Sukses di Surabaya, Pameran Nostalgia Srimulat Akan Digelar di Kota Lain
Setelah sukses digelar di Surabaya, pameran Nostalgia Srimulat akan digelar di sejumlah kota lain, misalnya Surakarta, Jakarta, dan Semarang. Hal ini itu bertujuan memelihara memori kolektif ihwal perjalanan Srimulat.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Setelah sukses digelar di Surabaya, pameran Nostalgia Srimulat akan digelar di sejumlah kota lain, misalnya Surakarta, Jakarta, dan Semarang. Pameran yang digelar oleh Museum Gubug Wayang, Mojokerto, Jawa Timur, itu bertujuan memelihara memori kolektif mengenai perjalanan kelompok lawak legendaris Srimulat.
”Sedang kami upayakan pameran ini diadakan di kota-kota tempat Srimulat eksis, mungkin yang terdekat di Solo (Surakarta),” kata Direktur Museum Gubug Wayang Zura Nurja Ana di sela-sela pameran Nostalgia Srimulat di lantai dasar Alun-alun Surabaya dalam kompleks Balai Pemuda Surabaya, Jumat (14/10/2022).
Pameran Nostalgia Srimulat awalnya direncanakan berlangsung pada 22-30 September 2022. Namun, antusiasme masyarakat Surabaya menghadiri pameran itu ternyata amat tinggi.
Kehadiran publik untuk melihat memorabilia Srimulat berkisar 1.000-2.000 orang pada hari biasa. Sementara saat akhir pekan jumlah pengunjung bisa menembus 6.000 orang per hari. Inilah yang mendorong Museum Gubug Wayang, Srimulat, dan Pemerintah Kota Surabaya memperpanjang eksibisi sampai dengan 16 Oktober 2022.
Selain itu, untuk mengenang kelompok dagelan Mataram itu, Srimulat Surabaya juga mengadakan pementasan dengan lakon ”Salah Kamar” di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu (15/10/2022) pukul 19.00. Pameran dan pementasan itu sebagai upaya memelihara memori kolektif arek Suroboyo terhadap Srimulat, kelompok yang didirikan di Surakarta, tetapi mendapat ketenaran ketika pentas rutin di Surabaya.
Zura mengatakan, konsep pameran di luar Surabaya kemungkinan tidak akan jauh berbeda dengan yang sudah ditampilkan di ibu kota Jatim tersebut. Di Surabaya dipamerkan wayang boneka tokoh-tokoh Srimulat, naskah drama atau dagelan, poster, majalah, kostum, aksesori, alat musik, komik, kaset drama, foto, video, patung, dan karya instalasi.
”Intinya ingin mengenalkan lagi sekaligus nostalgia untuk masyarakat yang masih mengingat Srimulat,” katanya.
Zura menambahkan, pihaknya juga sedang mempertimbangkan untuk membangun museum khusus lawak, terutama Srimulat, sebagai sarana pendidikan dan pemajuan kebudayaan masyarakat. Lokasi museum itu kemungkinan di salah satu dari empat kota besar tempat eksistensi Srimulat, yakni Surakarta, Surabaya, Jakarta, dan Semarang.
Jurnalis senior Herry Gendut Janarto menambahkan, banyak masyarakat Indonesia yang menjadi saksi perjalanan Srimulat yang didirikan oleh pasangan Teguh Slamet Rahardjo (Kho Tjien Tiong) dan Raden Ayu Srimulat itu. ”Meski didirikan di Solo, sejak 1961 Teguh-Srimulat mengembangkan kelompok lawak ini dan mendapat ketenaran di THR (Taman Hiburan Rakyat) Surabaya yang kini sudah dirobohkan,” ujarnya.
Herry menambahkan, pameran Nostalgia Srimulat diharapkan dapat menggugah ingatan pengunjung tentang eksistensi kelompok lawak itu. Apalagi, keberadaan Srimulat telah menjadi acuan perkembangan grup-grup lawak lainnya yang juga terkenal, seperti Warkop DKI (Dono-Kasino-Indro) dan Kwartet Jaya (Edy Sud-Ateng-Ishak-Bagyo).
Di awal perjalanan, Teguh-Srimulat menamakan kelompoknya Gema Malam Srimulat yang pentas keliling daerah di Jateng dan Jatim. Menurut Herry, ketika itu, kelompok ini masih lebih banyak memainkan musik, terutama keroncong, daripada lawakan Mataram. Ketika di Surabaya, nama kelompok itu berganti menjadi Srimulat Review lalu Aneka Ria Srimulat dan mulai memperbanyak porsi lawakan daripada musiknya.
”Lawakan yang dibawakan dalam bahasa Jawa mulai bergeser ke bahasa Indonesia dan tetap lucu, tetap diterima, sehingga kelompok ini berkibar ketika pentas di Jakarta, Solo, dan Semarang,” ujar Herry, penulis buku Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi.
Herry juga menyebut, bagi banyak kalangan, lawakan Srimulat bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntunan. Hal ini karena ada falsalah-falsalah yang terbungkus dalam kekonyolan perilaku pelawak yang terus membuat terpingkal.
”Saya yakin terkadang sebagian dari kita bisa terhibur sendiri, tertawa, mengingat dagelan Srimulat. Saya juga sering menepis suntuk dengan mengingat kelucuan Srimulat,” katanya.
Untuk itu, menurut Herry, upaya mengenalkan dan membangkitkan nostalgia Srimulat di kota-kota selain Surabaya perlu diwujudkan. Di sanalah mungkin akan terbukti ungkapan Srimulat tak akan pernah tamat.
Intinya ingin mengenalkan lagi sekaligus nostalgia untuk masyarakat yang masih mengingat Srimulat. (Zura Nurja Ana)