Satu Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Bersedia Melakukan Ekshumasi
Setelah urung dilakukan 20 Oktober lalu, otopsi terhadap korban tragedi Kanjuruhan kini kembali didorong untuk menuntaskan kasus berdarah itu.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Satu keluarga korban tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, akhirnya bersedia melakukan ekshumasi. Hal ini diharapkan kembali menjadi dorongan kuat bagi semua pihak untuk melakukan otopsi demi menghadirkan keadilan bagi ratusan korban dan keluarganya.
Haris Azhar, perwakilan Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak), yang mendampingi korban, Senin (24/10/2022) sore, mengungkapkan, sejak awal ingin melakukan otopsi. Namun, informasi tentang itu diketahui polisi yang kemudian mendatangi keluarga korban. Bukannya membantu, hal itu justru membuat keluarga korban trauma.
”Sekarang, ada keluarga korban mau dan didampingi Tatak dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban),” ujarnya di Polres Malang, Senin.
Menurut Haris, pihaknya ingin otopsi dilakukan melibatkan institusi akademi, kampus, dan bekerja sama dengan rumah sakit. Hasilnya, digunakan untuk mendorong proses hukum peristiwa yang menewaskan 135 orang dan melukai 650 orang lebih itu.
Ketua Tim Tatak Imam Hidayat mengatakan, pembatalan rencana otopsi sebelumnya akibat kondisi psikis keluarga korban yang tertekan. Padahal, otopsi dibutuhkan untuk memperkuat pembuktian proses hukum pidana akan tragedi maut 1 Oktober itu.
”Kalau tanpa otopsi, perkara ini tidak akan terang. TGIPF (Tim Gabungan Independen Pencari Fakta) dan pihak lain menyatakan korban meninggal akibat gas air mata. Namun, tanpa otopsi kedalaman pembuktiannya di ranah pidana masih kurang,” katanya.
Jika keluarga korban bersedia otopsi, LPSK akan segera menginformasikan kepada penegak hukum untuk menindaklanjutinya. Langkah keluarga korban ini diharapkan bisa menjadi pencerah dan contoh bagi keluarga korban yang lain untuk menuntut haknya.
Kepala Polres Malang Ajun Komisaris Besar Putu Kholis Aryana mengatakan, pembahasan soal otopsi dilakukan penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim bersama keluarga korban. Polres akan memfasilitasi pihak penyidik dan korban.
”Apabila otopsi dilakukan, kami akan menyiapkan seluruh fasilitas dan peralatan untuk memerlancar kegiatan itu. Namun, keputusan ada di penyidik dan pihak keluarga,” katanya.
Sejauh ini, kata Kholis proses pemeriksaan terhadap anggotanya, baik sebagai saksi proses pidana maupun kode etik, masih terus berjalan. Total lebih dari 18 personil yang dimintai keterangan, baik di Malang atau Surabaya.
Terkait pemeriksaan yang tengah berlangsung, menurut Kholis, pihaknya menerima permintaan bantuan menggali keterangan tambahan dari saksi dari Polda Jatim. Hal itu dilakukan untuk memudahkan saksi agar tidak perlu pergi ke Surabaya. Sebelumnya, Jumat pekan lalu, juga ada lima saksi yang dimintai keterangan di Pores Malang.
Sementara itu, para pendamping korban menilai Pasal 359 KUHP tidak tepat dipakai dalam tragedi Kanjuruhan. Ketimbang kealpaan, pasal yang tepat diberikan pada pelaku adalah 338 dan 340 KUHP atau sengaja sengaja merampas nyawa orang lain. Terkait itu, pihaknya akan berkirim surat ke Presiden, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung.
”Ini tidak ada kelalaian. Ini dalam keadaan sadar, adanya kesengajaan, sadar akan kemungkinan. Saat ditembakkan gas air mata itu dia (pelaku) sadar kemungkinannya apa. Itu, kan, di tribune,” ujar Imam.
Sementara itu, Haris Azhar menilai proses hukum yang berjalan terbilang cukup lambat. Apa yang disampaikan Kepala Polri dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum di Jakarta, tidak secepat yang dia kira diterapkan di lapangan.
”Korban trauma dengan polisi. Pemeriksaan Mochamad Kurniawan, Ketua Umum PSSI di Polda Jatim, sedangkan saksi lainnya di Polres. Yang menarik ini (Polres) kantor pelaku juga. Ini agak kontradiksi. Mustinya tim Jakarta (Mabes Polri) yang harus memeriksa (di Malang) sampai selesai,” katanya.