Perubahan Iklim, Banjir Rob Belasan Kali Setahun di Pulau Pari
Setahun bisa 18-15 kali, kalau ada musim angin monsun timur dan barat. Setiap musim paling tidak bisa terjadi delapan kali banjir. Apa yang terjadi saat ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pulau Pari di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Jumat (30/11/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Warga Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, merasakan dampak perubahan iklim yang nyata. Salah satunya adalah banjir rob yang semakin sering terjadi setiap tahun.
Edi (37), warga Pulau Pari, menyaksikan, kenaikan permukaan air laut yang masuk ke daratan jarang terjadi 20 tahun lalu. Namun, banjir rob terjadi semakin sering sejak awal tahun 2000-an.
”Setahun bisa 18-15 kali, kalau ada musim (angin monsun) timur dan barat. Setiap musim paling enggak delapan kali banjir. Apa yang terjadi saat ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya,” kata Edi yang hadir dalam konferensi pers di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Selasa (20/9/2022).
Hari itu, ia mewakili warga Pulau Pari dan membahas isu krisis iklim yang dialami masyarakat di pulau kecil. Banjir rob pun disebut sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim yang kini semakin mengkhawatirkan.
Akhir tahun lalu, Desember 2021, enam titik di Kelurahan Pulau Pari terkena banjir rob. Ketinggian air laut mencapai 50 sentimeter hingga 1,3 meter terjadi sejak pukul 08.00 hingga 10.50 WIB, dikutip dari berita di situs resmi Pulauseribu.jakarta.go.id.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Konferensi pers terkait gugatan iklim masyarakat Pulau Pari dengan LSM lingkungan Walhi dan perwakilan masyarakat Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Selasa (20/9/2022).
”Saat banjir rob, air masuk sumur yang dipakai untuk mandi dan minum sehingga enggak bisa dipakai karena terkontaminasi air laut. Banjir rob juga berdampak ke lokasi wisata, seperti Pantai Pasir Perawan. Ini sensitif, wisatawan bisa ketakutan dengan peringatan dini,” ujarnya.
Sejauh ini, warga hanya mampu meninggikan rumah dan tempat usaha mereka agar banjir tidak masuk sampai ke dalam rumah. Untuk jangka panjang, ia melihat, penanaman lebih banyak bakau atau mangrove menjadi solusi.
Selain masalah banjir rob yang semakin sering, perubahan iklim juga membuat nelayan terdampak. Mustaghfirin alias Bobby, Ketua Forum Peduli Pulau Pari, menceritakan, nelayan juga menjadi semakin sulit melaut dan mencari ikan.
”Sekarang alam sering berubah mendadak. Contoh, kami sudah berangkat naik perahu 16 mil ke timur, tahu-tahu kejebak angin. Kalau dulu enggak ada, sekarang tahu-tahu ada angin. Saya hampir tenggelam karena awalnya prediksi angin biasa, ternyata cuaca ekstrem,” tuturnya.
Faktor iklim membuat nelayan semakin tidak produktif mencari ikan. Dua bulan terakhir saja, ia tidak mampu menutupi modal melaut. Meski demikian, menurut dia, belum banyak nelayan, termasuk dirinya, berpikir untuk berhenti menjadi nelayan.
Produksi semen di dunia sejak tahun 1995 meningkat tiga kali lipat dan menyumbang 8 persen emisi global.
Kepala Divisi Kajian dan Hukum Walhi Puspa Dewy menambahkan, warga Pulau Pari dan pulau-pulau kecil lain juga terancam pengurangan luasan kawasan, bahkan tenggelam, karena kenaikan permukaan air laut. Di Palau Pari, 11 persen daratan sudah berkurang.
Perubahan iklim juga berdampak pada ketersediaan air bersih. Saat ini, Pulau Pari sudah mengalami intrusi air laut yang menyebabkan air tanah asin. Air tanah dari sumur juga sering tercemar air laut saat banjir rob menyergap daratan.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Konferensi pers terkait gugatan iklim masyarakat Pulau Pari dengan LSM lingkungan Walhi dan perwakilan masyarakat Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Selasa (20/9/2022).
Masalah-masalah ini, lanjutnya, harus dipertanggungjawabkan pelaku penyebab perubahan iklim. Salah satu yang disoroti adalah perusahaan semen yang meninggalkan jejak karbon sangat besar.
Lembaga penelitian Chatham House menyebut, semen merupakan sumber dari sekitar 8 persen emisi karbon dioksida (CO2) dunia. Industri semen menghasilkan CO2 terbanyak bersama industri bahan bakar pesawat udara dan agrikultur global.
”Produksi semen di dunia sejak tahun 1995 meningkat tiga kali lipat dan menyumbang 8 persen emisi global,” katanya.
Karena itu, mereka dengan empat warga Pulau Pari menggugat salah satu perusahaan semen dunia untuk bertanggung jawab ke pengadilan di Swiss. Perusahaan semen itu menjadi tergugat karena merupakan perusahaan besar dengan lebih dari 200 pabrik di dunia. Mereka menggugat perusahaan itu agar membayar kompensasi atas kerugian dari perubahan iklim.
Langkah hukum yang diambil ini menjadi yang pertama di Indonesia, kata Dewy. Sebelumnya, gugatan warga terkait dampak perubahan iklim juga pernah dilayangkan kepada salah satu perusahaan minyak dan gas di Belanda.