Ismail Bolong, Dugaan Beking Tambang Ilegal Anggota Polisi, dan Tanya yang Belum Terjawab
Rentetan peristiwa tentang Ismail Bolong dan dugaan aliran dana tambang ilegal ke anggota polri belum menemui titik terang. Presiden dan Kapolri perlu menyelesaikan agar kasus yang merugikan negara dan rakyat ini terang.
Rentetan peristiwa tentang Ismail Bolong dan dugaan aliran dana tambang ilegal ke anggota polri belum menemui titik terang. Presiden dan Kapolri perlu menyelesaikan agar kasus yang merugikan negara dan rakyat ini terang.
Beberapa hari belakangan, sejumlah wartawan mendapat kiriman video dari nomor yang tak dikenal. Namun, setelah video terkirim, nomor itu tidak aktif. Saat pesan Whatssap dikirim ke nomor tersebut pun hanya centang satu.
Selanjutnya, video itu beredar di media sosial dan muncul melalui pemberitaan media massa. Video berdurasi 2 menit 33 detik itu merekam setengah badan seorang pria mengenakan baju hitam. Video yang diterima Kompas seperti sudah mengalami pengeditan, berupa pemotongan (cropping) di sisi kiri dan kanan. Tak ada keterangan siapa yang merekam video tersebut.
Seraya membaca beberapa lembar kertas, pria di dalam video memperkenalkan diri sebagai Ismail Bolong dan mengaku berdinas di Polresta Samarinda berpangkat ajun inspektur polisi satu (aiptu), bintara tingkat dua di kepolisian dengan nomor registrasi pokok (NRP) 76040298.
Ismail menyatakan sebagai pengepul batubara tak berizin di Desa Santan Ulu, Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dari hasil pengepulan itu, ia menyetor uang Rp 6 miliar sebanyak tiga kali ke Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto masing-masing pada periode September, Oktober, dan November 2021.
Belakangan beredar lagi video klarifikasi dari Ismail Bolong yang menyatakan bahwa pernyataannya dalam video awal diucapkan atas tekanan petinggi Polri, yakni Hendra Kurniawan, yang saat itu menjabat Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Sebelumnya Hendra adalah anak buah mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo. Hendra diberhentikan secara tidak hormat karena terlibat kasus perintangan penyidikan pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Tak diketahui pula siapa yang mengambil video kedua tersebut. Ismail Bolong hanya menyatakan video itu diambil pada Februari 2022. Ia pun menyangkal semua pernyataannya di video pertama sekaligus meminta maaf kepada Komjen Agus Andrianto.
Menanggapi video itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kaltim Komisaris Besar Yusuf Sutejo, Senin (7/11/2022), menyatakan, Ismail Bolong memang pernah tercatat sebagai anggota polisi yang bertugas di Satuan Intelijen dan Keamanan Polresta Samarinda. Namun, kata Yusuf, Ismail sudah mengundurkan diri sebagai polisi per Juni 2022.
Adapun terkait bagaimana penanganan kasus dan di mana posisi Ismail Bolong saat ini, Polda Kaltim tak mengetahuinya lantaran kasusnya ditangani di Mabes Polri. ”Itu awalnya yang menangani adalah dari Mabes Polri. Jadi, kewenangan dari Mabes Polri yang memberikan pernyataan, bukan kewenangan dari Polda Kaltim,” ujar Yusuf.
Baca juga : Isu Kabareskrim Jadi Mafia Tambang, Mahfud MD Singgung Perang Bintang
Bagan alur uang
Tak sampai di situ, kemudian muncul bagan alur penyerahan uang koordinasi tambang ilegal yang disalurkan oleh Ismail Bolong. Di sisi kiri atas bagan itu terdapat logo Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, sedangkan di sisi kanan atas terdapat logo unit Pengamanan Internal Polri.
