Persahabatan Lestari Manusia dan Hiu Paus di Pantai Botubarani, Gorontalo
Kemunculan hiu paus di pantai Desa Botubarani, Bone Bolango, membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat. Kini pariwisata berkembang dan dikelola sendiri oleh masyarakat, bukti tak perlu investasi besar untuk sejahtera.
Lukman Daud merasa agak tidak enak terhadap rombongan tamunya. Datang jauh-jauh dari beberapa kabupaten di Sumatera dan Kalimantan, keinginan mereka untuk melihat hiu paus (Rhincodon typus) di pantai Desa Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, tak dapat terkabul.
”Dua minggu lalu mereka masih muncul. Waktu itu Pak Menparekraf (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) Sandiaga Uno sempat berenang dan bercengkerama dengan lima hiu paus. Tetapi, sejak itu mereka menghilang,” ujar Lukman, Kepala Dinas Parekraf Bone Bolango, Minggu (28/11/2021) pagi yang mendung.
Menurut Lukman, hiu paus bisa muncul sepanjang tahun sehingga wisatawan seharusnya bebas datang kapan saja. Namun, ternyata November dan Desember yang diisi musim hujan bukan saat terbaik untuk melihat ikan berwarna abu-abu gelap dan bertotol-totol putih itu. Untungnya para tamu maklum meski sedikit kecewa.
Kawanan hiu paus pertama kali tampak di pantai Desa Botubarani pada 2016. Saat itu, ada 13 ekor yang berenang dan mencari makan, 20-40 meter dari garis pantai. Sejak itu, desa di mulut Teluk Tomini tersebut menjadi salah satu destinasi favorit bagi wisatawan penggemar selam yang bervakansi ke Gorontalo.
Potensi wisata hiu paus pun dikaji lebih lanjut oleh tim peneliti Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, World Wide Fund for Nature (WWF), Whale Shark Indonesia, dan Dinas Parekraf Bone Bolango. Hingga Desember 2021, tim telah berhasil mengidentifikasi 48 individu berbeda. Semuanya jantan dan berusia anak hingga remaja dengan ukuran tubuh antara 2,4 meter dan 8,6 meter.
Sukirman Tilahunga, ahli hiu paus Bone Bolango, mengatakan, para peneliti telah mencatat tanggal-tanggal kemunculan hiu paus di pantai Desa Botubarani selama lima tahun sejak 2016 demi mengetahui tren penampakannya. Kesimpulannya, puncak kemunculan hiu paus adalah pada pertengahan tahun, yaitu Mei, Juni, dan Juli.
Baca juga: Pemuda Merayakan Pangan Lokal Gorontalo
Selama tiga bulan itu, lanjut Sukirman, pesisir Desa Botubarani begitu kaya akan makanan hiu paus, yaitu hewan-hewan laut yang ukurannya tak lebih dari 20 sentimeter, seperti ikan nike (Awaous melanocephalus), udang, cumi, serta plankton. Hewan filter feeder (penyaring makanan) dengan mulut lebar itu menetap sementara untuk memenuhi nutrisinya.
Dari pola itu, Sukirman pun berhipotesis, pantai Desa Botubarani merupakan salah satu pemberhentian bagi hiu paus untuk bertumbuh dalam perjalanan migrasinya. Dugaan ini didukung fakta bahwa hanya hiu paus usia anak remaja yang muncul. Tak ada individu dewasa yang memiliki panjang tubuh 10 meter atau lebih.
”Selain itu, hanya jantan yang muncul. Bisa jadi, Botubarani bukan tempat perkembangbiakan hiu paus. Mereka hanya datang untuk makan dan bertumbuh,” ujar Sukirman yang juga menjabat Kepala Seksi Penataan dan Daya Tarik Wisata Dinas Parekraf Bone Bolango.
Pada akhir tahun, curah hujan yang meningkat membuat ikan-ikan kecil menyebar, tidak terkonsentrasi di pantai Desa Botubarani. Saat itulah hiu paus pergi ke tempat lain yang masuk dalam rute migrasinya, yakni dari Taiwan hingga perairan di sisi selatan Sulawesi. Beberapa tempat persinggahannya adalah Cebu di Filipina dan Teluk Tomini di Indonesia.
Dikelola warga
Wisata hiu paus di Desa Botubarani, kata Lukman, bagaikan anugerah yang pemkab sendiri tak pernah kira bakal datang. ”Di dunia, hanya ada dua tempat di mana kita bisa melihat hiu paus dari jarak yang sangat dekat dengan pantai, yaitu di Botubarani dan Cebu, Filipina. Hiu paus ada juga di tempat lain, tetapi perlu naik perahu dua jam ke tengah laut,” ujarnya.
Wisatawan dari dalam ataupun luar negeri pun datang silih berganti untuk merasakan sensasi berenang bersama spesies ikan terbesar di dunia itu. Menurut catatan Yayasan Strategi Konservasi Indonesia (YSKI), 844 orang berkunjung ke sana sepanjang 2019. Nilai ekonomi wisata hiu paus diperkirakan Rp 7,89 miliar setiap bulan.
Menariknya, keuntungan terbesar dinikmati langsung masyarakat desa. Selain beberapa resor, tidak ada aliran investasi privat yang datang di destinasi hiu paus itu. Justru, masyarakat segera membuat kelompok sadar wisata (pokdarwis) untuk mengelola sektor baru bagi desa yang letaknya hanya 9,5 kilometer dari pusat Kota Gorontalo itu.
