”Sajak-sajak Beracun” dari Perempuan Medan untuk Krisis Iklim
Organisasi perempuan, mahasiswa, dan lingkungan hidup melakukan aksi damai memperingati krisis iklim di Medan. Aksi itu diwarnai pembacaan puisi bertajuk ”Sajak-sajak Beracun” sebagai pesan krisis iklim di Indonesia.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sejumlah organisasi perempuan, mahasiswa, dan lingkungan hidup melakukan aksi damai memperingati krisis iklim di Medan, Sumatera Utara, Jumat (23/9/2022). Aksi itu, antara lain, diisi dengan teatrikal dan pembacaan puisi bertajuk ”Sajak-sajak Beracun” untuk menyampaikan pesan mengenai krisis iklim yang sedang dihadapi Indonesia dan dunia.
Aksi damai itu dilakukan di tengah terik matahari di depan Kantor Pos Besar Medan di Jalan Balai Kota. Para peserta aksi damai berasal dari Perempuan Hari Ini, Yayasan Srikandi Lestari, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumut, Lembaga Bantuan Hukum Medan, dan organisasi lainnya.
Aksi teatrikal dan pembacaan puisi pun dilakukan oleh mahasiswi dari sejumlah kampus yang tergabung dalam Perempuan Hari Ini. Aksi teatrikal dimulai dengan penampilan tiga perempuan yang ditutup mulutnya dengan plakban. Tangan mereka pun dibelenggu dengan tali hitam.
Seorang perempuan lain datang memberi bunga lalu melepas penutup mulut dan belenggu di tangan mereka. ”Racun ada di mana-mana. Di kata, kota, rasa, desa, bibir, napas, dan ampas. Terimalah racun-racun ini. Hiruplah wewangiannya. Rasakan durinya sampai menusuk jantungmu,” kata Lusty Malau, pendiri Perempuan Hari Ini, dalam puisinya.
Lusty mengatakan, mereka menulis puisi ”Sajak-sajak Beracun” khusus untuk aksi damai memperingati krisis iklim yang tergabung dalam gerakan Global Climate Strike. Aksi damai itu diperingati setiap tahun di seluruh dunia dan di Indonesia dimulai sejak 2019.
Lusty menyebut, mereka menggunakan kesenian agar bisa menyampaikan pesan kepada masyarakat dengan lebih dekat. ”Dalam situasi krisis iklim ini, kami tidak bisa hanya sekadar turun untuk aksi damai. Kami ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat dengan kesenian sebagai perlawanan sosial,” kata Lusty.
Lusty menyebut, plakban dan tali menjadi tanda bahwa masyarakat dibungkam dan dibelenggu sehingga tidak bisa menyuarakan krisis iklim yang terjadi akibat kerusakan hutan, gas buang industri, pemanasan global, rumah kaca, dan kerusakan lapisan ozon. Krisis ini pun memperburuk kemiskinan global, merusak sistem pangan, dan membuat orang menghadapi cuaca ekstrem yang mematikan.
Laila Lubis, anggota Perempuan Hari Ini dari Universitas Islam Negeri Sumut, mengatakan, penyadaran tentang krisis iklim harus dimulai sejak dini. Menurut Laila, kesadaran tentang krisis iklim sangat minim di kalangan milenial. Aksi damai itu pun mengajak anak-anak muda ikut mengampanyekan penyelamatan Bumi dari krisis iklim.
Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti, mengatakan, Sumut menjadi salah satu daerah yang mengalami krisis iklim karena sumber energi yang berfokus pada energi fosil. Pembangkit listrik pun sebagian besar menggunakan batubara dan minyak bumi.
”Tidak ada tanda-tanda upaya mengembangkan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan. Padahal, ini sangat penting untuk menyelamatkan Bumi dari krisis iklim,” kata Sumiati.
Kami ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat dengan kesenian sebagai perlawanan sosial.
Sumiati mengatakan, aksi damai itu juga mendorong pemerintah terlibat aktif menyuarakan krisis iklim melalui presidensi G20 pada Kelompok Kerja Transisi Energi, Keberlanjutan Lingkungan, dan Iklim.
G20 harus melakukan tindakan konkret untuk mencapai Kesepakatan Paris dalam membatasi kenaikan suhu global 1,5 derajat celsius. Mereka juga mendorong pemerintah meninggalkan energi fosil, berfokus mendanai energi baru terbarukan, dan mempercepat transisi energi yang berkeadilan.