Taman Laut Olele: Alamnya Laksmi, Tarifnya Tak Pasti, Pemkabnya Gigit Jari
Taman Laut Olele adalah sebuah kawasan konservasi laut daerah yang sejak 2006 dikelola Pemkab Bone Bolango. Keindahan alam bawah lautnya tak diragukan, tetapi pengelolaannya tak jelas. Pemkab bahkan tak dapat pemasukan.
Pria yang tadinya berselonjor di bawah keteduhan sebuah balai bambu itu segera bangkit ketika Kompas tiba. Sambil masih bertelanjang dada, ia menghampiri dan bertanya, “Ada yang bisa dibantu?”
Snorkeling. Itulah tujuan kunjungan ke pantai di ujung Desa Olele, Jumat (7/10/2022) pagi tersebut. Pantai itu adalah gerbang menuju Taman Laut Olele di pesisir selatan Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Orang menyebutnya surga tersembunyi dengan kekayaan bawah laut yang tak kalah dari Bunaken di Manado, Sulawesi Utara.
“Sudah tahu tarifnya?” tanya dia lagi sambil tersenyum canggung, lalu melanjutkan, “Biaya perahunya Rp 600.000, baru saja naik dari Rp 500.000. Kalau mau sewa alat, Rp 75.000 sudah dapat mask (kacamata selam), snorkel (pipa napas), pelampung, dan sepatu katak,” kata pria bernama Yusuf Mahmud (39) yang akrab disapa Yayan itu.
Tarif itu jauh di luar perkiraan. Apalagi, artikel tahun 2019 yang terbit di laman Generasi Pariwisata Indonesia (GenPI) besutan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif masih menyebut biaya sewa perahu Rp 250.000 dan peralatan snorkeling Rp 50.000.
Sebagai pemilik perahu katamaran yang dikhususkan untuk membawa pengunjung snorkeling, Yayan menegaskan, harga tersebut telah berlaku sejak awal September 2022 ketika harga pertalite naik jadi Rp 10.000 per liter.
Perahu katamaran bisa mengangkut 8-10 orang, sehingga biaya itu seharusnya tak jadi masalah jika wisatawan datang berkelompok. Namun, ia mengaku tak tega memaksakan harga tersebut kepada wisatawan yang datang sendiri.
“Anda ada uang berapa? Nanti bisa kita atur,” kata dia. Tawaran Rp 150.000 pun dilontarkan, tentu saja dengan ketentuan tanpa perlu diantar katamaran, melainkan perahu ketinting saja yang biasa dipakai nelayan melaut.
Di luar dugaan, Yayan langsung menyetujui dan mengoper tawaran itu kepada Roin Adam (41). Roin adalah pemandu snorkeling yang biasa mengantar wisatawan dengan katamaran milik Yayan.
Ia bahkan tak menanyakan tarif. Kebetulan, pagi itu tak ada wisatawan lain setelah sekelompok turis lokal yang telah buat janji dengan Yayan tiba-tiba urung datang.
Setelah mencoba ukuran sepatu katak, Oin, panggilan akrab Roin, membawa Kompas ke ketintingnya. Motor ketinting menyala, lalu melaju mengarungi ombak menuju tiga titik snorkeling secara berurutan, yakni Karang Batik, Gua Jin, dan Spot Nemo.
Kaya dan indah
Berjarak sekitar 28 kilometer atau satu jam perjalanan dari pusat Kota Gorontalo, Taman Laut Olele adalah sebuah kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang sejak 2006 dikelola Pemerintah Kabupaten Bone Bolango. Luas wilayahnya 24.901 hektar, membentang dari pesisir Kabila Bone di utara dan melebar ke Teluk Tomini di selatan.
Keanekaragaman bawah lautnya terbilang sangat kaya. Sedikitnya 16 genus terumbu karang yang terbagi lagi menjadi puluhan spesies tumbuh subur dalam keadaan sehat. Mereka hidup berdampingan dengan 104 spesies ikan yang teridentifikasi di wilayah konservasi itu.