Wahab Matoka (68), Ketua Pokdarwis Desa Botubarani, mengatakan, masyarakat yang dulunya hanya nelayan kini juga menggunakan perahunya untuk membawa pengunjung ke titik pertemuan dengan hiu paus. Sebagian juga menjadi pemandu selam.
”Sampai di titik untuk melihat hiu paus, pemandu dan pemilik kapal akan memukul-mukul badan perahu agar hiu paus muncul ke permukaan. Setelah muncul, mereka akan diberi makanan berupa kepala udang yang kami beli dari pabrik-pabrik di sekitar sini,” ujar Wahab.
Pokdarwis Desa Botubarani juga membagi daerah pantai menjadi lima pangkalan sebagai akses masuk wisatawan. ”Jadi, biaya wisata satu kali perjalanan Rp 80.000. Untuk pemandu Rp 50.000, beli pakan hiu paus Rp 20.000, dan Rp 10.000 dibagi dua untuk pengurus pangkalan dan pemasukan desa,” ujar Wahab.
Atas alasan keselamatan pengunjung, setiap perahu hanya boleh membawa maksimal tiga orang. Pengunjung yang sudah pandai berenang atau menyelam pun tidak diperkenankan berenang sendiri ke tempat hiu paus sekalipun jaraknya hanya 20 meter.
”Supaya kalau mereka lelah atau panik ketika melihat hiu paus, ada pegangan terdekat,” kata Wahab.
Saat ini, Pokdarwis Desa Botubarani beranggotakan 15 pengurus. Namun, kesempatan mendapatkan manfaat ekonomi tetap terbuka bagi warga lain yang memiliki perahu atau mampu menjadi guide selam. Di luar itu, masyarakat memetik untung melalui penjualan cendera mata, makanan, penginapan, dan biaya parkir.
Jaga lingkungan
Seiring tumbuhnya pariwisata, warga Desa Botubarani juga menemukan caranya sendiri untuk menjaga hubungan baik dengan hiu paus sekaligus ekosistem pesisir. Arpan Napu (58), kepala pangkalan tempat wisata hiu paus, mengatakan hanya lima perahu yang diperbolehkan berada di lokasi hiu paus dalam satu waktu bersamaan. Artinya, hanya 15 pengunjung yang diperbolehkan berenang dengan hiu paus dalam waktu bersamaan.
”Itu supaya hiu paus tidak bingung. Kalau terlalu banyak orang dan terlalu banyak kasih makan, bisa jadi dia malah lari. Tiap perahu juga kami batasi hanya boleh 15 menit di tengah, kecuali pantai sedang sepi,” kata Arpan.
Aturan tersebut juga dibuat untuk menghindari kerusakan terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil makanan hiu paus. Para nelayan dan penggiat wisata Desa Botubarani kini justru berusaha menanam lebih banyak terumbu karang pada kedalaman mulai dari 20 meter.
Pada saat yang sama, Pokdarwis Desa Botubarani juga selalu mengingatkan para nelayan agar berhati-hati ketika menebar jaring, terutama pada musim ikan nike. ”Setiap musim nike, pasti ada hiu paus yang muncul. Makanya, kami selalu ingatkan para nelayan agar jangan menyakiti hiu paus yang mungkin tersangkut di jaring mereka. Apalagi, spesies ini dilindungi negara,” katanya.
Bagi Lukman, semua cara ini menunjukkan kecintaan warga Desa Botubarani akan ikan yang oleh masyarakat lokal dikenal dengan nama munggiyango hulalo, atau ikan besar berbintang. Karena itu, belum ada tanda-tanda perilaku yang merusak alam.
Lukman juga belum melihat urgensi untuk membatasi jumlah pengunjung. Sebab, melihat data pada 2019, jumlah pengunjung hanya setengah dari daya dukung wisata yang oleh YSKI diperkirakan hanya 1.560 orang per tahun.
”Kebanyakan yang berwisata ke sini hanya orang-orang tertentu yang memang sudah tahu soal hiu paus,” ujarnya.
Namun, masalah yang kini mengancam adalah sampah dari Pelabuhan Gorontalo yang terletak di muara Sungai Bone yang letaknya tak jauh dari Desa Botubarani. Sampah ini rawan masuk ke dalam perut hiu paus yang mampu menyaring makanannya dari 6.000 liter air yang ia isap dalam satu jam.
”Kami selalu bekerja sama dengan masyarakat untuk mengangkat sampah yang tampak di laut. Untungnya mereka tanggap, karena mereka ingin punya hubungan yang baik dengan hiu paus,” ujar Lukman.
Baca juga: Kabupaten Cari Solusi Atasi Banjir lewat Festival Kabupaten Lestari
Menurut Bupati Bone Bolango, Hamim Pou, Desa Botubarani adalah contoh bagaimana masyarakat bisa sejahtera dengan memanfaatkan potensi lokal yang berbasis alam. Pada saat yang sama, aspek kelestarian lingkungan tetap dipertahankan.
Seiring Taman Laut Olele, Desa Botubarani pun menjadi sumber pendapatan daerah berkat ekosistemnya yang masih sehat. Menurut Hamim, tak perlu investasi besar untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
”Ini bentuk komitmen kami terhadap pelestarian lingkungan sekaligus pemberdayaan masyarakat lokal,” kata Hamim.
Pemkab Bone Bolango pun berusaha menjaga komitmen ini melalui keanggotaan dalam Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), asosiasi sembilan kabupaten yang berupaya mencapai pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan berkelanjutan alam. ”Praktik seperti (di Desa Botubarani) inilah yang kami ingin terus kampanyekan agar membudaya di semua kabupaten anggota LTKL,” kata Hamim.