Energi Keberagaman untuk Pulihkan Ekonomi Cirebon
Festival Pekalipan di Cirebon, Jawa Barat, tidak hanya menjadi ruang usaha bagi UMKM, tetapi juga menampilkan wajah kota yang beragam. Semua menjadi energi untuk bangkit dari keterpurukan.
Festival Pekalipan di Cirebon, Jawa Barat, lebih dari sekadar ruang bagi pelaku usaha kecil menengah tetapi ikut menampilkan kekuatan wajah kota yang beragam. Semuanya menjadi elan atau semangat perjuangan untuk pulih dari pandemi sembari terus mempertahankan peluang ekonomi.
Suasana Jalan Pekalipan, Sabtu (24/9/2022) semarak. Tiada kendaraan bermotor yang melintas tapi dipadati ribuan orang hilir mudik. Anak-anak, ibu-ibu berdaster, hingga anak muda bersepatu kets berbaur di sana.
Beratapkan bintang-bintang, mereka menikmati suguhan musik band. Warga juga dimanjakan stan kuliner yang beragam. Ada pedagang mi ayam Bangka khas Tionghoa, kebab Arab, nasi jamblang hingga kerupuk melarat khas Cirebon.
Baca juga : Ekonomi Syariah dan Digitalisasi Dukung Ketahanan Pangan
Pedagangnya pun beragam. Ada yang mengenakan serban dan cadar hingga berbaju merah khas Tionghoa. Pakaian ikat dan sarung khas Cirebon juga dikenakan sebagian warga. Semua memberi warna indah dalam Festival Pekalipan bertajuk "Akurturasi" Budaya Caruban Nagari.
Kegiatan atas inisiasi Pemerintah Kota Cirebon bekerja sama dengan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon dan sejumlah pihak itu pertama kali digelar. Warga hingga pelaku usaha kecil menengah menyambutnya dengan bahagia.
Senyum di wajah Delli (42), pengelola Mie Ayam Bangka Jamur Buncit, menjadi salah satu bukti. Perempuan keturunan Tionghoa ini ramah menyapa pengunjung sambil menawarkan dagangannya. Baginya, festival itu menjadi kesempatan mengungkit usaha yang sempat tiarap akibat pandemi.
Baca juga : Jatuh-Bangun Pemuda Cirebon Menjaga Nyala Toleransi
Saat Covid-19 mewabah dua tahun lalu, ia terpaksa berpisah dari kios yang dikontrak. Delli tak sanggup lagi menyewa kios yang harganya mencapai Rp 25 juta per tahun. Pembeli anjlok drastis. Sebelumnya, ia bisa menghabiskan 7 kilogram mi saat pandemi jumlahnya jauh dari itu.
"Waktu pandemi kemarin, sempat enggak ada yang pesan. Orang takut beli makanan di luar. Kami akhirnya hanya jualan online," ucapnya. Padahal, sejak 2015, tempat dagangannya di daerah Prujakan, Kota Cirebon, sudah dikenal banyak konsumen.
Akan tetapi, Delli menolak menyerah begitu saja. Pilihannya berjualan daring membantunya bangkit. Namun, dukungan berbagai pihak yang berbeda latar belakang, kata dia, tetap menjadi pengungkit utamanya.
"Karyawan saya bukan keturunan Tionghoa dan banyak membantu. Kalau saya butuh daun pandan, misalnya, dia bawa dan enggak mau dibayar," katanya.
Baca juga : Bukan Sekadar Mendulang Ekonomi, Wisata Halal Ikut Sebarkan Kebaikan
Kebaikan itu, kata Delli, bukan kali ini saja. Jauh sebelum itu, ia sudah merasakannya. Sejak pindah dari Bangka ke Cirebon tujuh tahun lalu, ia disuguhi keguyuban.
"Di perumahan, hanya saya dan keluarga yang Kristiani dan keturunan Tionghoa. Tetapi, kami diterima. Tidak ada yang membedakan," ujar warga Argasunya ini.
Cirebon juga menjadi penyelamat usaha keluarganya yang sempat terdampak penggusuran di Bogor. Padahal, keluarganya telah berjualan sejak 1990an di sana. Kini, ia berharap, Festival Pekalipan bisa menjadi ajang kebangkitan dagangannya. Kejayaan usaha sebelum pandemi sangat ia rindukan datang lagi.
Syahrul Husni (58), pedagang kerupuk melarat, juga berharap demikian. Saat pandemi lalu, omzetnya melorot hingga lebih dari 60 persen. Kerupuk yang dititipkan di toko oleh-oleh dikembalikan. Nyaris tidak ada pembeli. Pariwisata Cirebon sempat meredup saat itu.
Jika sebelumnya, ia dan empat karyawan bisa memproduksi 2 kuintal kerupuk, saat itu hanya beberapa kilogram per bulan. "Sekarang mulai membaik, sudah 75 kg sampai 1 kuintal per bulan. Memang masih jauh dari harapan. Tapi, ada perbaikan," katanya.
