Merasakan kesederhanaan kehidupan masyarakat Baduy menjadi pengalaman otentik wisatawan yang berkunjung ke sana. Mereka bisa menginap di rumah keluarga Baduy dan membayar uang pengganti bahan pokok sepantasnya.
Asap tipis mengepul dari nasi yang dibolak-balikkan oleh Ambu Misna. Sedari pukul 04.00 pada Sabtu (29/10/2022), Ambu Misna dibantu kemenakannya, Ana, sudah sibuk menyiapkan sarapan serta bekal ke ladang. Api dari kayu bakar menyala di dua tungku tanah liat. Satu untuk menjerang air, satu lagi untuk memasak lauk.
Dalam satu jam, pisang goreng siap dihidangkan sembari menunggu waktu sarapan. Disusul tempe dan tahu goreng serta sambal kecombrang. Tidak ketinggalan telur dadar, ikan asin, dan lalapan. Empat kaleng sarden dari tamu yang menginap di rumah Ambu Misna, juga dimasak.
Sarapan di rumah pasangan Kang Sarpin dan Ambu Misna itu baru dimulai pukul 08.00. Mereka menunggu para tamu, yang melewatkan pagi untuk berjalan kaki ke Kampung Gajeboh, yang berjarak sekitar 1,5 km dari Kampung Balimbing, tempat rumah pasangan Baduy Luar ini berada.
Setibanya di rumah, para tamu membersihkan diri. Tak lama, mereka meriung mengelilingi sajian sarapan. Rasa lelah dan hawa sejuk di pagi hari memancing lapar. Makanan yang tersaji di depan mata segera disantap hingga tandas.
Meskipun menuai pujian dari para tamu atas masakannya, Ambu Misna merendah, “Ah, ini karena nggak ada pilihan makanan lain saja.”
Apa yang disajikan untuk para tamu, juga dibungkus dengan daun pisang untuk dibawa Ambu Misna dan Ana ke ladang. Mereka sengaja memasak banyak agar cukup untuk sarapan dan makan siang di ladang. Adapun para tamu, setelah sarapan sudah pamit pulang.
Alam yang asri dan kesederhanaan kehidupan masyarakat Baduy menjadi daya tarik bagi wisatawan. Semalam di perkampungan Baduy Luar maupun Baduy Dalam, menjadi sarana memulihkan raga yang selama ini terkontaminasi dengan hidup perkotaan yang serba tergesa, gemerlap, dan terpapar polusi udara.
Malam hari, saat langit sedang cerah, seperti pada Jumat (28/10), taburan bintang besar-kecil menghiasi langit yang gelap. Cahaya benda langit ini tidak terusik polusi cahaya khas kota besar. Sebabnya tak lain karena penggunaan listrik di Baduy Luar sangat terbatas, apalagi di Baduy Dalam.
Pagi hingga siang hari, jalur berliku di Desa Kanekes yang menaungi wilayah masyarakat Baduy, menjadi jalur trekking bagi wisatawan. Tidak ada kendaraan apapun yang diperkenankan masuk ke pemukiman ini. Kalau ada barang atau belanjaan, semuanya dipikul.
Sebagian tamu datang pagi hari untuk trekking dan kembali saat sore. Yang lain memilih bermalam di rumah warga dan merasakan kehidupan masyarakat Baduy, termasuk juga masakan seperti yang diracik Ambu Misna.
Meskipun masyarakat Baduy memegang teguh tradisi berladang, kini sebagian besar bahan pangan harus mereka beli. Tidak terkecuali beras dan aneka lauk-pauk. Penyebabnya adalah luas ladang yang kian sempit sementara populasi bertambah.
Di sisi lain, wisatawan yang bermalam di rumah warga juga harus disuguhi makanan. Ada kalanya para tamu ini membawa aneka bahan pangan untuk dimasak dan disantap bersama seperti yang dilakukan para tamu yang menginap di rumah Ambu Misna.
Namun, ada saja tamu yang melenggang pergi tanpa meninggalkan uang sekadarnya untuk pengganti bahan pangan yang mereka nikmati bersama. Ada juga yang menyerahkan uang Rp 25.000 untuk serombongan yang bermalam di rumah warga. Sebagai tambahan, tidak ada tarif khusus bagi wisatawan yang berkunjung, baik untuk trekking maupun bermalam.
