi tantangan dalam pemilu di Jawa Barat pada 2024. Komisi Pemilihan Umum Jabar pun mendorong berbagai pihak untuk mencegah politisasi suku, agama, ras, dan antar-golongan. Dengan begitu, partisipasi pemilu dapat meningkat secara kuantitas dan kualitas pemilu.
”Tantangan di Jabar ini, kan, pemilihnya belum sepenuhnya rasional, masih tradisional. Kemudian, sering kali kita itu terjebak dalam politik identitas,” ujar Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar Rifqi Ali Mubarok saat membuka Program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) di Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jumat (11/11/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Menurut Rifqi, indikasi politik identitas di Jabar pada Pemilu 2019 tampak dari maraknya isu SARA yang berkembang di masyarakat, termasuk media sosial. Pada pemilu lalu, misalnya, polisi menangkap tiga perempuan di Kabupaten Karawang karena diduga menyebar hoaks. Saat itu mereka meminta warga tidak memilih Joko Widodo terkait SARA.
”Pasti (politik identitas) itu muncul lagi di Jabar. Makanya, kami berupaya mengampanyekan supaya tidak ada politik identitas tahun 2024,” kata Rifqi.
Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang disusun oleh Bawaslu pada 2019, Jabar merupakan salah satu daerah rawan dengan skor 52,11. IKP, antara lain, mengukur penyelenggara pemilu yang bebas dan adil.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), antara lain, melarang pencemaran nama baik, penghinaan terkait SARA, dan perdagangan elektronik. Adapun ancaman pidananya maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
”Imbas (politik identitas) juga, kan, polarisasi. Kami harap ini tidak muncul 2024,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan partai politik peserta pemilu agar turut mencegah politik identitas. KPU Jabar juga menggelar Program DP3 yang dicanangkan di Cirebon, Bandung, dan Pangandaran. Kegiatan itu merekrut 25 orang di setiap desa dan menjadi penggerak pemilu sehingga masyarakat bisa memilih secara rasional.
”Pemilih rasional itu yang memilih sesuai kehendaknya masing-masing, tidak ada intervensi apa pun. Pemilihnya juga informatif atau tidak terkena hoaks dan tidak terlibat money politic (politik uang),” ujarnya. Pihaknya menargetkan pembentukan Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan di 27 kabupaten/kota di Jabar dengan dukungan pemerintah setempat.
Rifqi berharap berbagai upaya mencegah politik identitas itu dapat meningkatkan partisipasi pemilih setidaknya 80 persen pada Pemilu 2024. Pada pemilu sebelumnya, partisipasi untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, misalnya, baru 79,39 persen.
”Kami optimistis secara target itu tercapai. Di Trusmi Kulon saja, partisipasinya sudah 87 persen,” ujarnya.
Jabar merupakan provinsi dengan penduduk terbanyak. Pada pemilu lalu, terdapat lebih dari 34 juta pemilih. Meski demikian, menurut Rifqi, partisipasi pemilu juga harus meningkat secara kualitas. Indikatornya, antara lain, tidak adanya politik identitas. Pihaknya pun berharap dukungan berbagai pihak untuk mencegah politisasi SARA.
Adapun Bupati Cirebon Imron Rosyadi meminta semua partai politik turut serta mendidik publik menjadi pemilih rasional. ”Masyarakat juga jangan memilih suatu partai atau calon yang menjanjikan sesuatu yang tak rasional dan track record (rekam jejak) yang tidak baik. Perbedaan dalam pemilu itu biasa. Jangan memutuskan persaudaraan karena pemilu,” ujarnya.