Meski Baduy dekat dari Jakarta dan sudah banyak dikaji, banyak yang belum memahaminya atau ada elemen-elemen yang terlewatkan dari kajian terkait dengan suku ini. Misalnya, bagaimana mereka beraktivitas di media sosial.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
SALOMO TOBING
Ahmad Najib Burhani
Bagi mereka yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, masyarakat suku Baduy yang mereka kenal dan sering dijumpai adalah orang dari Desa Kanekes, Banten, yang berjalan dengan tanpa alas kaki, berpakaian hitam atau putih, memakai telekung atau lomar (ikat kepala), membawa tas rajut coklat, berjualan madu, dan seterusnya. Pakaian dan penampilan adat Baduy ini menjadi terkenal ketika dikenakan oleh Presiden Joko Widodo saat menghadiri Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2021 lalu.
Gambaran tentang masyarakat suku Baduy yang sering dijumpai di jalanan menjadi berbeda begitu kita memasuki dunia media sosial, terutama Instagram. Nuansa Baduy di Instagram memang tetap menunjukkan elemen-elemen tradisi, tetapi kali ini tampil lebih anggun, cantik, bersih, elegan, dan eksotik. Tidak seperti bayangan umumnya sebagai masyarakat yang menolak atau tak kenal modernitas, mereka sangat beradaptasi dengan teknologi digital. Ini, misalnya, bisa dilihat dalam akun Instagram @ayudewibaduy (29K pengikut), @dewi.baduy.507 (3K), @wisatasukubaduy (13K), @souvenirbaduy (12K), @batikbaduy (7K), @jejak_baduy (49K), dan lainnya.
Lokasi suku Baduy itu sebetulnya tidak jauh dari Jakarta, sekitar 150 kilometer atau tiga jam perjalanan darat. Terletak di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, masyarakat Baduy terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Lokasi Baduy Luar tak jauh dari Terminal Ciboleger dan pengunjung bisa menginap di rumah-rumah adat atau penginapan komersial yang berada di luar kampung Baduy. Bedanya, jika menginap di kampung Baduy, pengunjung bisa merasakan langsung kehidupan mereka sepanjang hari, mulai dari bangun tidur hingga malam hari yang tanpa penerangan lampu listrik, tanpa TV dan radio, dan tidur beralaskan bambu. Kunjungan ke kampung Baduy ini biasanya disebut sebagai Saba Budaya.
Tulisan tentang Baduy itu sudah sangat banyak, bahkan bisa disebut over-studied. Kajian yang terbaru, diantaranya, adalah disertasi Ade Jaya Suryani yang berjudul From Respected Hermits to Ordinary Citizens (2021) dan disertasi Lilis Mulyani yang diterbitkan Routledge dengan judul Traditional Communities in Indonesia: Law, Identity, and Recognition (2022). Meski Baduy dekat dari Jakarta dan sudah banyak dikaji, tetap banyak dari kita yang belum memahaminya atau ada elemen-elemen yang terlewatkan dari kajian terkait suku ini. Diantaranya adalah bagaimana mereka beraktivitas di media sosial.
Penggunaan Instagram oleh anak-anak Baduy menunjukkan transformasi budaya yang terjadi di suku tersebut. Agama masyarakat Baduy memang tetap Sunda Wiwitan dan mereka yang tak lagi memegang agama tersebut akan keluar dari kampung adat. Menikah dengan non-Baduy juga menyebabkan kehilangan hak untuk tetap berada di desa adat. Bahkan, hingga sekarang ini Baduy Dalam tetap tak menerima kunjungan orang asing. Baik di Baduy Luar maupun Dalam, tidak boleh memiliki TV, radio, jaringan listrik, dan kendaraan bermotor. Mereka juga tak memakai rekening bank dan karena itu mereka menyimpan uangnya dalam bentuk emas atau tanah. Dibalik proses penjagaan terhadap tradisi itu, ternyata yang bisa masuk ke sana adalah media sosial dan piranti digital. Dan jaringan internet di kampung Baduy cukup bagus.
Apa pengaruh dari Instagram terhadap identitas budaya suku Baduy? Berbeda dari media sosial lain, Instagram lebih menampilkan aspek visual. Instagram bisa menampilkan masyarakat Baduy di dua dunia secara berbeda pada saat bersamaan; dunia maya dan dunia nyata. Penampilan beberapa orang Baduy di Instagram sering menjadi seperti cermin terbalik dari realitas kehidupan Baduy di Kanekes. Barangkali ia tidak bisa disebut sebagai ”mirror” dari realitas di luar Instagram, tetapi justru kebalikan atau paling tidak sebagai sesuatu yang berbeda dari realitas yang ada di sana.
Dengan framework ”mediatization”, seperti yang ditawarkan oleh Stig Hjarvard (2013), maka kita akan melihat simbol, gaya, tradisi, dan juga produk-produk yang dihasilkan masyarakat Baduy ditampilkan secara berbeda di akun-akun Instragram. Baduy di Instagram tampil beda dari Baduy yang bisa ditemui di jalan-jalan kota Jakarta. Pendeknya, melalui proses mediatization, sebagaimana ditampilkan oleh akun Instragram orang-orang Baduy, gambaran tentang kehidupan Baduy seperti mengalami transformasi.
Ekspresi visual kultural dari Baduy yang memakai baju hitam, putih, atau biru terlihat berbeda apabila membandingkan dengan apa yang terlihat di Instagram dan ketika hadir langsung di sana. Transformasi kultural itu terjadi ketika orang-orang Baduy mengambil snap shot diri mereka sendiri, mengunggah di Instagram, mendapatkan komen dan like. Apalagi dengan follower atau pengikut yang jumlahnya hingga puluhan ribu, seperti yang dimiliki oleh @ayudewibaduy. Ini terjadi ketika sebagian dari masyarakat di sana sebetulnya masih melarang pengunjung untuk mengambil foto orang-orang Baduy.
Ringkasnya, apa yang terjadi di Instagram adalah sebuah konstruksi identitas kultural baru tentang suku Baduy. Pada satu sisi, Ayu Dewi dan kawan-kawannya seperti ingin tetap menjaga jati diri atau identitas sebagai bagian dari masyarakat Baduy, tetapi pada saat yang sama menampilkannya dalam wajah yang berbeda. Meminjam istilah Stuart Hall (1996), ada perbedaan antara what we are dan what we have become dengan kehadiran dan penggunaan media sosial, seperti Instagram itu.
Di masyarakat Kanekes dan lingkungan adat Baduy, mereka memosisikan diri sebagai bagian dari adat, budaya, agama, dan aturan setempat. Di Instagram, mereka berhadapan dengan dunia global, pengikut, orang-orang yang berpotensi menyukai fotonya atau menekan tombol ”like” atau berkirim komentar atau potensial menjadi pengikut baru atau membeli dagangan yang dijual. Di Instagram, mereka harus mengikuti logika-logika media sosial untuk bisa sukses dan memiliki ribuan pengikut dan gambarnya disukai oleh banyak orang. Karena audience yang berbeda, image atau foto diri yang tampil menjadi berbeda.
Jadi, Instragram tidak hanya mengenalkan dan mempromosikan suku Baduy ke dunia luas, tetapi dengan akun-akun orang Baduy yang ada, maka budaya, tradisi, adat, dan agama Baduy ditampilkan dalam bentuk yang lebih atraktif bagi masyarakat non-Baduy. Inilah yang disebut dengan ”mediatization” dari sebuah budaya yang diantara dampaknya adalah perubahan, negosiasi, dan individualisasi dari budaya tersebut.
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)