Menjaga Rumah Gadang Kajang Padati
Sebagian warga Kota Padang tetap merawat Rumah Gadang Kajang Padati yang semakin ditinggalkan zaman. Rumah adat Minangkabau di kawasan pesisir ini khas karena bentuknya berbeda dibanding rumah gadang pada umumnya.
Sebagian warga Kota Padang tetap merawat Rumah Gadang Kajang Padati yang semakin ditinggalkan zaman. Rumah adat ini jadi saksi proses migrasi warga Minang dari ‘darek’ ke kawasan ‘pasisia’. Upaya pelindungan yang lebih terarah diperlukan agar rumah gadang khas Padang ini di kemudian hari tidak hanya tinggal cerita.
Tak jauh dari kaki bukit, berdiri sebuah rumah panggung kayu di antara kolam-kolam ikan. Dindingnya bercat kuning gading dengan aksen merah tua pada tiang dan bingkai jendela. Tulang bubung atapnya sedikit melentik ke atas. Di bagian depan, ada barando atau beranda untuk bersantai ataupun menerima tamu.
Rumah gadang itu milik suku Tanjuang di Kelurahan Seberang Palinggam, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat. Rumah adat Minangkabau kawasan pesisir barat itu berusia lebih dari dua abad. “Rumah ini didirikan tahun 1810,” kata Zumratul Aini (67), salah satu pewaris rumah gadang, Kamis (13/10/2022).
Bangunan ini dikenal dengan sebutan Rumah Gadang Kajang Padati. Arsitekturnya berbeda dengan rumah gadang pada umumnya. Atap rumah relatif landai, tidak bergonjong menyerupai tanduk kerbau sebagaimana jamak dijumpai pada rumah gadang di daerah pedalaman Sumbar (darek). Rumah ini juga dilengkapi beranda.
Zumratul menjelaskan, rumah ini didirikan sejak rombongan suku Tanjuang bermigrasi dari Gasan Gadang, Padang Pariaman, ke Padang lebih dua abad silam. Jum, begitu perempuan ini disapa, merupakan generasi kesembilan dari kaumnya yang lahir di Kota Padang.
Pada masa lampau, selain untuk tempat tinggal, rumah gadang ini juga digunakan untuk acara adat, mulai dari kelahiran, khitanan, perkawinan, batagak gala (pengangkatan datuak), hingga kematian. Musyawarah keluarga dan kaum juga digelar di rumah ini. Kolong rumah umumnya digunakan sebagai kandang ternak atau gudang.
Baca juga: Laki-laki Berperan Menjaga Matrilineal di Minangkabau
Rumah gadang suku Tanjuang tampak relatif kokoh meski sudah berusia ratusan tahun. Sebanyak 16 tiang utama rumah belum pernah diganti sejak awal berdiri walaupun beberapa di antaranya mulai keropos. Hanya dua dari empat tiang penyangga atap beranda rumah yang pernah diganti, begitu pula sejumlah bagian lain yang rusak dimakan usia.
Meskipun bentuk aslinya masih dipertahankan, tak dapat dipungkiri sejumlah bagian rumah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Atap rumbia berganti seng dan tangga kayu berganti beton. Kolong rumah ditutup dinding beton. Begitu pula dengan dapur yang dibangun permanen.
Rumah adat milik suku Tanjuang di Padang Selatan itu satu dari segelintir Rumah Gadang Kajang Padati yang tersisa di Kota Padang. Rumah gadang ini semakin jarang dijumpai. Kebanyakan rumah yang tersisa dapat ditemukan di kawasan Padang pinggiran kota.
Belasan hingga dua puluhan rumah masih tampak ketika Kompas menyusuri jalan raya di Kecamatan Kuranji dan Kecamatan Pauh sebulan terakhir. Kondisinya beragam, ada yang masih kokoh dan ditempati maupun tidak, ada yang tergencet rumah beton dan pertokoan/warung, ada pula yang ditinggal begitu saja dan hampir rubuh dimakan usia.
Terus dijaga
Walaupun demikian, sejumlah pemilik masih terus menjaga rumah peninggalan lelulur ini, termasuk Jum. Jum yang tidak merantau dipercaya anggota suku Tanjuang untuk merawat rumah tersebut. Meski tak lagi ditempati 1,5 tahun terakhir, Jum masih rutin membuka-tutup jendela setiap hari. Rumah juga dibersihkan sekali dua hari.