Bagan pertama berjudul ”Aliran Uang Koordinas dari Para Penambang Batubara Ilegal di Wilayah Hukum Polda Kaltim”. Bagan itu menjabarkan aliran uang dari pemodal dan petambang ilegal di Kaltim, salah satunya Ismail Bolong, ke tujuh pejabat di Polda Kaltim.
Bagan itu mencatat ada penerimaan uang koordinasi tambang ilegal Rp 30 miliar yang diberikan dalam tiga termin, yakni Oktober, November, dan Desember 2021. Polda Kaltim menyatakan, Propam Polda Kaltim tidak mengeluarkan bagan tersebut dan menyatakan informasi di bagan itu tak benar.
Adapun bagan kedua menjabarkan alur uang koordinasi tambang ilegal dari Ismail Bolong ke Kabareskrim Polri Agus Andrianto. Bagan itu mencantumkan ada tiga kali uang yang diberikan Ismail Bolong dengan total nilai Rp 6 miliar, seperti pernyataan Ismail Bolong dalam video pertama yang beredar.
Di Jakarta, Jaringan Aktivis Pro Demokrasi mendatangi Divisi Profesi dan Pengamanan Polri pada 7 November 2022. Mereka membawa berkas laporan hasil penyelidikan dari Biro Paminal Polri yang selesai sejak 18 Maret 2022. Mereka mempertanyakan kenapa hasil penyelidikan itu tidak ditindaklanjuti.
Mereka tak menyebut detail dari mana berkas berlabel rahasia itu didapat. Mereka hanya menyebut berkas itu merupakan hasil investigasi Jaringan Aktivis Pro Demokrasi.
Di dalam berkas tersebut, salah satunya, ada yang mencantumkan nama Ismail Bolong. Keterangan dalam berkas itu persis seperti bagan yang beredar dan seperti pernyataan Ismail Bolong di video pertama.
Namun, anehnya, meskipun ada dugaan pelanggaran anggota polisi dan dugaan gratifikasi, surat yang ditandatangani Hendra Kurniawan (yang saat itu Karopaminal Div Propam Polri) memberi rekomendasi kepada Kadiv Propam hanya pembenahan manajerial, bukan proses etik atau proses pidana.
”Berdasarkan kesimpulan dan hasil gelar perkara di atas, karena dugaan pelanggaran bersifat masif dan terstruktur, direkomendasikan kepada kepala untuk dilakukan pembenahan manajerial terkait penanganan dan pengelolaan tambang di Polda Kaltim dan Bareskrim Polri serta melakukan pengawasan yang ketat terhadap oknum-oknum yang masih melakukan kegiatan penambangan ilegal maupun pungli (gratifikasi) terhadap kegiatan penambangan ilegal,” tulis Hendra dalam berkas itu.
Dalam arsip pemberitaan Kompas, Bareskrim Polri belum mengeluarkan pernyataan terkait simpang-siur kasus Ismail Bolong dan rentetan peristiwa setelahnya. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyatakan, Polri saat ini fokus terlebih dahulu untuk pengamanan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Albertus Wahyurudhanto menyatakan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan Kabareskrim Polri. Dalam komunikasi itu, Agus membantah seluruh pernyataan Ismail dan memintanya untuk membuktikan seluruh pernyataannya tersebut (Kompas, 6/11/2022).
Baca juga: Mahfud MD: Polri Harus Dibangun sebagai Polisi Rakyat
Tanya yang belum terjawab
Rentetan peristiwa itu membuat sejumlah pertanyaan publik belum terjawab. Pertama, siapa yang menggerakkan untuk menyebarkan video Ismail Bolong secara masif? Pertanyaan lanjutannya adalah apa motif penyebaran video tersebut ke publik?
Begitu pula bagan serta berkas penyidikan berlabel rahasia itu, bagaimana bisa beredar ke publik? Lebih luas dari itu, satu pertanyaan yang juga penting dijawab kepolisian: Bagaimana penanganan dugaan beking tambang ilegal di internal Polri? Apakah berkas penyidikan itu benar?
