Kelebihan beban TPA di Kota Tarakan merupakan puncak masalah akibat tak berjalannya penanganan sampah dari hulu ke hilir. Persoalan ini berkejaran dengan bertambahnya penduduk yang berimplikasi bertambahnya sampah.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
Dua orang sedang memilah-milah sampah yang baru saja masuk ke tempat pemrosesan sementara yang dikelola Kelompok Swadaya Masyarakat Harapan Bangsa. Bau tak sedap menguar dari berbagai tumpukan sampah rumah tangga tersebut. Menggunakan sarung tangan, mereka memisahkan beberapa jenis sampah.
”Ini yang sampah makanan kami pilah untuk pakan babi. Yang plastik, kardus, kertas, dan botol kami pisahkan juga,” kata salah satu dari mereka, Sabtu (1/10/2022) siang.
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Harapan Bangsa mengelola tempat pemrosesan sementara (TPS) sampah-sampah yang ada di Kelurahan Karang Harapan, Kecamatan Tarakan Barat, Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Sampah dari rumah warga diangkut ke tempat ini agar terpilah untuk dipakai kembali (reuse), dikurangi (reduce), dan didaur ulang (recycle).
Pemerintah Kota Tarakan mengklaim TPS di sini merupakan salah satu yang terbaik dan berjalan konsisten. Kendati demikian, saat Kompas berkunjung ke TPS ini, kondisinya sangat jauh dari ideal. Dari 17 rukun tetangga (RT) di Kelurahan Karang Harapan, TPS di sini hanya mampu mengelola sampah di dua RT yang terdiri atas 1.700 keluarga.
Ketua KSM Harapan Bangsa Sugiono mengatakan, bangunan TPS yang hanya sekitar 100 meter persegi tak mampu menampung sampah dari 17 RT yang padat penduduk. Selain itu, mereka hanya memiliki delapan pekerja untuk mengangkut, memilah, dan mengelola sampah dari warga.
Alat angkut sampah yang mereka miliki hanya berupa sebuah mobil pikap. Mobil itu digunakan setiap hari untuk mengangkut sampah warga, kecuali hari Jumat. Adapun warga di 15 RT lain yang sampahnya tak terkelola TPS ini langsung membuang sampahnya ke tempat pemrosesan akhir (TPA).
”Dari sekitar 700 kilogram sampah yang masuk setiap hari, sekitar 200 kilogram yang bisa kami pilah dan sisanya sekitar 500 kilogram dibuang ke TPA,” katanya.
Setiap keluarga membayar iuran Rp 20.000 setiap bulan. Dari 1.700 keluarga, mereka bisa menghimpun dana sekitar Rp 34 juta per bulan untuk biaya operasional, seperti gaji delapan pegawai, biaya listrik, bensin, pengolahan sampah, dan perbaikan kendaraan.
Kendati demikian, dana tersebut sulit diputar untuk memperbanyak mobil sebagai alat angkut. Jika jumlah kendaraan cukup, sampah dari 17 RT di kelurahan itu bisa diangkut ke TPS dan dipilah terlebih dahulu. Tak hanya itu, mereka juga butuh tambahan pekerja untuk memilah dan mengolah sampah dari 17 RT.
”Tempatnya juga tak memungkinkan. Dari dua RT saja sudah sekitar 700 kilogram sampah masuk tiap hari. Ini saja sudah penuh,” tambah Sugiono.
Selain itu, pengelola TPS khawatir sampah yang menumpuk di TPS bakal mengeluarkan bau yang mengganggu warga jika volume sampah semakin banyak. Dengan perhitungan kasar, TPS ini bakal menerima sekitar 6 ton sampah dari 17 RT setiap hari. Meski di sekeliling TPS tak ada permukiman, sekitar 200 meter dari gedung TPS itu ada sekolah.
Kondisi seperti ini terjadi hampir di semua TPS di Kota Tarakan. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tarakan Hariyanto mengatakan, sedikitnya ada 15 TPS di Tarakan, tetapi tak berjalan optimal. Hal itu membuat banyak sampah langsung dikirim ke TPA tanpa dipilah-pilah terlebih dahulu di tingkat rumah tangga atau kelurahan.
Akibatnya, setahun belakangan TPA Aki Babu, Tarakan, kelebihan beban. Sampah yang sebelumnya bisa ditimbun dan diratakan kini sampai menggunung. Sedikitnya 156 ton sampah masuk ke TPA tersebut dari 20 kelurahan di Tarakan. Kepala UPT TPA Aki Babu Abdul Muin mengatakan, tumpukan sampah itu sempat longsor dan berhamburan ke kebun warga.
Saat ini, Pemerintah Kota Tarakan tak bisa berbuat banyak. Sampah yang masuk ke TPA hanya ditata sedemikian rupa agar tak terjadi longsor. Puluhan pemulung di TPA ini seolah menjadi harapan. Mereka turut mengurangi sampah di TPA ini, seperti sampah plastik untuk dijual, sampah makanan untuk pakan babi, hingga mengumpulkan kardus dan kertas untuk dijual kembali.
Dari 15 TPS yang sudah ada, pemerintah setempat berusaha mengaktifkannya kembali agar tak semua sampah langsung masuk ke TPA. Selain itu, akan dibuat TPS baru di sejumlah kelurahan padat penduduk.
”Bertahap, yang mengusulkan ada kekurangan 12 unit TPS. Nanti akan direalisasikan bertahap, tergantung jumlah kepadatan penduduk,” kata Kepala DLH Kota Tarakan Hariyanto.
Selain TPS yang tak berjalan, pemerintah juga terlambat menyiapkan lahan baru untuk menggantikan TPA Aki Babu. Akibatnya, TPA baru belum tersedia saat TPA Aki Babu sudah kelebihan muatan. Dari penghitungan DLH Kota Tarakan, TPA Aki Babu hanya mampu menampung sampah sekitar delapan bulan saja terhitung sejak awal Oktober 2022.
”Tahun ini sudah mulai tahap pembangunan TPA baru di Juata Krikil. Lahan yang akan disiapkan 50 hektar. Sekitar 6 hektar insya Allah tahun depan bisa beroperasi,” ujar Wali Kota Tarakan Khairul.
Persoalan sampah ini bakal memuncak jika tak tertangani tepat waktu. Pasalnya, pada Mei 2022, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk Kota Tarakan 243.769 jiwa. Jumlah itu diproyeksikan akan bertambah pada 2023 menjadi 271.593 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tentu bakal berdampak terhadap bertambahnya produksi sampah warga.