Kemandirian Pangan di ”Leuit” Sendiri
Suku Baduy Dalam di Lebak, Banten, hidup merdeka dengan keteguhan adat tradisi. Buah dari keteguhan itu ialah kemandirian pangan dan kelestarian alam yang menjaga ”leuit” atau lumbung pangan mereka abadi.
Pondok teu menang disambung, lojor teu menang dipotong, gunung teu menang dilebur, lebak teu menang dirumpuh, enya kudu dienyakan, nulain kudu dilainken
(Pendek tak boleh disambung, panjang tak boleh dipotong, gunung tak boleh dilebur, lembah tak boleh dirusak, yang betul harus dibilang betul, yang salah harus dibilang salah).
Sinar matahari yang menembus sudut-sudut rumah warga berbahan bambu dan kayu di Kampung Cibeo, Baduy Dalam, memberikan kehangatan setelah hujan deras membasahi tanah Lebak Pariangan, Banten. Pagi menyingsing dalam selimut embun bersama aroma tanah yang basah selepas hujan, Rabu (20/7/2022).
Baca juga: Berbekal Bahasa Lokal, Geise Masuk Komunitas Baduy dan Muslim Banten Selatan
Dalam kekhusyukan pagi itu, Ardi (67), salah satu tetua di Baduy Dalam, pergi menuju ladang. Di tanah becek dan bebatuan basah dengan jalur lintas pegunungan yang menurun dan mendaki, kaki Ardi—yang kerap dipanggil Ayah Ardi—melangkah cekatan.
Padahal, ia memanggul bambu sepanjang sekitar 7 meter dan berdiameter 15-20 sentimeter di bahu kanannya, sementara di bahu kirinya membawa tas kain berisi pakaian dan nasi yang terbungkus daun pisang.
Vegetasi sungai masih terjaga dengan dikelilingi pohon dan bambu. Kondisi sungai masih belum tercemar menjadi sumber kehidupan warga Baduy. Setidaknya ada 125 sungai yang dimanfaatkan 1.750 keluarga di Baduy sebagai sumber air bersih.
Setelah berjalan sekitar 45 menit, Ayah Ardi tiba di ladang dan segera meletakkan bambu di lahan berumput yang sudah ia tebas dalam tiga hari terakhir. Sejenak ia mengatur napas dan duduk beristirahat membiarkan keringat deras di mukanya menetes jatuh.
Tak lama, dalam hela napas panjang, Ayah Ardi berdiri dan membabat rumput liar dan pohon kecil atau berdahan kecil dengan bedog atau parang. Tidak semua pohon di ladang itu ditebang karena ada beberapa pohon buah seperti jengkol dan ranji. Proses nyacar atau membuka ladang itu bisa menghabiskan waktu satu hingga dua minggu.
Banyak lahan atau ladang milik warga warga Baduy Dalam dan Baduy Luar berposisi curam, mencapai 25-75 derajat. Di lahan itu, warga biasa menanam padi, dan tanaman seperti kencur atau cabai.
”Ini tanah yang boleh kami garap. Semua ditebas rumput dan pohonnya untuk nanti ditanam padi. Tidak boleh sembarang menggarap lahan, hanya lahan atau tanah garapan yang boleh dijadikan tempat berladang atau lahan yang dulu pernah dijadikan ladang dan digarap ulang. Di tanah larangan, di tanah ulayat yang disucikan harus dibiarkan bersih, tidak boleh diganggu. Itu disakralkan,” kata kakek lima cucu itu.
Jumlah penduduk Baduy Dalam sebanyak 3.433 keluarga atau sekitar 11.758 orang. Mereka mendiami tanah adat atau ulayat seluas 5.136,58 hektar. Luas tegal atau ladang 4.726,38 hektar, sedangkan lahan pemukiman 406,2 hektar.
Warga Baduy Dalam sangat menghargai proses tanam. Selama aktivitas membuka ladang, misalnya, Ayah Ardi bersama anaknya, Jali (34), hanya sedikit meminum air, bahkan tidak minum sama sekali.
Hal itu dilakukan untuk menghindari buang air kecil. Di sekitar ladang yang sudah diberkati dengan ritual, mereka tak boleh sembarangan buang air kecil.
Selama lima jam, ayah dan anak itu membuka ladang. Mereka memutuskan untuk istirahat sejenak di saung. ”Ini adalah musim berladang. Kami saat ini sedang nyacar (membersihkan rumput liar). Semua aktivitas warga, seluruh warga Baduy ke ladang. Kampung sepi karena aktivitas dihabiskan di ladang, tidur, dan makan di saung yang jadi rumah kami juga. Kami balik ke kampung biasanya setelah seminggu di ladang,” ujar Ayah Ardi.
Penanggalan tanam
Untuk menentukan musim tanam dan penyiapannya, warga Baduy Dalam mengikuti sistem penanggalan khusus. Ada 12 bulan dalam kalender Baduy, yakni Sapar, Kalima, Kanem, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Kayu, Hapit Lemah, Kasa, Karo, dan Katiga.
Dari penanggalan itu, masyarakat Baduy Dalam mulai membersihkan dan membuka lahan (Narawas) untuk ladang padi kering (huma) pada bulan Sapar, tanggal 18. Dari bulan Sapar hingga bulan kanem pada tanggal 18 adalah waktu menebang pohon-pohon besar. Prosesi adat menebang pohon itu disebut Nukuh.
