Lima Tersangka Korupsi Monumen Samudera Pasai di Aceh Ditahan
Lima tersangka kasus korupsi proyek pembangunan Monumen Islam Samudera Pasai ditahan. Negara diduga merugi hingga Rp 20 miliar.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
LHOKSUKON, KOMPAS — Kejaksaan Negeri Aceh Utara, Aceh, menahan lima tersangka kasus korupsi proyek pembangunan Monumen Islam Samudera Pasai. Kerugian negara akibat praktik itu diperkirakan hingga Rp 20 miliar.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Aceh Utara Arif Kadarman, saat dihubungi Rabu (2/11/2022), mengatakan, lima tersangka ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Lhoksukon.
Mereka adalah FB (61), bekas Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata, dan Kebudayaan Aceh Utara; TM (48) sebagai kontraktor; P (57) bertindak sebagai konsultan; RF (57) yang menjadi kontraktor pelaksana; dan N (53) selaku pejabat pembuat komitmen.
”Mereka ditahan pada Selasa, 1 November 2022. Semua (diduga) melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” kata Arif.
Monumen Islam Samudera Pasai dibangun untuk mengenang kejayaan Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 hingga ke-16. Bangunan terdiri atas tiga lantai yang masing-masing difungsikan sebagai ruang pameran, ruang latihan, penelitian, kantin, dan sekretariat pengelola.
Monumen itu dibangun menggunakan anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 49 miliar. Berada di Gampong (Desa) Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, proyek pembangunannya dilakukan periode 2012-2017 dan diresmikan tahun 2019.
Akan tetapi, Kejari Aceh Utara menemukan indikasi korupsi pada pembangunannya. Pelaksanaannya tidak sesuai dengan spesifikasi yang tertera dalam dokumen rancangan.
Spesifikasi mutu beton yang seharusnya K 500, misalnya, dibangun menggunakan K 250. Bahkan, setelah diuji menggunakan alat uji kekuatan beton (hammer test) hasil mutu betonnya bervariasi, yakni K 200, K 140, dan K 120. Mutu beton seperti itu dikhawatirkan tidak mampu menopang menara setinggi 71 meter.
Sebelumnya, Direktur Institut Peradaban Aceh Haekal Afifa mengatakan, keberadaan monumen sangat penting untuk merawat sejarah Samudera Pasai, kerajaan Islam pertama di Nusantara.
”Sangat menyedihkan pembangunan monumen untuk melestarikan sejarah terhalang praktik korupsi,” ujar Haekal.
Haekal berharap program pelestarian tersebut tidak berhenti karena indikasi korupsi. Sejarah Samudera Pasai sangat penting untuk diwariskan kepada generasi muda Aceh.
Perilaku korupsi masih menjadi salah satu penghambat pembangunan di Aceh. Korupsi tidak hanya terjadi pada pembangunan fisik, tetapi juga pada proyek rehabilitasi pascabencana, pengembangan ekonomi warga, hingga beasiswa pendidikan.
Saat kunjungan kerja di Banda Aceh pada 26 Maret 2021, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri mengingatkan pejabat daerah di Aceh agar menghindari perilaku korupsi. Alasannya, setiap rupiah pengelolaan anggaran publik harus dapat dipertanggungjawabkan.
”Dana otonomi khusus Aceh cukup besar, harus dipastikan setiap rupiah untuk pembangunan. Tidak boleh ada lagi praktik-praktik korupsi di Aceh,” kata Firli.