Mahfud MD: Polri Harus Dibangun sebagai Polisi Rakyat
Ke depan, menurut Menko Polhukam Mahfud MD, Polri harus dibangun sebagai polisi rakyat yang sederhana, tidak pongah, tidak hedonis, tidak berlebihan dalam gaya hidup, dan tidak sewenang-wenang dalam penegakan hukum.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Setelah arahan dari Presiden Joko Widodo kepada para pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang salah satunya melarang personel Polri bergaya hidup mewah, Jumat (14/10/2022), Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga Ketua Komisi Kepolisian Nasional Mahfud MD meminta Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengawal implementasi dari larangan itu. Revisi aturan soal larangan hidup mewah bagi Polri diusulkan menjadi opsi solusi.
Melalui siaran pers, Minggu (16/10/2022), Mahfud MD menilai wajar jika kritik masyarakat terhadap kinerja Polri akhir-akhir ini begitu gencar. Sebab, korps Bhayangkara ditimpa peristiwa beruntun mulai dari kasus penembakan di rumah dinas bekas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, hingga Irjen Teddy Minahasa Putra yang tersangkut kasus peredaran narkoba.
”Wajar kalau masyarakat melontarkan kritiknya. Namun, mari kita lihat juga dari sisi sebaliknya. Semua yang terjadi ini justru merupakan langkah ketegasan Polri untuk mereformasi dirinya. Mari dukung Polri yang sedang bersemangat,” ujarnya.
Mahfud berpandangan, respons Listyo Sigit Prabowo dalam rentetan peristiwa yang melibatkan institusi Polri justru dilihatnya sebagai wujud ketegasan.
Menurut dia, Kapolri tegas menindak dan memproses hukum kasus Ferdy Sambo.
Di kasus Teddy Minahasa, proses hukum terhadap dugaan penjualan barang bukti narkoba juga dinilai sebagai bentuk ketegasan pucuk tertinggi korps berseragam coklat tersebut. Pengungkapan kasus ini adalah tindak lanjut dari kasus sebelumnya di mana seorang perempuan ditangkap dalam kasus narkoba dan dia menyebut soal peran Teddy Minahasa. Kapolri sebenarnya bisa membiarkan keterangan itu, tetapi dia memilih menindaklanjutinya.
”Artinya, Polri memiliki power (kekuasaan) untuk melakukan itu dan bisa melakukannya,” ujarnya.
Dia juga mengapresiasi keberanian Kapolri mengungkap, menangkap, dan memecat anggota Polri yang terlibat berbagai kasus hukum. Hal ini juga harus dilihat publik sebagai upaya maju untuk bersih-bersih atau reformasi institusi Polri. Di luar kasus-kasus itu, Polri pun gencar menangkap bandar judi daring yang telah melarikan diri ke luar negeri. Mereka melarikan diri setelah Polri gencar melakukan penegakan hukum judi daring.
”Tidak mudah mengambil narapidana yang sudah kabur ke luar negeri tanpa ada kesungguhan dan jaringan di sana. Polri juga perlu meyakinkan otoritas di negara setempat untuk menangkap para tersangka kasus judi online itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, karena Presiden Jokowi telah tegas berpesan kepada Polri untuk melarang gaya hidup mewah, Mahfud juga meminta agar Kapolri mengawal implementasi perintah itu.
Ke depan, Polri harus dibangun sebagai polisi rakyat yang sederhana, tidak pongah, tidak hedonis, tidak berlebihan dalam gaya hidup, dan tidak sewenang-wenang dalam penegakan hukum.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani menilai, implementasi dari konsep pembenahan Polri yang diusung Listyo, yakni Polri Presisi, tersendat. Hal tersebut kemudian memunculkan persepsi publik bahwa hambatan itu disebabkan antara lain karena rivalitas senior-yunior. Padahal, konsep Polri Presisi harusnya dilaksanakan secara konsisten tanpa ada keraguan sehingga amanah reformasi agar wajah Polri sebagai polisi sipil bisa lebih cepat terwujud.
