Jalur Lintas Barat Sulawesi di Bawah Bayang Bencana
Longsor yang terjadi di pesisir barat Sulawesi, tepatnya di Majene, bukan yang pertama. Tak ada jaminan pula bahwa ini adalah yang terakhir. Berada di bawah bayang bencana, maut senantiasa mengintai di jalur ini.
Hingga Minggu (30/10/2022) malam, jalur lintas barat trans-Sulawesi di Kecamatan Tubo Sendana, Majene, Sulawesi Barat, masih tersendat. Sebagian material longsoran memang sudah dibersihkan. Namun, besarnya material yang jatuh dari dinding tebing membuat proses pembersihan berjalan tidak mudah. Bekas material masih menyisakan jalan licin.
Saat ini baru satu jalur yang terbuka sehingga aparat memberlakukan buka tutup jalan dari dua arah. Kendaraan dari arah Majene ke Mamuju dan sebaliknya harus bergantian. Pihak balai jalan menyebut butuh dua pekan bahkan sebulan untuk membuat jalan ini benar-benar bersih dan bisa dilalui dua arah.
”Baru satu jalur yang bisa dilewati. Itupun kendaraan dengan tonase besar cukup kesulitan dan dibatasi. Apalagi, dari arah Makassar, jalannya menanjak di bagian bekas longsor ini. Antrean masih panjang karena petugas memberlakukan buka tutup jalan,” kata Irwan, warga Mejene, Minggu malam.
Longsor di Sangiang, Tubo Sendana, terjadi pada Kamis (27/10/2022) malam. Saat itu, petugas baru selesai membersihkan empat titik longsor tak jauh dari Sangiang. Lokasinya masih di Tubo. Petugas baru saja meninggalkan lokasi saat dinding di tepi jalan di jalur trans-Sulawesi ini runtuh. Material yang jatuh berupa tanah dan bongkahan batu besar yang cukup banyak. Material menutup badan jalan sepanjang hampir 150 meter dengan ketinggian mencapai lebih dari 15 meter.
Kendaraan yang sebelumnya terjebak longsor dan baru beberapa jauh berjalan meninggalkan empat titik longsor sebelumnya kembali harus menghentikan perjalanan di Sangiang. Antrean kian mengular.
Baca Juga: Diterjang Banjir dan Longsor, Akses Majene-Mamuju Lumpuh
”Kami terhenti pada Kamis pagi karena ada longsor di empat titik. Baru jalan sedikit ternyata ada longsor lagi dan lebih besar. Hingga malam ini saya belum bisa jalan. Antrean masih panjang dan kondisinya masih mengkhawatirkan,” kata Sofyan (40), salah seorang pengendara truk yang membawa muatan beras.
Semestinya, jika normal, pada Jumat malamatau Sabtu pagi dia sudah berada di Buol, Sulawesi Tengah. Tujuannya memang ke sana, membawa beras dagangan. Beras ini dari Kecamatan Wonomulyo, salah satu sentra beras di Polewali Mandar, Sulbar. Apa daya, selama empat hari dia harus menunggu di Sangiang. Bersama seorang kernet, mereka sudah menghabiskan hampir Rp 1.000.000 untuk kebutuhan makan dan minum selama menunggu proses pembersihan longsor. Biaya operasional tambahan yang tak masuk dalam perencanaan sebelumnya.
Dari arah Mamuju Tengah menuju Polman, Rahman (43), pemilik mobil angkutan penumpang dengan rute Mamuju Tengah-Polman, juga harus berhenti. Sabtu (29/10), atas kesepakatan penumpang, mereka kembali ke Mamuju Tengah. Menunggu dua hari bukan waktu singkat, terlebih jika harus berada di kendaraan.Rahman setidaknya kehilangan pendapatan Rp 2.400.000. Ini dengan hitungan dia membawa rata-rata delapan penumpang pergi dan pulang dengan ongkos Rp 150.000 per orang.
Penumpang lain memilih naik perahu kecil bermesin. Perahu membawa mereka ke bagian jalan yang tak longsor lalu berganti kendaraan.Bahkan, satu keluarga yang membawa jenazah dari Bone, Sulsel, menuju Pasangkayu di perbatasan Sulbar-Sulteng, terpaksa ikut menurunkan jenazah dan membawanya dengan perahu.
Rawan longsor
Longsor yang terjadi saat ini bukan kali pertama. Hampir setiap tahun longsor terjadi, terutama di Kecamatan Tubo, Tubo Sendana, dan ke arah Mamuju. Tak ada jaminan pula bahwa longsor ini juga akan menjadi yang terakhir.
Baca Juga: Jalan Nasional Majene-Mamuju Lumpuh Total
Struktur tanah dan bebatuan yang rapuh yang diperparah banyaknya retakan pascagempa M 6,2 pada Januari 2021 dan M 5,8 pada Juni lalu membuat ancaman longsor di wilayah ini seolah keniscayaan. Terlebih saat musim hujan.
Memang terbukti, hujan sebentar, ada saja bagian tebing yang longsor. Saat gempa tahun lalu, ada banyak titik longsor yang terbentang antara Majene dan Mamuju yang membuat akses jalan lumpuh. Kondisi ini sempat menyulitkan distribusi bantuan dan relawan dari berbagai daerah di Makassar yang akan ke Mamuju.
