Tangan-tangan mungil menyalakan harmoni lewat musik gambangan di Desa Jambi Tulo, Provinsi Jambi. Kisah dibangun dalam iringan ketukan di atas kayu mahang.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Sasa (11) memangku enam bilah kayu mahang (Macaranga mauritiana) yang telah dipahat halus. Setiap bilahnya mengeluarkan bunyi berbeda satu sama lain. Beberapa saat kemudian, ketukan-ketukan itu mengantar teman-temannya serempak menyanyi.
”Tung udang gantung, dahan raman patah tekole.”
”Untung nasib kami beruntung, taman baco atap rumbe.”
Anak-anak itu tengah memainkan kesenian gambangan. Setahun terakhir, gambangan kembali dimainkan di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, yang bersamaan dengan berdirinya Taman Baco Atap Rumbe, rumah literasi anak-anak setempat. ”Kalau sekarang sudah lancar mainnya,” ujar Sasa, musisi cilik penabuh gambangan, Minggu (6/11/2022).
Pagi itu, anak-anak taman baca kembali berlatih. Mereka akan tampil dalam pementasan yang dihadiri seluruh siswa sekolah menengah atas sekecamatan. Menurut rencana, mereka juga akan melatih para siswa yang ingin berkenalan dengan musik yang sempat lama hilang tersebut.
Keberadaan Taman Baco Atap Rumbe telah menyalakan literasi di desa. Tak hanya mendorong anak-anak gemar membaca. Mereka pun kini rutin berkumpul di hari Minggu untuk berlatih gambangan, mendongeng, hingga menganyam.
Tak jarang mereka mainkan kembali permainan tradisional, di antaranya tangtang duku. Seusai bermain, anak-anak kembali berkumpul di balai-balai tratak gambang. Berlatih gambangan kembali dilangsungkan.
Agar sesuai dengan tema kekinian, anak-anak membuat lirik lagu versi baru dengan bantuan sejumlah orang tua. Lahirlah lagu berjudul “Taman Baco Atap Rumbe” yang dimainkan anak-anak tadi.
Pegiat Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMB) Adi Ismanto, yang juga menggagas berdirinya taman baca tersebut, menceritakan kegiatan budaya yang berjalan seiring terbangunnya taman baca.
Pada masa lalu, kata Adi, gambangan kerap dimainkan pada malam hari. Namun, tempatnya di tengah sawah dan kebun. Ketukan gambang terdengar sangat merdu dan magis di tengah heningnya malam.
Ia menjadi sarana untuk mendekatkan hubungan manusia dan penciptanya. ”Para petani memanfaatkan musik itu sebagai sarana berucap syukur kepada Sang Pencipta akan melimpahnya hasil alam,” kenangnya.
Di bawah langit temaram, petani menunggui padi sembari bergambang. Dalam keheningan di pematang sawah, suara ketukan yang indah itu dapat terdengar hingga ratusan meter jauhnya.
Nun di kejauhan, ada petani lain yang mendengarkannya. Ia pun spontan menyambut dengan turut bernyanyi dari pondoknya. Meski berjauhan jarak, musik dan kidung menjadi satu harmoni yang menyelimuti malam. Doa dan harapan tercurah kepada Sang Maha Pencipta.
Di masa lalu, suara gambangan juga menjadi pertanda kehadiran manusia. Hutan-hutan lebat mengelilingi permukiman yang masih dihuni beragam jenis fauna. Binatang buas yang mendengar musik dipercaya akan enggan mendekat. Binatang buas tak akan mengganggu petani, apalagi tanamannya.
Adi menuturkan, gambangan meredup puluhan tahun lamanya. Baru dua tahun terakhir musik itu terdengar kembali. Kisahnya diawali keinginan para pemuda GMB untuk menghidupkannya lagi. Mereka pun merekonstruksi.
Tak hanya pemuda yang kini bermain gambangan, anak-anak kecil pun ikut gandrung memainkannya.
Bilah-bilah kayunya dibuat lagi dengan berbekal pengetahuan dari para tetua di desa. Musik pun lahir baru. Selanjutnya, syair-syair baru diciptakan. Liriknya akrab dengan keseharian. Selain ”Pematang Damar”, ada lagu berjudul ”Kopi Tuak”, ”Bungo Dewo”, hingga ”Lebung Panjan””.
Baca juga: Gambangan Berkisah Hilangnya Hutan
”Kopi Tuak” berkisah tentang tradisi minum kopi dalam seduhan air nira. Bubuk kopinya tidak diseduh dengan air panas biasa, tetapi dengan air nira segar yang dipanaskan. Rasanya begitu nikmat.
Sekilas gambangan mirip dengan kolintang di Sulawesi atau gambang kromong di Jakarta. Perbedaannya ada pada bilah-bilah kayunya yang tidak dijalin ataupun diwadahi oleh perangkat. Menurut Adi, itu masih asli sesuai tradisi di masa lalu.
Untuk memainkan gambangan, bilah-bilah kayu mahang dipangku dalam posisi duduk berselonjor. Agar kayu tetap diam di pangkuan, selembar kain dikaitkan, lalu ditahan pada jari-jari kaki.
Salah seorang pemain gambangan, Edwar Sasmita (40), menceritakan keinginan kuat para pemuda itu akhirnya berbuah. Bahkan, tak hanya pemuda yang kini bermain gambangan, anak-anak kecil juga ikut gandrung memainkannya. Tak heran jika gambangan akhirnya kembali semarak di Jambi Tulo.