Baca juga: Jalan Baru Jahe Merah Baduy
Penanggalan itu memberikan penunjuk dan waktu untuk aktivitas berladang dan upacara adat lainnya. Selain Narawas yang jatuh pada bulan Sapar, ada Ngaseuk (menanam padi pada bulan Kapitu sekitar tanggal 18-22), sampai masa panen atau Kawalu di bulan Kasa dan ditutup pada bulan Katiga, serta menyimpan hasil panen di leuit (lumbung pangan).
”Setiap keluarga hampir semua ada leuit. Bahkan ada yang punya lebih dari tiga leuit. Hasil bumi, padi kami disimpan di situ. Kira-kira bisa sampai 50 tahun (cadangan padi),” lanjutnya.
Menjaga keseimbangan dengan tidak menggunakan pupuk kimia untuk bercocok tanam padi membuat hasil panen bisa bertahan lebih lama di dalam leuit. Ini menjadi salah satu ketahanan pangan yang dimiliki urang Baduy.
Meski memiliki cadangan padi untuk waktu yang lama, warga Baduy tetap membeli beras, minyak goreng, ikan asin, mi instan, dan lainnya untuk kebutuhan harian. Mereka sering kedatangan tamu dan pengunjung yang menginap sehingga mereka harus menyajikan makan.
Menjaga alam
Penanggalan masa tanam yang diikuti berbagai serangkaian adat membuat warga Baduy bisa hidup berdampingan bersama alam.
”Kami (Baduy Dalam dan Baduy Luar) masyarakat berladang, kami bersama-sama bercocok tanam padi. Kami berladang secara alami, tidak boleh ada pupuk. Kami menjaga ikatan (manusia dan alam) ini agar tanah tetap suci dan teratur. Ada tanah yang boleh dan tidak boleh digarap. Kami menjaga tanah dan air. Kami menjaga keseimbangan,” kata Ayah Ardi setelah makan siang.
Menu makan siangnya hari itu adalah nasi, sambal, dan ikan asin. ”Seperti ini, hanya ini makan kita, sangat sederhana, tapi kami tak pernah kelaparan. Kami kenyang. Anak cucu kami makan berkecukupan dari kehidupan alam di sini,” ujarnya sembari membereskan dan membuang daun pisang yang menjadi alas makan.
Warga Baduy Dalam atau yang disebut juga urang Kanekes tidak menggunakan perlengkapan dari plastik. Perlengkapan makan, minum, dan perlengkapan rumah tangga lain diganti dari bahan alam, seperti daun pisang sebagai piring dan bambu sebagai gelas.
Menjalani kehidupan dengan adat istiadat yang mewajibkan warga menghormati alam, seperti tidak menggunakan plastik, penggunaan sabun dan pasta gigi, hingga penggunaan pupuk untuk bercocok tanam, menjadi habitus yang mudah dilakukan. Bukan saja karena aturan adat, tetapi mereka sejak kecil sudah diajarkan bahan-bahan terlarang itu bisa menimbulkan pencemaran lingkungan.
Saat ini, masalah itu ada di hadapan mereka. Keterbukaan terhadap pengunjung ternyata meninggalkan masalah, yakni sampah yang dibuang sembarangan.
Juli (27), warga Cibeo, sembari memanggul tandan pisang yang ia panen dari ladangnya, juga memanggul karung berisi sampah plastik yang ia pungut. Kegiatan itu sudah menjadi rutinitas. Ia tak ingin kearifan, keterbukaan, dan rutinitas hidup menjaga dan bersahabat dengan alam di kampung Baduy kotor oleh tindakan tak terpuji orang luar.
”Kami sering bilang tak boleh mengambil gambar, jaga lingkungan dan jangan buang sampah sembarangan. Tidak hanya ke pengunjung, tetapi juga warga luar (kampung di luar Kanekes) yang masuk untuk berjualan kebutuhan harian, dan juga ke anak-anak kami. Namun, kita lihat ada saja sampah plastik. Di rumah kami, di saung kami ada tempat pembuangan sampah khusus plastik,” kata Ayah dua anak itu.
Juli dan Ayah Ardi dan banyak warga Baduy Dalam terbuka kepada orang luar yang berdatangan untuk melihat keindahan alam dan aktivitas warga.
”Kita adalah manusia yang sama, hidup di alam napas yang sama. Keterbukaan kami seperti alam terbuka untuk memberi kehidupan. Namun, keterbukaan kami bukan sebagai obyek yang diwisatakan,” katanya.
Sampah bukan satu-satunya persoalan. Satu masalah besar yang dikhawatirkan warga saat ini ialah maraknya pembukaan lahan di Gunung Kendeng, lingkungan tempat warga tinggal. Dari gunung itu, selama ini, warga Baduy Dalam menikmati air bersih dari 125 sumber mata air yang dimanfaatkan sekitar 3.395 keluarga.
Mereka juga menikmati 125 sungai yang dimanfaatkan 1.750 keluarga. Total ada 150 mata air dari Gunung Parigi dan Gunung Kendeng yang mengalir ke kampung mereka. Jangan sampai itu terganggu.
Di atas kesakralan tanah ulayat mereka, berbekal adat istiadat dan kearifan lokal, warga Baduy Dalam merdeka dari kekurangan pangan, sekaligus merasakan ketenangan batin. Cita-cita sejahtera sebagaimana diharapkan para pendiri bangsa setidaknya tecermin dari kemandirian pangan dan keteguhan jati diri mereka.
Baca juga: Kembalikan Hak Tanah Adat, Sejahterakan Masyarakat Adat