Satu karang yang paling menarik para wisatawan adalah Petrosia lignosa atau yang dikenal juga sebagai Salvador Dali karena bentuknya menyerupai lukisan L’enigma del Desiderio karya pelukis Spanyol yang hidup pada abad ke-20 itu. Karang lunak tersebut hidup di kedalaman 15-30 meter.
Kendati begitu, alam Olele sangatlah murah hati bagi yang tak bisa menyelam. Cantiknya terumbu karang dan ikan yang meliuk-liuk ke sana ke mari sudah terlihat dari permukaan airnya yang jernih membiru. Ombak tinggi bahkan tak menciutkan niat untuk menceburkan diri.
Pada titik Karang Batik, pemandangan hamparan luas karang Acropora palifera langsung menyambut. Terumbu karang berbentuk cabangan pilar-pilar keras berwarna coklat ini tumbuh berdampingan dengan karang Acropora lainnya yang berwarna hijau atau merah manggis sehingga memberi kesan bak warna kain batik.
Baca juga: Persahabatan Lestari Manusia dan Hiu Paus di Pantai Botubarani, Gorontalo
Hanya 10 menit berenang ke barat, kita akan sampai ke salah satu titik snorkeling sekaligus selam favorit, yaitu Gua Jin. Spot ini berbentuk seperti tanjung kecil yang diapit dua bukit karang.
“Gua” yang dimaksud adalah jurang di antara dua karang tersebut yang kedalamannya mencapai 30 meter. Hanya biru gelap yang tampak sepanjang pandangan.
Kendati begitu, keanekaragaman terumbu karang di puncak tebing bawah air Gua Jin tak kalah menawan. Berbagai hewan laut yang unik juga tampak di sini, seperti ikan jarum yang menanti mangsa di permukaan laut dan ular laut yang menyelinap di sela-sela koral.
Titik terakhir adalah Spot Nemo. Letaknya tepat di seberang permukiman Desa Olele. Demikian namanya karena ada ikan badut dari spesies Premnasbiaculeatus yang tinggal di antara lambaian tentakel anemon, persis seperti dalam film animasi Finding Nemo produksi Disney Pixar.
Beragam jenis ikan lainnya pun menyambut serpihan biskuit yang ditebar. Tanpa berkata sekalipun, segala kecantikan alam ini akhirnya akan menjelaskan mengapa Taman Laut Olele disebut surga tersembunyi di Gorontalo.
Pengelolaan
Wisata selam berkembang di Olele setahun setelah taman laut itu ditetapkan sebagai KKLD. Geliat pariwisata ini digerakkan beberapa operator wisata selam (dive center) yang terpusat di Kota Gorontalo, kebanyakan dimiliki warga negara asing.
Maman Abdullah (28), warga Desa Olele yang bekerja sebagai pemandu selam di Miguel’s Diving, salah satu dive center, mengatakan, ada 13 titik selam yang sudah teridentifikasi di Taman Laut Olele. Kelompok wisatawan yang paling antusias menyambanginya berasal dari mancanegara.
Pariwisata sangat membantu untuk tambah-tambah pemasukan kalau tangkapan sedang sedikit.
Baru antara 2010-2011, wisata snorkeling tumbuh dari akar rumput. Wisata itu dimotori beberapa warga seperti Yayan yang tak ingin hanya menjadi penonton perkembangan pariwisata di desanya.
Secara perorangan, segelintir warga mulai membeli katamaran, perahu berbadan ganda dengan lantai kaca. Sebagian lainnya menyewakan perlengkapan snorkeling dan selam atau membuka warung.
Prospeknya, kata Yayan, bagus lantaran titik snorkeling sangat luas, dari ujung timur ke ujung barat di sepanjang garis pantai desa. “Kalau mau dihabiskan sehari, tidak bisa. Dulu pernah ada turis Jepang yang sampai snorkeling dua hari berturut-turut karena mau menyisir dari ujung ke ujung,” ujarnya.
Oin juga menyatakan dirinya sangat terbantu sejak pariwisata tumbuh di kalangan warga desa. Jika sedang ramai, sehari ia bisa empat-lima kali membawa kelompok wisatawan snorkeling dengan katamaran milik Yayan.