“Ini rumah pusaka dari anduang-anduang (nenek-nenek) dahulu kala, tidak mungkin tidak dijaga dan dirawat. Di sini kami dilahirkan, dibesarkan, diparalekan (dikawinkan) mandeh (ibu), sampai beranak tiga. Iba kami kalau dibiarkan begitu saja,” kata Jum.
Baca juga : ”Kincia Aia” dan Kegelisahan Sang Pemburu Suara
Jum dan keluarga terakhir kali menempati rumah gadang ini tahun 1982. Saat rumah yang dihuni tiga keluarga itu mulai ramai, ia dan suami memutuskan mendirikan rumah di samping rumah gadang. Hal itu diikuti pula oleh keluarga kakak-kakaknya. Akhirnya, tinggal orang tua-tua saja yang menghuni rumah gadang sampai akhir hayat.
Menurut Jum, bertahun-tahun sebelumnya, rumah itu sempat dihuni keluarga kerabatnya. Namun, setelah beberapa tahun, suami-istri itu meninggal. Anak mereka sempat meneruskannya sekitar tiga tahun, tetapi akhirnya pindah karena dapat pekerjaan di tempat lain.
Jum melanjutkan, sejauh ini tidak ada kesulitan dalam merawat rumah gadang ini. Sebab, suku Tanjuang punya tabungan tetap yang diberi nama “kas besar rumah gadang”. Tabungan itu bersumber dari hasil usaha rumah kontrakan yang dibangun ninik mamak di tanah kaum dan sumbangan anggota kaum yang merantau.
“Dari kas itulah, dikeluarkan biaya untuk perawatan rumah. Komponen-komponen rumah yang sudah lapuk, misal atap, papan lantai, dan sebagainya, diganti, uangnya dari tabungan itu,” ujarnya.
Baca juga : Memasak Samba Lado Tulang Khas Tanah Datar
Rumah gadang ini merupakan saksi sejarah. Selagi bisa dirawat, akan kami rawat.
Anggota suku Koto di Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, juga masih merawat Rumah Gadang Kajang Padati mereka. Rumah gadang berusia sekitar 200 tahun itu sedang dalam perbaikan. Kamis (13/10/2022) sore, puluhan lembar papan untuk perbaikan lantai dan dinding bertumpuk di serambi rumah.
Ukuran rumah gadang suku Koto hampir sama dengan rumah gadang suku Tanjuang. Lokasinya berada di pinggir Jalan Dr Mohammad Hatta. Rumah gadang ini diapit rumah-rumah permanen di kiri-kanan dan mushalla di bagian belakang. Halamannya relatif luas dengan taman bunga di sejumlah sudut.
Jalinas (87), pewaris rumah gadang, didampingi putrinya, Erniwati (50), menceritakan, suku Koto ini berasal dari Lubuk Sikarah, Solok. Rombongan bermigrasi ke Padang lebih dari 200 tahun silam. Mereka kemudian mendirikan rumah gadang yang masih berdiri sampai sekarang.
Alih fungsi
Erniwati menjelaskan, rumah ini memang sudah bertahun-tahun tidak lagi ditempati. Ia dan saudara-saudaranya serta para sepupu sudah mendirikan rumah masing-masing. Orang tua-tua yang sempat menghuni rumah telah tiada. Rumah sempat dipergunakan sebagai gudang sehingga kurang terawat.
Sejak dua tahun terakhir, pemimpin suku Koto saat ini, Mahelti Datuak Rajo Ibrahim, berinisiatif untuk merehabilitasi rumah. Dengan sumbangan para donatur, bagian-bagian rumah yang rusak, seperti atap dan sebagainya, diganti. Kolong rumah juga dibersihkan dan dikeramik sehingga bisa digunakan untuk acara pertemuan.
“Rumah gadang ini merupakan saksi sejarah. Selagi bisa dirawat, akan kami rawat. Rumah ini nanti bisa juga untuk acara pertemuan ninik mamak, acara anggota dewan, dan rapat-rapat lainnya,” kata Erniwati.
Di Kelurahan Gunung Sarik, Kecamatan Kuranji, Megawati (67), pewaris salah satu Rumah Gadang Kajang Padati, mengalihfungsikan rumahnya sebagai tempat anak-anak belajar mengaji sejak tahun 2000-an. Pengalihfungsian ini sebagai upaya pelestarian agar rumah gadang berukuran sekitar 10 x 10 meter ini tetap terawat.
Megawati dan keluarganya tidak lagi menempati rumah itu sejak 1980-an. Ia dan suami mendirikan rumah permanen persis di samping rumah gadang. Terakhir kali rumah ditempati oleh almarhum ayah dan ibunya.