Sejauh ini, usahanya terlihat tangguh. Kenaikan harga minyak goreng tidak memengaruhinya. Sebab, ia menggunakan pasir untuk menggoreng kerupuk. Kini, ia berharap ajang seperti Festival Pekalipan digelar rutin agar banyak UMKM bisa bangkit kembali.
Baca juga: Jangan Sekadar Sandiwara, Pemulihan Pariwisata Cirebon Harus Dilakukan Bersama
Kepala Perwakilan BI Cirebon Hestu Wibowo mengatakan, Festival Pekalipan menjadi salah satu jalan memulihkan ekonomi Cirebon yang terdampak pandemi Covid-19. Caranya, memberdayakan UMKM yang merupakan tumpuan perdagangan.
Sektor perdagangan berkontribusi lebih dari 29 persen untuk pertumbuhan ekonomi di Kota Cirebon. Sektor perdagangan di kota seluas 39 kilometer persegi itu juga dapat menyerap produksi pertanian dari kabupaten sekitar, seperti Indramayu dan Kuningan.
Tekanan inflasi pun bisa diantisipasi. "Cirebon inflasinya lumayan stabil. Misalnya, daerah lain inflasinya akibat cabai atau minyak goreng sampai 3 persen, di Cirebon hanya 0,4-0,7 persen. Sebab, Cirebon dapat pasokan dari daerah sekitarnya,” ujarnya.
Baca juga : Bumbu Terbaik untuk Lele dari Pondok Pesantren
Menurut Hestu, kondisi itu dipicu karakter warga Cirebon yang lebih terbuka. Pedagang dari berbagai wilayah pun bisa masuk. Karakter ini juga membuat pedagang tidak alergi dengan teknologi pembayaran nontunai. Dalam festival itu, misalnya, pembayaran nontunai banyak digunakan UMKM yang ada di sana.
Sejarah juga telah membuktikannya. Berabad-abad silam, Pelabuhan Cirebon jadi pusat pertemuan berbagai negara. Ada China, Arab, dan Eropa. Siapa saja boleh datang dan berdagang.
Tidak mengherankan jika orang Arab di Panjunan fasih berbahasa Cirebon. Aneka kuliner dari berbagai daerah di Pekalipan juga menggambarkan keberagaman tersebut. Nasi tim khas Tionghoa, tahu gejrot, beradu sedap dengan kebab Arab.
"Keberagaman inilah menjadi kekuatan Cirebon. Selain kuliner, potensi ini juga bisa jadi modal pariwisata," ujarnya. Di sekitar Pekalipan, misalnya, terdapat Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan yang berusia ratusan tahun.
Baca juga : Bu Giok, Setia Membatik Keberagaman di Cirebon
Sektor pariwisata, lanjutnya, jadi indikator pertumbuhan ekonomi paling cepat dibandingkan sektor manufaktur. Ia mencontohkan, manufaktur membutuhkan lahan hingga konstruksi pabrik. Hasilnya pun kerap baru dinikmati 3-4 tahun kemudian.
Itu sebabnya, Festival Pekalipan ikut menampilkan Tari topeng Losari, barongsai, hingga tarian sufi" Al Jazeera. Pentas kesenian yang beragam itu diharapkan menarik wisatawan dalam dan luar negeri. Apalagi, pariwisata ditargetkan menyumbang pajak lebih dari Rp 80 miliar tahun ini.
Akan tetapi, lanjutnya, Festival Pekalipan juga hendaknya menata pedagang kaki lima, memastikan kebersihan dan keamanan di Pekalipan.
"Ini tantangan ke depan. Kami berharap, festival ini bisa berlangsung jangka panjang," katanya.
Baca juga : Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Warisan Wali untuk Indonesia
Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, Perdagangan, dan Perindustrian Kota Cirebon Iing Daiman mengatakan, Pekalipan sejak dulu jadi pusat bisnis dari masa ke masa. Usaha Kuliner juga tumbuh subur. Warga mengenal pusat jajanan malam hari atau pujamari di Pekalipan. Dia berharap, gairah ekonomi serupa juga bisa muncul di daerah lain di Cirebon.
"Festival Pekalipan ini diharapkan menjadi model one stop shopping, kuliner, dan turisme. Jadi, wisatawan cukup ke Pekalipan untuk merasakan kuliner dan wisata di Cirebon yang beragam," ujarnya.
Dari Pekalipan, usaha bangkit dari kondisi ekonomi yang tidak mudah terbukti bisa dibangun dari hal tidak terduga. Di sana, keberagaman yang terus dijaga menumbuhkan semangat perjuangan demi kesejahteraan orang-orang di sekitarnya.
Baca juga : Digitalisasi dan Keuangan Syariah, Dua Kawan Baik untuk Semua