Ekonomi Hijau dan Digital yang Menyejukkan Bumi
UMKM di Ciayumajakuning bergagasan ekonomi hijau dan menerapkan digitalisasi. Hingga kini, sebanyak 420.014 gerai telah memanfaatkan QRIS. Transaksi nontunai di wilayah itu kini mencapai Rp 16,3 triliun.
Sejumlah pelaku usaha mikro kecil menengah di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan atau Ciayumajakuning getol mengawinkan gagasan ekonomi hijau dan digitalisasi. Mereka kini melahirkan produk khas dan turut menjaga masa depan bumi di tengah masalah global.
Ciayumajakuning Entrepreneur Festival (CEF) ke-7 pada Jumat – Minggu (28-30/10/2022) di Grage Mall Cirebon, Jawa Barat, menjadi etalase UMKM yang fokus ekonomi hijau. Konsep ini berupaya meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko kerusakan lingkungan.
Kegiatan yang digelar Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Cirebon ini mengusung tema “Ekonomi Hijau Digital untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi di Ciayumajakuning yang Berkelanjutan”. Lebih dari 80 UMKM mitra KPwBI Cirebon turut serta dalam ajang tahunan itu.
Mereka memamerkan berbagai produk ramah lingkungan. Gallery Batik Ciwaringin milik Muassomah (46), misalnya. Batik tulis bermotif dedaunan hingga ikan cupang itu menggunakan pewarna alami. Asalnya, dari kulit kayu mahoni, kulit dan daun mangga, jengkol, hingga buah manggis.
Batik dengan pewarna alami itu sudah ada sejak nenek moyangnya. Namun, serbuan batik printing dan pewarna sintetis beberapa dekade lalu sempat menyurutkan usaha warga. Bahkan, pada 1990-an, warga terpaksa menjadi pekerja migran Indonesia karena batik tak lagi menghidupi.
Baca juga : Batik Ciwaringin, Warisan Kaum Santri
Omah, sapaannya, mencoba menggeluti dunia batik sejak 2007. Ia sempat memakai pewarna sintetis. Baru pada 2010, ketika mengikuti pelatihan batik ramah lingkungan dari Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman (Ekonid), ia konsisten menggunakan pewarna alami di sekitarnya. Pamor batik Ciwaringin, katanya, kalah dengan batik Trusmi, yang juga di Cirebon.
“Bahkan, awalnya orang dinas bertanya, ada enggak produk batik Ciwaringin? Makanya, batik kami harus pakai pewarna alami supaya beda dari yang lainnya. Ini juga ramah lingkungan,” katanya.
Berasal dari alam, batik Ciwaringin tidak memakai bahan kimia yang dapat berdampak pada lingkungan. Batik ini juga lebih ramah di tangan perajin.
“Kadang-kadang kalau pakai (pewarna) kimia, tangannya iritasi. Soda abu juga bisa bikin sesak,” ujar sarjana pendidikan Islam ini.
Omah sempat kebingungan mencari pasar batik pewarna alami. Harganya mulai Rp 350.000 hingga Rp 3,5 juta per helai ukuran 2,5 meter (m) x 1,15 m. Ini lebih mahal dibandingkan batik printing dan pewarna sintetis. Sebab, pembuatan selembar kain bisa menghabiskan tiga hari.
Bahkan, waktu pengerjaan batik premium yang motifnya lebih rumit bisa mencapai sebulan. Jika memakai pewarna sintetis, dalam sebulan bisa menghasilkan belasan helai kain. Kondisi ini, menurut dia, turut menyebabkan perajin batik Ciwaringin hanya berkisar 60 orang.
Persoalan pemasaran itu mulai terpecahkan kala KPw BI Cirebon mendampingi Omah sejak 2014. Ia belajar tentang pembukuan keuangan hingga digitalisasi. Produknya pun sempat terbang ke wilayah Inggris Raya. “23 helai dibeli semua. Padahal, satu helai bisa Rp 3,5 juta,” ucapnya.
BI Cirebon juga membawa produknya dalam pameran di Amerika Serikat serta mempertemukannya dengan sejumlah desainer, seperti Nina Nugroho, Irna Mutiara, hingga Wignyo. Kini, Omah terbiasa menerima pesanan dari desainer itu via daring.
Baca juga : Energi Keberagaman untuk Pulihkan Ekonomi Cirebon
Tekan emisi
Digitalisasi jelas memudahkan jalan bisnisnya. Jika dulu jarinya mencanting batik, kini jemarinya ikut memencet gawai untuk berdagang dari media sosial. Omah tak perlu lagi mengendarai sepeda motor, yang menghasilkan emisi, sekitar 16 kilometer ke Trusmi, demi jualan produknya. Tidak hanya keuntungan ekonomi, Omah kembali berkontribusi bagi dunia lebih baik.
Transaksi pun bisa nontunai atau Standar Kode Respons Cepat Indonesia (QRIS). Ia turut mengurangi uang kertas yang berasal dari pohon. Hasilnya, membahagiakan.