Satu-satunya pungutan resmi adalah retribusi di pintu masuk yakni sebesar Rp 5.000 per orang sekali datang. Uang retribusi ini masuk ke Pendapatan Asli Desa Kanekes dan digunakan untuk menyokong perayaan adat di kalangan masyarakat Baduy dan balas jasa bagi para pemuda Baduy yang setiap minggu mengangkut tumpukan sampah plastik dari setiap kampung.
Pengalaman “menyubsidi” pangan bagi wisatawan juga dirasakan Ayah Ardi (67), warga Kampung Cibeo, Baduy Dalam, ini hanya tertawa getir saat ditanya tentang perilaku sebagian pengunjung yang seakan numpang makan.
“Sudah biasa,” kata Ayah Ardi.
Di tengah keterbatasan hasil ladang, Ayah Ardi tidak mengeluh bila ada wisatawan yang melenggang saja. Meskipun tidak secara eksplisit menyebut karma, Ayah Ardi percaya kebaikan harus terus dilakukan. Bahkan, ada kalanya saat warga Baduy Dalam melakukan perjalanan jauh seperti ke Jakarta atau Bandung, mereka gentian “numpang” makan di rumah orang-orang yang pernah bertamu di kampung mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga, Ayah Ardy tidak selalu menggunakan padi panen atau mengambil “tabungan” padi dari leuit (lumbung pangan) mereka. Kini jamak masyarakat Baduy belanja beras, minyak goreng, ikan asin, dan kebutuhan dapur lainnya ke Desa Ciboleger yang bertetangga dengan Desa Kanekes. Kalau dituruti, Rp 1 juta habis untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi Ayah Ardi, istri, dan tujuh anaknya. Belum lagi kalau ada tamu yang bermalam di rumahnya. Saat akhir pekan, rumah Ayah Ardi bisa kedatangan 5-10 tamu, bahkan lebih.
Namun, apa yang ideal ini kerapkali tidak tercapai manakala tidak ada uang masuk. Apalagi, dua tahun terakhir, pendapatan dari menjual buah-buahan hasil ladang, sangat seret.
“Banyak pohon buah sudah rontok bunganya akibat hujan terus-menerus. Ini sudah dua tahun begini. Belum lagi harga kencur yang anjlok jadi saya nggak bisa panen,” tuturnya.
Kerajinan seperti kain tenun dan gula aren menjadi salah satu penopang. Hanya saja, produksi kerajinan banyak dilakukan di Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam cenderung sebatas ikut menjualkan ke tamu yang berkunjung ke rumah mereka.
Sampah plastik
Persoalan lain yang berimbas ke warga Baduy adalah sampah plastik. Dalam 20 tahun terakhir, pemakaian plastik kian populer. Di rumah-rumah, warga Baduy banyak menjajakan minuman dalam kemasan botol plastik. Belum lagi aneka camilan berbungkus plastik banyak dibawa wisatawan masuk ke pemukiman warga Baduy. Warga Baduy pun sedikit demi sedikit mulai terbiasa dengan plastik.
Sayangnya, masih ada wisatawan yang membuang sembarangan sampah plastik mereka. Padahal, hampir di setiap rumah warga tersedia karung untuk sampah plastik. Beberapa tempat sampah juga ada di depan rumah warga.
Dalam setahun, pernah terkumpul 70 karung dari Kampung Cibeo saja. “Waktu itu, untuk mengangkut karung sampah ini, kami keluar biaya Rp 1,5 juta,” ujar Ayah Ardi.
Kedatangan para tamu, di satu sisi, ikut membantu menggerakkan perekonomian warga. Akan tetapi, keselarasan kedua pihak menjadi kunci penting agar roda pariwisata bergulir dan memberikan manfaat positif bagi semuanya.
“Saling menjaga dan menghargai antarmanusia dan kepada alam. Kita adalah manusia yang sama, hidup di alam nafas yang sama. Keterbukaan kami seperti alam terbuka untuk memberi kehidupan. Namun, keterbukaan kami bukan sebagai objek yang diwisatakan dengan perilaku membuang sampah sembarangan, tidak mengambil gambar (foto dan video di Baduy Dalam),” kata kakek lima cucu itu.