RS di Aceh Diminta Maksimal Tangani Pasien Gagal Ginjal Akut, Apotek Jangan Main-main
Banyak pasien yang masuk ke rumah sakit dalam keadaan kritis. Oleh sebab itu, perlu sosialisasi lebih kuat agar publik mengerti saat menemukan gejala ringan langsung membawa ke rumah sakit. Dari 29 pasien, 22 meninggal.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS
—
Jumlah anak meninggal karena gagal ginjal akut di Aceh tercatat 22 orang. Rumah sakit daerah dan rumah sakit rujukan utama diminta meningkatkan kesiapan agar dapat menangani pasien dengan maksimal.
Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aceh, hingga Senin (24/10/2022), menyebutkan, pasien gagal ginjal akut tercatat 29 orang. Sebanyak 22 di antaranya meninggal, 5 sembuh, dan 2 lainnya yang masih dalam perawatan telah cuci darah.
Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Rizal Fahlevi Kirani, Selasa (25/10/2022), menuturkan, lima pasien gagal ginjal akut yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, rumah sakit rujukan utama di Aceh, sudah sembuh. Kini, masih ada dua pasien anak yang tengah dirawat intensif.
Rizal menyebutkan, para pasien pernah mengonsumsi obat sirop yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), yang disebut pemicu gagal ginjal akut. Kini, daftar obat yang diduga menjadi pemicu gagal ginjal akut itu telah ditarik dari pasar. ”Saya meminta manajemen rumah sakit fokus dan maksimal menangani pasien gagal ginjal akut,” ujar Rizal.
Secara terpisah, Ketua IDAI Aceh Syafruddin Haris, juga dokter spesialis anak di RSUDZA, menuturkan, tingkat kematian akibat gagal ginjal akut sangat tinggi. Dari 29 pasien, sebanyak 22 meninggal.
Syafruddin mengatakan, banyak pasien yang masuk ke rumah sakit dalam keadaan kritis. Oleh sebab itu, perlu sosialisasi lebih kuat agar publik mengerti saat menemukan gejala ringan langsung membawa ke rumah sakit.
”Kami meminta warga untuk sementara tidak membeli obat bebas tanpa rekomendasi tenaga kesehatan,” kata Syafruddin. IDAI Aceh juga menghimbau bagi tenaga kesehatan meningkatkan kewaspadaan dan melakukan deteksi dini.
Rizal juga mengingatkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Banda Aceh agar meningkatkan razia ke depot obat untuk memastikan obat yang dilarang tidak lagi diperjualbelikan. ”Kemarin kami cek ke lapangan, masih ada berkeliaran (obat sirop dilarang). Saya minta apotek tidak main-main, ini menyangkut nyawa manusia,” kata Rizal.
Kepala BPOM Banda Aceh Yudi Noviandi mengklaim pihaknya intens mengawasi peredaran obat di pasaran. Sejauh ini, tidak ditemukan penjualan obat sirop yang dilarang.
Menurut Yudi, dunia usaha cukup patuh pada kebijakan pemerintah untuk tidak menjual obat sirop yang dilarang. ”Kami melakukan cover buy (penyamaran). Namun, sejauh ini tidak ada yang jual sirop tersebut,” katanya.