Getaran akibat gempa menghasilkan fracture atau rekahan pada batuan atau tanah. Jika rekahan ini dimasuki oleh air hujan, akan mengakibatkan massanya menjadi bertambah dan terjadi longsor.
Dalam wawancara dengan Kompas pascagempa tahun lalu, Kepala Pusat Kebencanaan Universitas Hasanuddin yang juga ahli geologi, Adi Maulana, mengatakan, wilayah dataran tinggi Mejene dan sebagian Mamuju memang rawan longsor.
Adi menyebut gempa dipengaruhi oleh aktifnya Majene Fold Belt, yaitu sistem patahan di bagian barat Sulawesi yang dibentuk oleh pengaruh pergerakan patahan regional Banggai-Sula di bagian timur Sulawesi yang mengarah ke barat dan membentur Pulau Sulawesi.
Pada peta yang dipublikasikan Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin tahun 2018, wilayah titik gempa ini telah dipetakan sebagai satu sistem patahan yang berarah utara-selatan. Adi mengingatkan pentingnya mewaspadai bencana longsor akibat runtuhnya lereng-lereng yang disebabkan ketidakstabilan yang diakibatkan oleh getaran gempa.
”Seperti di dalam peta geologi, daerah di dekat kawasan titik gempa banyak disusun oleh batuan jenis granitik yang melapuk sangat tinggi serta batu gamping terumbu. Sifat kedua batuan ini sangat mudah untuk longsor, terutama di bagian lereng perpotongan dengan bukaan jalan dan pemukiman. Musim hujan akan menambah tingkat kerentanan bencana tanah longsor,” katanya.
Menurut Adi, pascaruntuhnya batuan di ruas jalan Makassar-Mamuju akibat gempa, pemerintah dan warga harus mewaspadai daerah-daerah lainnya, seperti Mamasa, Mamuju, dan daerah-daerah di ketinggian untuk mengantisipasi bencana longsor.
”Getaran akibat gempa menghasilkan fracture atau rekahan pada batuan atau tanah. Jika rekahan ini dimasuki oleh air hujan, akan mengakibatkan massanya menjadi bertambah dan terjadi longsor. Material longsor akan menutupi bagian hulu sungai dan kalau tidak diantisipasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai dan tidak menutup kemungkinan lambat laun akan membentuk tanggul alam. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya banjir bandang,” katanya.
Urat nadi mobilitas
Apa yang dikatakan Adi memang terbukti. Pascagempa, longsor makin sering terjadi. Dalam bulan ini saja setidaknya terjadi enam kali longsor di wilayah Majene: dimulai pada Selasa (11/10) dan Kamis lalu dengan lima kejadian longsor di lokasi yang tak terpaut jauh jaraknya. Tak hanya longsor, pada kamis lalu Majene juga dihantam banjir. Setelah banjir surut, longsor masih menyisakan masalah.
Jalan yang sering longsor ini adalah jalur utama di lintas barat Sulawesi yang menghubungkan lima provinsi. Kelimanya adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Umumnya bus besar dari Makassar hingga truk logistik termasuk kendaraan tangki BBM menjadikan jalur ini sebagai jalan utama yang menghubungkan Makassar dengan Mamuju hingga Manado.
Baca Juga: Dampak Longsor, Suplai BBM Dipasok dari Donggala
Di jalur ini, jalan diapit gugusan tebing di satu sisi dan laut di sisi lain. Saat longsor terjadi dan mengantre di jalan, maut setiap saat bisa mengancam. Ini jika tebing tiba-tiba runtuh. Berkendara pun sama rawannya karena longsor bisa terjadi setiap saat .
Kondisi ini menjadi lebih memprihatinkan karena jalur yang rawan longsor ini bukan hanya menjadi jalan penghubung antarprovinsi untuk mobilitas orang, melainkan juga distribusi logistik dan perdagangan.
Jalur trans-Sulawesi yang lain melintasi Luwu Timur di Sulawesi Selatan. Namun, jika dari Makassar dan sebagian kabupaten di Sulawesi Selatan menuju sebagian wilayah di Sulawesi Tengah, seperti Donggala, Palu, Tolitoli, hingga Buol, lebih mudah dan cepat diakses via Majene. Begitu pun ke sebagian Gorontalo dan Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Laut Sulawesi.
Jalur via Luwu Timur umumnya menghubungkan wilayah Sulawesi Selatan dengan beberapa wilayah di Sulawesi Tengah, seperti Poso, Morowali, Morowali Utara, Luwuk, dan Tojo Unauna. Jalur ini juga menghubungkan dengan wilayah Parigi Moutong dan Gorontalo yang bersisihan dengan Teluk Tomini. Jalur via Luwu Timur juga menghubungkan ke Sulawesi Tenggara.
Hampir tak ada jalur alternatif di lintas Barat ini. Sebenarnya ada jalur lain, yakni melewati Kabupaten Mamasa dan tembus ke Mamuju. Sayangnya, kondisi jalan bukan hanya sempit dan berkelok-kelik serta naik turun, melainkan juga berada di jalur yang juga rawan longsor.
Memutar via Luwu Timur membuat perjalanan dengan tujuan Palu dan Donggalaserta pantai barat Sulawesi Tengah menjadi lebih panjang. Itulah mengapa jalur lintas barat ini seolah menjadi satu-satunya pilihan dari Makassar atau beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan serta Polman dan Majene di Sulbar. Tak peduli bahwa jalur ini berada di bawah bayang bencana dan maut yang mengintai setiap saat.