”Tantangan paling besar dalam mewujudkan Polri Presisi adalah pada sisi pembenahan kultur. Yang harus dibersihkan oleh Kapolri dan jajaran pimpinan Polri adalah soal kultur ini. Ini hemat saya harus dimulai dari fasilitas jabatan, gaya hidup pribadi dan keluarga yang tidak jor-joran dari perwira Polri, paling tidak jika dibandingkan dengan lembaga lain,” ujarnya.
Soal gaya hidup, Arsul menilai tidak menyangkut mayoritas anggota Polri. Sebab, polisi yang bertugas pada sektor keamanan dan ketertiban masyarakat pada umumnya memiliki gaya hidup yang standar sebagaimana layaknya kebanyakan aparatur negara lainnya.
Pembenahan kultur yang lain, katanya, adalah yang terkait dengan sisi kemanusiaan dan keadilan saat melaksanakan tugas, baik dalam penegakan hukum maupun pengendalian massa. Sebab, tidak bisa dimungkiri masih ada kultur kekerasan atau pelanggaran HAM di tubuh Polri dalam pengendalian massa seperti ketika ada unjuk rasa atau aksi massa seperti yang terjadi pada Kanjuruhan.
”Kultur yang terkait dengan penegakan hukum dan keadilan juga masih belum dirasakan masyarakat sebagaimana yang mereka harapkan, terutama ketika ada kasus-kasus hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya,” ujar Arsul.
Menurut dia, pembenahan kultur tersebut memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan membenahi struktur kelembagaan dan regulasi. Implementasinya butuh konsistensi dan ketegasan, termasuk penerapan reward and punishment, serta keterbukaan terhadap peran publik dan kelembagaan lain. ”Yang tidak kalah pentingnya adalah contoh dari atas dalam kehidupan keseharian yang nyata,” katanya.
Revisi aturan
Adapun peneliti Politik Keamanan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky D Fahrizal, berpandangan, aturan mengenai larangan gaya hidup mewah anggota Polri mendesak untuk direvisi.
Sebelumnya, larangan hidup mewah itu dikeluarkan di masa jabatan Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis berupa Perintah Kapolri melalui Surat Telegram Rahasia (TR) Nomor ST/30/XI/HUM/3.4/2019/DIVPROPAM tanggal 15 November 2019.
Aturan baru, menurut dia, harus diintegrasikan dengan kode etik dan profesi Polri. Dengan demikian, ketika ada anggota Polri yang melanggar bisa ditindak secara kode etik. ”Dengan menyatukan larangan gaya hidup mewah dengan unsur kode etik, Divisi Propam Polri juga bisa mengawasi melekat aturan itu. Jika ada yang melanggar, bisa diproses etik. Ini lebih efektif,” katanya.
Selain merevisi aturan, kata Nicky, Kapolri dan jajaran pimpinan tinggi Polri juga harus memulai dan menunjukkan suri teladan gaya hidup bersahaja tersebut. Sebab, saat ini gaya hidup berlebihan Polri sudah sampai ke level kapolres, dan kapolsek. Korps Bhayangkara harus terus-menerus diingatkan bahwa tugas mereka sebagai pengayom masyarakat seyogianya berpihak kepada masyarakat miskin.
”Dengan kepemimpinan yang memberikan contoh kepada bawahan, Divisi Propam Polri juga bisa mengawasi secara melekat, melihat gaya hidup anggota Polri,” ujarnya.
Selain itu, dia berharap arahan dari presiden bisa diperluas keberlakuannya kepada aparat penegak hukum lain. Ini bisa menjadi momentum yang pas untuk mengubah mentalitas jaksa dan hakim yang juga dikenal bergaya hidup mewah. Reformasi kultural Polri harus dijadikan momentum untuk mereformasi seluruh aparat penegak hukum sehingga reformasi hukum yang saat ini sedang diperintahkan oleh presiden berjalan.
Reformasi hukum itu haruslah menyentuh aspek utama dan substantif, yaitu perubahan budaya dan mentalitas yang harus sejalan dengan etika dan moral politik, hukum, serta masyarakat.