Nyawa Sambung Srimulat
Sulit memetakan siapa saja yang masa hidupnya pernah ditemani dengan candaan ringan khas Srimulat. Perjalanan panjang dari lahir, mati suri, bangkit, hingga hilang ditelan putaran roda zaman melampaui puluhan dekade.
Sulit memetakan siapa saja yang masa hidupnya pernah ditemani dengan candaan ringan khas Srimulat. Perjalanan panjang dari lahir, mati suri, bangkit, hingga hilang ditelan putaran roda zaman melampaui puluhan dekade. Terdengar tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Karena sejatinya, bagi Srimulat, bukanlah hal yang mustahil.
Memang tidak mustahil. Setelah kisah reuni Srimulat naik layar melalui Finding Srimulat (2013), giliran perjuangan awal grup lawak ini dipaparkan lewat film Srimulat: Hil yang Mustahal - Babak Pertama. Film besutan sutradara Fajar Nugros ini mulai dimainkan di layar lebar sejak 19 Mei 2022.
Keberanian dan keuletan merupakan kunci lahirnya karya biopik ini. Nyaris hampir semua pentolan Srimulat di masa permulaan telah berpulang, bahkan yang masih hidup pun bisa terbilang sudah sepuh. Untuk itu, sejumlah aktor dan aktris pun disulap menjadi awak grup lawak yang bercokol di Taman Sriwedari, Solo, sejak era 1950-an.
Sosok Srimulat yang dihidupkan lagi pada babak pertama ini adalah Teguh (Rukman Rosadi), Djudjuk Djuariah (Erika Carlina), Timbul (Dimas Anggara), Asmuni (Teuku Rifnu WIkana), Basuki (Elang El Gibran), Gepeng (Bio One), dan Paul (Morgan Oey). Sementara sosok yang masih ada diperankan oleh para pemain muda, yakni Tessy (Erick Estrada), Ibnu Jamil (Tarsan), Zulfa Maharani (Nunung), dan Rohana (Naimma Aljufri).
Sejak kabar film ini dibuat dengan susunan pemain tersebut, banyak yang menduga-duga. Bahkan, angkatan simbah dan bapak-ibu khawatir karena tidak mudah membangkitkan karakter sejumlah sosok yang memiliki kekhasan masing-masing. Tentu, masih teringat film Warkop DKI atau Benyamin yang bereinkarnasi lewat aktor.
Meski sebagian milenial, bahkan generasi Z, menyebut film reinkarnasi tersebut tetap mampu mengocok perut. Itu pula yang dirasakan pada film Srimulat yang berdurasi 110 menit. Guyonan turun-temurun dengan formula nenek moyang yang rupanya manjur juga dilahap anak muda yang bisa jadi tumbuh dengan genre lawak kritis lewat para komika.
Mengutip dari buku bertajuk Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Sebuah Subkultur, melawak bagi Srimulat itu berjalan begitu saja. Mereka tidak merasa perlu membebani dirinya dengan naskah literer yang rumit. Bahkan, Srimulat enggan kecemplung dalam narasi sindiran terhadap situasi dan kondisi politik yang tengah ramai.
Walau sejenak pasti mereka-reka pesan kenapa Tarsan mengenakan seragam TNI? Atau munculnya Tessy sebagai waria atau tokoh majikan yang berkelakuan buruk.
Namun, itu dia yang menjadi konsepsi dan nilai dari seorang Teguh yang mendirikan Srimulat, dari nama mendiang istrinya. Teguh berpedoman canda tidak harus menyinggung pihak tertentu, bahkan berpotensi menyakiti. Nilai itu sepertinya terus dilanjutkan oleh para anggota Srimulat yang lain. Tanpa sadar mereka pun mengkritik dengan sangat halus. Khas orang Jawa.
Lawakan yang berulang dengan penggerak cerita yang merupakan tokoh batur atau pembantu rumah tangga ini nyatanya dinikmati masyarakat. Tidak ada konsep baru yang ditawarkan hingga Srimulat beralih ke layar kaca dan tiarap pada akhir 1989. Kebangkitannya sebagai Srimulat Reuni di layar kaca pada 1995 atas gagasan Djudjuk pun tetap mengantarkan lawakan dengan konsep serupa.