“Daripada kosong, lebih baik rumah digunakan untuk anak-anak belajar mengaji. Selain terawat, pahalanya akan mengalir untuk orang tua-tua kami yang mendirikannya,” kata Megawati, Selasa (18/10/2022).
Megawati menjelaskan, selain mengajar, guru mengajijuga tinggal di sana. Sang gurulah yang membersihkan, merawatnya, dan mengecatnya agar tetap indah. Jika ada bagian rumah yang rusak, segera diganti.
Sejarah
Hingga saat ini, belum diketahui pasti mengapa bentuk Rumah Gadang Kajang Padati berbeda dengan rumah gadang bergonjong di kawasan darek. Ahli waris yang dijumpai juga tidak tahu penyebabnya. Namun, berbagai sumber menyebutkan perbedaan bentuk ini dipengaruhi kondisi sosial, politik, budaya, ataupun geografis.
Refisrul dan Rois Leonard Arios dalam artikel “Konsep Tata Ruang Budaya pada Rumah Gadang Kajang Padati di Kota Padang, Sumatera Barat” dalam Jurnal Pangadereng Volume 7 Nomor 1, Juni 2021, menyebutkan, keberadaan rumah gadang ini tidak terlepas dari pengaruh Aceh.
Kerajaan Aceh pernah menaklukkan wilayah Padang dan mempunyai pengaruh ekonomi-politik dan sosial-budaya selama puluhan tahun dalam abad ke-17. Rumah Gadang Kajang Padati pun disebut dan dianggap perpaduan antara rumah adat Minangkabau dan rumah Aceh, konstruksi, material, dan cara pembuatannya sama dengan rumah gadang pada umumnya.
Menurut Refisrul dan Rois, pengaruh Aceh pada rumah gadang itu antara lain adanya beranda di bagian depan, bentuk tangga, dan ukiran yang digunakan mirip dengan rumah tradisional Aceh. Pengaruh itu hadir setelah Kerajaan Aceh berkonflik dengan Kerajaan Pagaruyung. Masyarakat Minang di kawasan pesisir barat yang dikuasai Aceh dilarang mendirikan rumah gadang menyerupai rumah gadang di darek.
Sementara itu, budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto mengatakan, rumah gadang di kawasan pasisia berbeda dengan rumah gadang di darek justru karena memang sudah kesepakatan para penghulu. Rumah gadang bergonjong tidak boleh asal dibangun, cuma boleh didirikan di luhak nan tigo yang merupakan kawasan inti Minangkabau.
“Asal sudah masuk ke rantau, tidak boleh buat rumah gadang (seperti yang di darek). Orang di rantau sudah bercampur. Tidak boleh buat rumah gadang di rantau. Memang sudah begitu sumpahnya,” kata pria yang karib disapa Mak Katik ini, Senin (17/10/2022).
Kebijakan itu akhirnya memunculkan bentuk rumah gadang yang berbeda. Bentuk rumah dengan atap melentik itu, kata Mak Katik, sekaligus jadi penanda daerah rantau. Sebelumnya, rumah ini dikenal dengan nama rumah gadang tonggak 16, tonggak 20, tonggak 24, dan tonggak 28, sesuai jumlah tiangnya.
Kesepakatan itu, dipegang teguh masyarakat Minang di luar luhak nan tigo. Namun, aturan mulai longgar sejak adanya kebijakan Gubernur Sumbar Azwar Anas yang mendirikan bangunan bergonjong-gonjong tahun 1970-an. “Akhirnya, longgarlah ikatan itu, di mana-mana bebas saja orang membuat (bangunan menyerupai) rumah gadang (bergonjong),” kata Mak Katik.
Rumah gadang ini umumnya dibangun bangsawan/pemuka Padang yang pada masa awal berdirinya Padang dekat sekali hubungan dengan orang Aceh. Makanya rumah mereka pun mirip dengan rumah adat Aceh.
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan, Rabu (19/10/2022), mengatakan, Rumah Gadang Kajang Padati merupakan penamaan kontemporer yang diperkirakan baru dipakai sejak awal abad ke-20. Sebab, catatan para peneliti sebelumnya tidak menyebutkan nama tertentu untuk rumah gadang di kawasan pantai barat Sumbar, termasuk Padang.