“Saya ini sebenarnya nelayan, jadi bawa tamu itu cuma sampingan. Tapi, pariwisata sangat membantu untuk tambah-tambah pemasukan kalau tangkapan sedang sedikit. Sekali bawa dapat Rp 100.000, bagi hasil dari Rp 600.000 dari yang punya katamaran,” katanya.
Baca juga: Marten A Taha: Fokus Kembangkan Gorontalo sebagai Kota Jasa di Tengah Ancaman Banjir
Segalanya terdengar baik bagi masyarakat, sampai Yayan mengatakan Pemkab Bone Bolango sebagai pengelola KKLD ini tidak mendapat bagian apa pun. Karcis masuk pun tidak, sehingga wisatawan bisa masuk hingga ke pantai tanpa membayar retribusi sepeser pun.
Menurut Yayan, selama beberapa tahun memang ada perdebatan antara pemkab dan warga perihal pemungutan retribusi, mengingat gerbang masuk ke Taman Laut Olele terletak sekitar 2 kilometer dari pantai. “Kalau begitu, apakah warga yang cuma mau berkunjung ke rumah saudaranya harus bayar retribusi?” gerutu Yayan.
Yayan dan para pemilik katamaran lain sebenarnya mengusulkan, retribusi bisa diambil dari tarif sewa perahu. Namun, Yayan sendiri mengaku tidak ada tarif pasti di Olele. Ia mengatakan, wisatawan bisa juga menyewa katamaran Rp 300.000, lalu membayar sewa alat secara terpisah, yaitu Rp 75.000. Jika ingin ada foto bawah air, tambah lagi Rp 200.000.
Tak ada aturan dari kelompok sadar wisata (pokdarwis) maupun pemerintah desa yang menetapkan soal tarif snorkeling. Di sisi lain, masyarakat desa juga tidak mau jika mereka diminta menyetor retribusi, tetapi dive center yang terpusat di Kota Gorontalo bebas datang dan pergi ke perairan Olele dengan perahu cepat tanpa menepi.
Sukirman Tilahunga, staf Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Bone Bolango yang membidangi penataan dan daya tarik wisata, mengakui pemkab masih gamang mencari formula yang pas untuk mendapatkan pemasukan dari Taman Laut Olele. Selama ini, pemkab sebagai pemilik obyek wisata justru hanya gigit jari.
Tetapi, saking banyaknya pihak yang ingin terlibat, prosesnya jadi berbelit.
“Wisatawannya nginap di Kota Gorontalo, dive center-nya juga di sana. Jadi, pemkab enggak dapat apa-apa dari situ. Kami sempat mau ambil retribusi di Desa Botubarani, tempat wisata hiu paus. Tetapi itu jadi sorotan karena menurut UU Nomor 23 Tahun 2014, perairan 0-12 mil itu dikelola oleh pemprov,” kata dia.
Solusi yang ia coba dorong saat ini adalah pembentukan ko-manajemen. Sebuah badan pengelola Taman Laut Olele bisa dibentuk oleh pemkab, pemprov, masyarakat, hingga operator wisata selam.
Konsep itu, kata Sukirman, pernah dilakukan di Bunaken dan badan pengelola bisa mendapatkan Rp 20 miliar per tahun. Konsep ini juga penting mengingat Taman Laut Olele adalah kawasan konservasi yang harus dilindungi. “Tetapi, saking banyaknya pihak yang ingin terlibat, prosesnya jadi berbelit,” ujarnya.
Untuk sementara, beginilah surga tersembunyi di pesisir selatan Gorontalo ini dikelola. Lagi pula, dampaknya tak buruk pula untuk wisatawan, karena beberapa fasilitas yang harusnya berbayar, seperti karcis masuk dan penggunaan kamar mandi serta air, masih gratis. Negosiasi tarif juga masih dimungkinkan.
Sebagai satu-satunya wisatawan yang datang Jumat pagi hingga siang itu, Kompas akhirnya membayarkan Rp 200.000 untuk imbal jasa bagi Oin. Jumlah itu, sekalipun jauh lebih rendah daripada Rp 600.000 yang awalnya mereka patok, justru tetap diapresiasi Yayan.
Lihat juga: Keindahan Bawah Laut Taman Wisata Bahari Olele di Bone Bolango