PLTU berbahan bakar batubara yang mendominasi di Sumatera menimbulkan dampak buruk kesehatan dan ekonomi masyarakat. Batubara berkontribusi besar pada krisis iklim. Transisi menuju energi bersih sangat lambat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbahan bakar batubara yang mendominasi di Sumatera dianggap memicu dampak buruk kesehatan dan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Batubara pun dinilai berkontribusi besar pada krisis iklim. Saat itu terjadi, transisi menuju energi bersih disebut masih sangat lambat.
Hal itu menjadi benang merah diskusi bertajuk ”Bencana Kemanusiaan di Pangkalan Susu” yang diselenggarakan Yayasan Srikandi Lestari, di Medan, Sumatera Utara, Jumat (28/10/2022). Hadir dalam kesempatan itu juru bicara Bersihkan Indonesia Ali Akbar, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Medan Marsel Duha, peneliti dari Articula Wina Khairina, Indonesia Digital Campaigner 350.org Jeri Asmoro, dan Hadi Priyanto dari Greenpeace Indonesia.
Ali mengatakan, ada 33 PLTU di sepanjang Pulau Sumatera dengan kapasitas daya listrik 3.560 megawatt. Dalam dekade terakhir, kata Ali, pembangunan PLTU mulai bergeser ke luar Pulau Jawa, antara lain ke Sumatera.
”PLTU di sepanjang Sumatera mulai menimbulkan dampak buruk khususnya untuk kesehatan dan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Di PLTU Nagan Raya, Aceh, orang bahkan kehilangan kampung karena memilih menghindari dampak limbah batubara,” kata Ali.
Ali mengatakan, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menunjukkan pemerintah masih setengah hati melakukan transisi ke energi bersih. Dalam aturan itu disebut akan dibuat peta jalan percepatan pengakhiran masa operasionalisasi PLTU.
Akan tetapi, masih tetap dimungkinkan membangun PLTU baru meskipun syaratnya diperketat. PLTU, misalnya, hanya bisa dibangun jika telah ditetapkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) dan beroperasi paling lama sampai 2050. Selain itu, sudah mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun sejak PLTU beroperasi.
”Pembangunan PLTU baru seharusnya dihentikan. Dampak buruk PLTU yang sudah ada saja sudah dirasakan di mana-mana,” kata Ali.
Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari Sumiati Surbakti mengatakan, dampak buruk itu terlihat nyata di sekitar PLTU Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumut, yang beroperasi sejak 2016.
”Kami melakukan pendataan kualitatif selama enam bulan terakhir. Limbah batubara menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada kesehatan, perikanan, dan pertanian,” kata Sumiati.
Sejak PLTU Pangkalan Susu beroperasi, kata Sumiati, masyarakat di sekitarnya mengalami berbagai jenis penyakit, seperti gatal-gatal, kulit melepuh, dan infeksi saluran pernapasan atas. Sektor ekonomi juga sangat terdampak karena kerusakan laut akibat limbah batubara.
”Kami mendata 659 nelayan dari enam desa di sekitar PLTU Pangkalan Susu. Hasil tangkapan ikan mereka berkurang 70 persen dibandingkan sebelum PLTU beroperasi,” kata Sumiati.
Di sektor pertanian, menurut Sumiati, produktivitas sawah masyarakat pun menurun hampir setengahnya. Mereka juga sering mengalami gagal panen. Sumiati mendorong pemerintah aktif menyuarakan krisis iklim melalui presidensi G20 pada Kelompok Kerja Transisi Energi, Keberlanjutan Lingkungan, dan Iklim.
G20 harus melakukan tindakan konkret untuk mencapai Kesepakatan Paris dalam membatasi kenaikan suhu global 1,5 derajat celsius. Mereka juga mendorong pemerintah meninggalkan energi fosil, berfokus mendanai energi baru terbarukan, dan mempercepat transisi energi yang berkeadilan.
Nurhayati (33), warga Desa Pintu Air, Kecamatan Pangkalan Susu, mengatakan, awalnya masyarakat menyambut baik pembangunan PLTU karena dijanjikan akan memberikan kesejahteraan dengan pembukaan lapangan kerja. ”Namun, kenyataannya, pembukaan lowongan tenaga kerja sangat terbatas. Sementara pendapatan masyarakat sebagai nelayan dan petani berkurang tajam,” katanya.
Nurhayati menyebut produksi padinya berkurang dari 300 kilogram gabah kering per rante, sekitar 20 x 20 meter, menjadi hanya sekitar 150 kilogram. Mereka pun berharap ada solusi ke depan agar kehidupan masyarakat di sekitar PLTU bisa diselamatkan.