S Mueller dalam Berichten over Sumatera (1837), misalnya, kata Gusti, tidak menyebut rumah adat Minangkabau di kawasan pantai barat itu Rumah Gadang Kajang Padati. Ia cuma menyebut rumah adat sesuai deskripsi rumah gadang yang ada di Padang saat ini sebagai rumah gadang.
Gusti melanjutkan, bentuk Rumah Gadang Kajang Padati diyakini dipengaruhi oleh budaya Aceh. Padang merupakan daerah rantau relatif baru dibanding daerah lain di Sumbar. Kebangkitan pembangunan Padang dan pembentukan masyarakatnya erat sekali hubungan dengan Aceh yang waktu itu menguasai pantai barat Sumatera.
“Rumah gadang ini umumnya dibangun bangsawan/pemuka Padang yang pada masa awal berdirinya Padang dekat sekali hubungan dengan orang Aceh. Makanya rumah mereka pun mirip dengan rumah adat Aceh. Sampai awal masuknya Belanda, hegemoni dan dominasi Aceh kental sekali di pantai barat, termasuk Padang,” katanya.
Tafsiran lainnya, kata Gusti, adalah topografi dan keadaan alam Padang yang lebih cocok dengan bentuk atap Kajang Padati. Pada akhir abad ke-19, ada pendapat yang menyatakan, bentuk atap demikian lebih landai lebih aman saat dihantam badai yang sering terjadi di kawasan pantai.
Adapun barando atau beranda pada Rumah Gadang Kajang Padati, sebut Gusti, kemungkinan akibat pengaruh Belanda. Di darek, rumah gadang tidak punya beranda, sehingga tamu langsung dibawa ke dalam rumah. Sementara itu, di Padang, karena pemiliknya kaum bangsawan, tidak semua tamu bisa langsung dibawa masuk ke rumah, tetapi menunggu di beranda.
“Ketika interaksi pedalaman dengan Padang makin intensif, sejumlah rumah gadang di darek akhirnya pakai beranda juga. Rumah gadang yang dibuat para angku lareh (demang), itu biasanya pakai beranda. Tangganya pun tangga batu. Itu pengaruh persentuhan orang Minang dengan Belanda atau orang barat,” katanya.
Upaya pemkot
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang Syamdani mengatakan, pemkot bermitmen terus melestarikan Rumah Gadang Kajang Padati. Sebagai langkah awal, rumah gadang ini sudah ditetapkan oleh Kemendikbudristek sebagai warisan budaya tak benda milik Kota Padang pada 30 September lalu.
“Selanjutnya, kami akan mencari alternatif lain, salah satunya inventarisasi rumah gadang itu seluruhnya, mana yang kondisinya masih bagus, setengah bagus, tidak bagus sama sekali. Dari hasil inventarisasi itu, tentu akan lahir beberapa kebijakan,” kata Syamdani, Rabu (19/10/2022).
Akan tetapi, kata Syamdani, langkah tersebut tidak mudah dan butuh proses karena umumnya Rumah Gadang Kajang Padati itu bukan milik pribadi, melainkan milik kaum. Bagi orang Minang, hal seperti ini merupakan hal sensitif. Pemkot mesti berhati-hati dalam melakukan pendekatan kepada pemilik.
Meskipun inventarisasi belum dilakukan, Syamdani memperkirakan ada puluhan Rumah Gadang Kajang Padati di Padang. Rumah itu tersebut tersebar di berbagai kecamatan, terutama di Kuranji, Koto Tangah, Pauh, dan Lubuk Kilangan.
Syamdani melanjutkan, jika ke depannya dikelola lebih baik dan masyarakat bersedia berkolaborasi, rumah gadang ini bisa menjadi aset luar biasa. Rumah yang mulai jarang dihuni ini bisa dimanfaatkan sebagai penginapan (homestay) sebagaimana yang telah diterapkan daerah-daerah lain.
“Tidak pun dijadikan untuk keuntungan ekonomi, setidaknya rumah itu mulai dialihfungsikan, misalnya untuk tempat mengaji atau segala macam. Itu mulai ada di tengah masyarakat. Ada sebagian suku di Padang membuat acara di sana, misalnya, menjadikan itu tempat acara basurah adaik dan lain-lain,” ujarnya.
Ditambahkannya, bentuk apresiasi lain dari pemkot terhadap Rumah Gadang Kajang Padati ini adalah mengadaptasikan bentuknya pada atap Balai Kota Padang. Tidak seperti kantor kepala daerah pada umumnya di Sumbar dengan atap bergonjong, atap Balai Kota Padang menggunakan bentuk Rumah Gadang Kajang Padati.