Sistem Peringatan Dini Ditingkatkan untuk Antisipasi Longsor dan Banjir di Jatim
Bencana longsor, tanah bergerak, dan banjir berpotensi terjadi pada musim hujan tahun ini. Warga Jatim diimbau tingkatkan kesiapsiagaan.
SURABAYA, KOMPAS — Bencana longsor, tanah bergerak, dan banjir berpotensi terjadi pada musim hujan tahun ini. Masyarakat Jawa Timur diimbau meningkatkan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana tersebut.
Analis Mitigasi Bencana BPBD Jatim Mukhtarodin Widodo mengatakan, intensitas dan curah hujan berpengaruh pada bencana hidrometeorologi di wilayahnya, terutama longsor, tanah gerak, banjir, dan banjir bandang. Oleh karena itulah, masyarakat diminta meningkatkan kesiapsiagaan selama musim hujan yang diprediksi berlangsung November 2022 hingga Februari 2023.
”Berdasarkan kajian risiko bencana Provinsi Jatim memiliki 14 ancaman bencana, 13 bencana alam dan satu bencana nonalam. Bencana alam antara lain banjir, banjir bandang, abrasi, gempa bumi, longsor, letusan gunung api, dan likuefaksi. Likuefaksi berpotensi terjadi di Jember, Lumajang, dan Banyuwangi,” ujar Widodo, Rabu (2/11/2022).
Widodo mengatakan, sebagian besar daerah di Jatim berpotensi banjir, banjir bandang, longsor, dan tanah gerak. Daerah itu, antara lain, Bojonegoro, Jombang, Mojokerto, Madiun, Magetan, Ngawi, Pacitan, Trenggalek, Blitar, Malang, Tulungagung, Kediri, Kota Batu, Banyuwangi, Jember, dan Lumajang.
Baca juga: Terdampak Longsor Puluhan Keluarga di Trenggalek Bakal Direlokasi
Berdasarkan data BPBD Jatim selama 2021 lalu tercatat 166 bencana banjir, 62 angin kencang, 12 banjir bandang, 30 tanah longsor, 19 angin puting beliung, 6 kejadian gempa bumi, dan 14 kasus bencana lainnya. Bencana banjir, banjir bandang, longsor, dan tanah bergerak baru-baru ini kembali melanda Jatim.
BPBD Jatim mencatat tiga kabupaten dilanda bencana longsor dan tanah bergerak, yakni Trenggalek, Blitar, dan Pacitan. Di Trenggalek, misalnya, sampai dengan Sabtu (22/10/2022) terdapat 65 lokasi longsor yang tersebar di delapan kecamatan, yakni Trenggalek, Dongko, Suruh, Gandusari, Bendungan, Tugu, Kampak, dan Pule.
Total terdapat 23 desa yang melaporkan kejadian longsor di wilayahnya. Dampak bencana longsor itu dirasakan oleh 117 keluarga dan sebanyak 175 jiwa penduduk terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Adapun longsor terparah terjadi di Desa Sumurup, Kecamatan Bendungan. Sebanyak 51 keluarga harus direlokasi.
Di Kabupaten Blitar, fenomena tanah bergerak terjadi setelah hujan deras mengguyur, Minggu (16/10/2022). Hasil kaji cepat tim BPBD Kabupaten Blitar menyatakan, sampai dengan Sabtu (22/10/2022) terdapat 27 rumah warga yang terdampak tanah bergerak di Kecamatan Panggungrejo. Rumah tersebut dihuni 27 keluarga dengan jumlah orang sebanyak 223 jiwa.
Fenomena tanah gerak tersebut meluas menjadi lima kecamatan di Blitar, yakni Panggungrejo, Binangun, Kademangan, Wates, dan Sutojayan. Jumlah keluarga yang terdampak semakin banyak dan saat ini masih dalam pendataan petugas. Namun, mereka telah diminta mengungsi ke lokasi yang aman untuk mencegah jatuhnya korban jiwa.
Baca juga: Tebing Jalan Tol Malang Pandaan Longsor
Sementara itu, bencana longsor dan tanah bergerak di Pacitan menyebabkan 36 keluarga terdampak. Mereka berasal dari tiga desa di Kecamatan Sudimoro, yakni Sukorejo, Ketanggung, dan Karangmulyo. Kondisi rumah warga yang terdampak bencana tersebut memprihatinkan karena dinding dan lantainya retak sehingga tak layak huni.
Mukhtarodin Widodo mengatakan, menyikapi bencana banjir, banjir bandang, longsor dan tanah gerak tersebut, pihaknya sedang menyusun peta rencana penanggulangan bencana bersama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Setelah itu, akan disusun rencana kontigensi yang sudah fokus pada setiap ancaman bencana.