Sebab, saat ini tambang ilegal di Kaltim amat mudah ditemui dan seperti menjadi rahasia umum. Publik pun tak mengetahui bagaimana proses hukum Ismail Bolong jika memang benar ia terlibat sebagai pengepul tambang ilegal.
Dengan viral, ini bisa menjadi kontrol publik untuk mengawasi. Namun, ada juga kemungkinan calon tersangka menghilangkan jejak dan bukti. Seharusnya cepat ditangani. (Zaini Afrizal)
Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso mempertanyakan sampai saat ini kenapa tidak ada tindakan hukum yang memberikan kepastian terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran anggota polisi tersebut. Sejumlah pertanyaan publik itu perlu cepat ditindaklanjuti oleh kepolisian.
”Memeriksa kasus ini secara profesional, obyektif, akuntabel, supaya pertanyaan publik dijawab,” katanya.
Zaini Afrizal, advokat di Balikpapan yang kerap menangani kasus pidana, menyatakan, tindakan cepat dan profesional Polri menentukan dalam kesimpang-siuran kasus ini. Sebab, mencuatnya isu ini ke publik bisa jadi menjadi celah bagi anggota Polri yang terlibat kejahatan untuk menghilangkan jejak.
”Dengan viral, ini bisa menjadi kontrol publik untuk mengawasi. Namun, ada juga kemungkinan calon tersangka menghilangkan jejak dan bukti. Seharusnya cepat ditangani,” katanya.
Dari sektor penambangan ilegal saja, kerugian negara sudah bisa dibayangkan berapa nilainya. Terkait hal itu, Menko Polhukam Mahfud MD teringat perkataan mantan Ketua KPK Abraham Samad. Mafia di sektor pertambangan, jika dibersihkan, kata Mahfud mengulang perkataan Samad, bisa bikin Indonesia terbebas dari utang. Bahkan, jika terkelola dengan baik, sektor pertambangan bisa membiayai Rp 20 juta per keluarga setiap bulan.
Sebaliknya, tambang ilegal yang berjalan masif membuat uang dari hasil penambangan tidak masuk ke negara melalui pajak. Selain itu, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan amat berat lantaran para petambang ilegal ini mengeruk lahan tanpa mereklamasinya kembali dan tanpa pengelolaan lingkungan.
Warga di sekitar tambang ilegal kerap diserobot lahannya tanpa kompensasi oleh petambang ilegal. Tak sedikit pula yang mendapat ancaman dan intimidasi. Dalam sejumlah pemberitaan, warga di sekitarnya hanya pasrah dan terdampak bencana berupa tanah longsor, banjir, atau hilangnya sumber air bersih dari sungai yang ditambang.
Tak sedikit pula kisah warga yang mengaku takut melawan lantaran pertambangan ilegal dibekingi oleh aparat. Rahasia publik ini menjadi ironi dan seolah dibiarkan langgeng.
Sementara salah satu yang kerap diucapkan Presiden dan Kapolri dalam menilai kinerja Polri adalah soal citra. Citra itu ditunjukkan melalui angka-angka yang menggambarkan seberapa besar kepercayaan publik. Kendati demikian, apalah angka-angka itu jika ternyata kondisi di lapangan tak ada perubahan?
Kasus Ismail Bolong ini menambah panjang pekerjaan rumah kepolisian, mulai dari sumber kekayaan sejumlah anggotanya yang tak sesuai dengan gaji, dugaan beking keamanan untuk sejumlah kasus, kekerasan terhadap rakyat kecil, hingga dugaan gratifikasi.
Hanya kepada Presiden dan Kapolri publik bisa berharap kemelut ini bisa diselesaikan. Mereka, anggota polisi dan juga presiden, digaji oleh uang rakyat melalui pajak. Mereka punya kekuasaan dan sejumlah perangkat untuk menyelesaikan itu.
Dari persoalan ini, jangan sampai uang, keamanan, dan kenyamanan hidup rakyat menjadi korban....