Perubahan iklim membuat petani kian kesulitan menentukan musim tanam. Pemerintah ingatkan potensi gagal tanam.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Petani diingatkan agar tidak terkecoh dengan hujan yang terjadi beberapa kali dalam dua pekan terakhir di sejumlah wilayah Nusa Tenggara Timur. Kondisi tersebut tidak termasuk dalam kategori musim hujan sehingga petani belum diperbolehkan menanam di lahan tadah hujan. Jika dipaksakan, dapat berpotensi terjadi gagal tanam.
Hingga Jumat (14/10/2022) petang, sejumlah wilayah di NTT dilanda hujan dengan intensitas ringan hingga lebat, seperti di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Flores Timur Manggarai, dan Ngada. Di langit Kota Kupang, mendung bergelayut sepanjang hari.
Kepala Stasiun Meteorologi Kupang Agung Sudiono Abadi mengatakan, mulai Sabtu besok hingga dua hari ke depan, hujan dengan intensitas ringan hingga sedang masih berpotensi terjadi di Pulau Flores, Timor, Sumba, Kepulauan Solor, dan Kepulauan Alor. Di Pulau Rote dan Sabu, ada potensi hujan berintensitas ringan.
Menurut dia, potensi terjadinya hujan di NTT disebabkan posisi matahari saat ini bergerak menuju belahan bumi selatan sehingga menyebabkan sejumlah wilayah, termasuk NTT, berada pada masa transisi peralihan musim. Kondisi itu memicu pembentukan awan-awan konvektif.
Di sisi lain, suhu muka air laut juga tergolong hangat mulai dari 28 derajat celsius hingga 31 derajat celsius sehingga membuat tingginya proses penguapan. ”Kelembaban udara di lapis atas hingga bawah juga basah sehingga mendorong pembentukan awan hujan,” kata Agung. Beberapa faktor dimaksud menyebabkan terjadinya hujan.
Belum musim
Sementara itu, Kepala Stasiun Klimatologi Kupang Rahmattulloh Adji dalam saluran Youtube Pemprov NTT, mengatakan, saat ini NTT belum memasuki musim hujan.
Suatu wilayah dikatakan berada pada musim hujan jika curah hujan dalam 10 hari mencapai 50 milimeter, kemudian diikuti 20 hari kemudian. Dengan kata lain, dalam satu bulan, curah hujan mencapai 150 milimeter.
Curah hujan dalam beberapa pekan terakhir belum mencapai ukuran tersebut. Hujan yang terjadi saat ini merupakan peralihan cuaca dari musim kemarau ke musim hujan. Secara klimatologis, musim hujan berpotensi mulai terjadi pada akhir Oktober hingga awal November.
Oleh karena itu, Kepala Dinas Pertanian NTT Lecky F Koli mengingatkan para petani agar tidak buru-buru menanam padi atau jagung di lahan tadah hujan.
Terlebih lagi saat ini ketersediaan bibit dan pupuk juga terbatas.
Petani diminta bersabar menunggu hingga datangnya musim hujan sembari mengikuti informasi prakiraan musim dari lembaga berkompeten. Agar penyebaran informasi ini semakin luas, pihaknya akan menyiarkan lewat media massa.
Ia juga meyakini, petani memiliki hitungan sendiri mengenai musim tanam, menurut kearifan lokal mereka. Hitungan dimaksud sering kali tidak meleset.
Namun, jika tidak memperhatikan prakiraan musim, hal itu berpotensi terjadi gagal tanam. Petani akan rugi. ”Terlebih lagi saat ini ketersediaan bibit dan pupuk juga terbatas,” ujarnya.
Sejumlah petani mengaku semakin kesulitan menentukan musim tanam lantaran kondisi iklim yang terus berubah sebagai dampak dari pemanasan global.
Andreas Roy (70), petani di Pulau Solor, menuturkan, hingga 25 tahun silam, mereka biasanya menanam padi dan jagung di lahan tada hujan pada pertengahan Desember.
Namun, seiring waktu, kondisi itu berubah menjadi tidak menentu. ”Ada tahu di mana kami baru tanam mulai akhir Desember, kemudian awal Januari. Nah, tahun ini mulai November. Ini sangat membingungkan. Namun, yang pasti adalah hasil panen sudah berkurang jauh gara-gara kondisi musim sekarang,” ujarnya.