”BPBD Prov Jatim tahun ini sudah menyusun rencana kontigensi bencana erupsi semeru. Sebelumnya bencana tsunami. Banjir bandang dan longsor akan segera disusun,” kata Widodo dalam webinar Kawasan Rawan Longsor dan Banjir Bandang di Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Teknik Geofisika ITS.
Ia juga menambahkan, setelah rencana kontigensi, baru disusun rencana tanggap darurat serta rencana pemulihan (RP3P). Ada empat tahap penanganan bencana di Jatim, yakni tahap pencegahan dan mitigasi, tahap kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan.
Terkait dengan bencana banjir, banjir bandang, longsor, dan tanah bergerak, BPBD Jatim memasang 42 titik sistem peringatan dini (early warning system-EWS) tahun ini. Setiap tahun pihaknya hanya mampu menambah enam alat, yakni tiga alat untuk longsor dan tiga alat untuk banjir atau banjir bandang.
Untuk sistem peringatan dini bencana pihaknya sangat butuh riset dari perguruan tinggi agar mampu menghasilkan alat yang berfungsi optimal, tetapi biayanya cukup terjangkau. Keterbatasan anggaran menjadi kendala signifikan dalam membangun sistem peringatan dini bencana.
Widodo mengatakan, strategi lain yang diterapkan adalah membantu BPBD kabupaten dan kota di Jatim untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap bencana melalui program Desa Tangguh Bencana (Destana) dan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).
Pembentukan Desa Tangguh Bencana didasarkan peta kawasan rawan bencana mulai tahun depan atau 2023. Sebelumnya, pembentukan destana berbasis pada kejadian bencana yang pernah terjadi di wilayah tersebut.
Adapun upaya pengurangan risiko banjir bandang dan tanah longsor dilakukan dengan menanami kembali lahan kritis. Caranya menyebarkan bibit tanaman berakar tunjang menggunakan pesawat bekerja sama dengan TNI AU. Bibit diharapkan menyemai dan tumbuh sebagai agen alami pengurangan risiko bencana banjir, banjir bandang serta tanah longsor.
”Aeroseeding mulai diimplementasikan tahun 2020 di lereng Gunung Arjuno dan Welirang, serta Pulau Madura mulai Kabupaten Sampang, Bangkalan, Sumenep, dan Pamekasan,” ucap Widodo.
Pakar bencana Institut Teknologi Surabaya (ITS) Amin Widodo mengatakan, longsor sejatinya merupakan peristiwa biasa sebagai bagian dari dinamika bumi dan siklus alam. Namun, seiring tingginya aktivitas manusia di kawasan pegunungan dan sekitarnya, longsor dan tanah gerak menjadi semakin kerap melanda sejumlah wilayah di Jatim.
”Manusia dan aktivitasnya mempercepat ketidakstabilan tanah sehingga peristiwa alam seperti longsor yang dulu merupakan hal biasa, kini menjadi bencana yang mengerikan,” ujar Amin Widodo.
Gerakan tanah atau longsoran, lanjut Amin, merupakan perpindahan massa tanah dan atau batuan kearah vertikal karena gravitasi. Gerakan tanah ini bisa cepati atau lambat dengan bidang lurus maupun melengkung. Longsor biasanya dikategorisasi berdasarkan jenis materialnya, bentuk bidang, dan kecepatan.
Amin mengatakan, longsor disebabkan oleh berbagai faktor dan tidak semata karena hujan deras. Salah satunya kondisi vegetasi di kawasan pegunungan yang semakin berkurang. Pengurangan vegetasi bisa disebabkan kebakaran hutan yang menghanguskan banyak pohon, penebangan pohon secara legal maupun ilegal, dan alih fungsi lahan.
Selain itu, adanya penambahan volume air di kawasan pegunungan sehingga menambah massa tanah. Faktor lain, terpotongnya lereng pegunungan di bagian bawah karena berbagai kepentingan seperti pembangunan jalan, perluasan kawasan permukiman, dan pembangunan terowongan.
Baca juga: Banjir di Selatan Jatim Bergeser ke Barat, Warga Diminta Berhati-hati
Sementara itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, kondisi rumah dan permukiman warga korban longsor dan tanah bergerak di Pacitan, Blitar, dan Trenggalek sangat memprihatinkan. Rumah-rumah tersebut tidak bisa ditinggali lagi karena struktur bangunannya rusak. Kondisi jalan desa juga retak dan sulit diperbaiki.
Dia menambahkan, kondisi rumah dan permukiman warga korban bencana juga rawan terkena bencana susulan yang terjadi saat musim hujan. Oleh karena itulah, pihaknya memberikan bantuan relokasi rumah dan permukiman warga.
”Pemprov bersama dengan pemerintah kabupaten memberikan solusi berupa relokasi. Pemerintah akan menyiapkan lahannya dan membantu pembangunan rumah sebesar Rp 50 juta per keluarga. Dananya diambilkan dari pos BTT APBD tahun berjalan,” kata Khofifah.