“Sekarang, sebulan saya bisa menjual 100 lembar kain. Dulu, laku 40 lembar sebulan saja sudah bagus,” ujarnya.
Ibu empat anak ini, yang sebelumnya masih mengontrak, kini punya rumah sendiri. “Sekarang sudah beli mobil, sudah umrah, dan daftar haji. Saya juga bikin koperasi. Ada yang TKW (tenaga kerja wanita) enggak jadi berangkat karena tertarik lihat batik Ciwaringin laris,” katanya.
Gagasan ekonomi hijau digital juga muncul dari Pasarmu.id, aplikasi yang memudahkan warga belanja kebutuhan dapur tanpa harus ke pasar. Karya Musfi Yuliadi (38), warga Cirebon, ini lahir pertengahan 2020 saat pandemi Covid-19. Ia menghubungkan konsumen dan pedagang.
Warga cukup memesan sayur mayur di aplikasi itu. Selanjutnya, para kurir Pasarmu.id mencari dan mengantarkannya ke depan rumah. Harganya terjangkau karena beberapa komoditas berasal dari petani binaan KPw BI Cirebon. Petani pun bisa terbantu saat harga jual rendah.
Di layanan Playstore, aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 5.000 kali. Ini belum termasuk yang memesan via laman Pasarmu.id. Pelanggan yang teregister sudah lebih 10.000 akun. Sebanyak 15 karyawan melayani 20 hingga 40 pesanan per hari dari Cirebon, Majalengka, dan Kuningan.
“Satu kurir bisa belanja untuk lima orang. Ini cara kami mendorong orang mengurangi emisi kendaraannya secara kolektif,” ujar Adi, sapaan Yuliadi. Sebagai contoh, emisi 10 jenis sepeda motor, mencapai 0,45 ton karbon dioksida per tahun atau 10.000 km.
Selain Pasarmu.id, alumnus Telkom University ini juga tengah membangun Koffie Perdjoeangan di Jalan Perjuangan, Kota Cirebon. Uniknya, kafe ini menyediakan tumbler konsumen menambah Rp 10.000 per gelas. Pengunjung dapat mengisi ulang kopinya memakai tumbler itu.
“Kalau sudah 10 kali refill (isi ulang), dapat gratis 1 gelas kopi. Selama ini, kita disuruh mengurangi sampah plastik. Tapi, tidak dikasih opsi. Kami memberikan pilihan di sini. Memang belum semua orang sadar. Tapi, setidaknya ini posisi kami,” ujar Adi.
Baca juga : Pasarmu.id, Bahan Dapur Hadir Tanpa Harus ke Pasar
Masa depan
Upaya Adi dan Omah memanggungkan ekonomi hijau berbasis digital sudah di jalur yang tepat. Plasticpay, gerakan sosial berbasis platform untuk mengurangi sampah plastik yang merusak lingkungan, telah membuktikannya. Melalui Plasticpay, warga bisa mengubah plastik jadi duit.
Warga cukup mengunduh aplikasi Plasticpay lalu memasukkan sampah plastik ke alat penukaran Mini Collecting Point. Warga menerima poin tergantung banyaknya sampah yang disetorkan. Poin itu dapat menjadi uang elektronik sedangkan plastiknya menjema produk daur ulang.
Pengguna aplikasi ini sudah lebih dari 10.000 akun. “Kami juga berkolaborasi dengan UMKM wanita dan difabel. Mereka membuat tas golf, sepatu, topi dari daur ulang,” kata Arif Rahmat Abidin, General Manager Sales dan Marketing Plasticpay saat diskusi dalam CEF 2022.
Kepala KPw BI Cirebon Hestu Wibowo mengatakan, ekonomi hijau secara makro juga mendukung ketahanan ekonomi nasional karena penerapannya menggunakan bahan-bahan dalam negeri. Batik Ciwaringin pewarna alami, misalnya, tak harus bergantung pada pewarna sintetis impor.
Itu sebabnya, pihaknya mendorong UMKM di Ciayumajakuning bergagasan ekonomi hijau dan menerapkan digitalisasi. Hingga kini, sebanyak 420.014 gerai telah memanfaatkan QRIS. Transaksi nontunai di wilayah itu kini mencapai Rp 16,3 triliun dengan volume 15,11 juta kali.
Gagasan itu relevan dengan perubahan iklim, krisis energi, dan krisis pangan yang melanda dunia. “Ekonomi hijau digital ke depan adalah solusi di tengah masa pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. UMKM sudah memulainya dan jadi contoh untuk industri,” katanya.
Teknologi seharusnya bukan hal baru di negeri ini. Aplikasi bahan ramah lingkungan Batik Ciwaringin di Cirebon, misalnya, sudah berusia sangat lama. Kini, di tengah laju digitalisasi hingga tantangan global, kemandirian dan kemauan anak bangsa di bidang ekonomi diuji untuk tetap menyejukan bumi.
Baca juga : Berbagi Senyuman Bahagia Petani Hadapi Inflasi