Sebagian gimik khas Srimulat, seperti pura-pura menampar, mata yang kecolok, teh kemasukan lalat, hingga serbet yang tiba-tiba malah menutup wajah majikan sampai saat ini masih awet diteruskan oleh pelawak yang bukan Srimulat, tapi tentu mengagumi kelompok ini. Celetukan asal milik Basuki dan gaya sok wibawa Gepeng yang mengubah namanya menjadi Fredi agar terlihat keren juga diadopsi pelawak kekinian.
Anak-anak muda yang menonton pun bisa terpingkal-pingkal melihatnya, bahkan ketika mendengar kata atau kalimat plesetan yang nyatanya otentik milik Srimulat.
Menariknya, para anak muda ini tidak akan serepot kakek-nenek atau ayah-ibunya ketika menonton. Tidak sibuk membandingkan. Mereka justru seperti nyawa sambung bagi Srimulat yang hidup lagi, tetap mampu tertawa walau bukan lagi sosok asli yang membawakan gojekan tersebut.
Munculnya Tarsan yang asli dan anak mendiang Gepeng, Tatang, yang beradu peran langsung dengan pemeran sosok Gepeng, cara lain merangkul anak muda bahwa masih ada Srimulat yang tersisa. Sekaligus nostalgia pada generasi pendahulu.
Fajar pun tidak main-main dalam memilih para pemain. Sederet aktor dan aktris ini ditempa dulu menjadi orang Jawa dengan mempelajari cara hidup dan filosofinya selama empat bulan. Sebab, mau tidak mau Srimulat identik dengan kebudayaan Jawa.
”Setelah berproses itu, mereka menjelma menjadi karakter-karakter Srimulat yang mereka perankan. Saya tidak pernah meminta mereka untuk melucu. Karakternya kemudian yang hidup dalam diri aktor-aktor itu. Dan menciptakan suasana kelucuan khas Srimulat,” ungkapnya.
Sepanjang film, nyaris semua dialog memang berbahasa Jawa. Sesuai dengan sejarah dan perjalanannya, para anggota Srimulat memang tidak fasih berbahasa Indonesia. Sekitar 1970-an, Teguh mulai memantapkan para anggotanya untuk bisa berbahasa Indonesia.
”Untuk bahasa Jawa, saya melatih dan membiasakan lidah mereka untuk melontarkan umpatan-umpatan khas Jawa setiap hari sebelum dan sesudah berlatih akting. Buat saya, jika lidah mereka lemes dalam melontarkan umpatan khas Jawa, tidak ada kata yang tidak bisa mereka ucapkan. Dan telinga Jawa saya, karena saya orang Yogya, menjaga dialek mereka sepanjang shooting,” tutur Fajar.
Baca juga :Ngeri-ngeri Sedap Jadi Orang Batak
Bertahun menyiapkan ini, Fajar cukup bersyukur mendapatkan dukungan ketika mencari lokasi shooting agar orisinalitas masa silam tetap tergambar. Proses pengambilan gambar hampir semuanya diambil di Kota Solo. Bahkan, latar Jakarta Tempo Dulu pun tetap dibangun di Kota Solo.
Masa depan
Setelah menyaksikan Srimulat: Hil yang Mustahal - Babak Pertama, regenerasi memang menjadi niscaya bagi sebuah nama besar. Srimulat yang kandas setelah Srimulat Reuni lebih terganjal karena regenerasi dan beralihnya para anggota Srimulat menekuni aksi di layar kaca.
Meski sejumlah nama seperti Timbul dan Basuki tetap berupaya memberi napas lanjutan bagi kesenian tradisional lewat Ketoprak Humor dan Ketoprak Jampi Stress yang ditayangkan stasiun televisi nasional.
Fajar pun bersedia menjadi sutradara dari film ini karena merasa memiliki kedekatan dengan Srimulat. ”Kelompok lawak ini menemani masa kecil dan masa remajaku,” ujar Fajar.
Jika berbicara regenerasi Srimulat saat ini, bisa saja. Namun, banyak penyesuaian yang perlu dilakukan dan menjadi tantangan tersendiri. Kehadiran Pak As, Mas Bas, Pak Timbul, hingga Gepeng yang fenomenal dalam wujud liyan ini tak sepenuhnya mengobati kangen generasi lama yang mengenal mereka lewat aksi panggung nyata yang penuh improvisasi.
Namun, bagi anak muda, perkenalan dengan Srimulat di tengah arus genre lawak yang didominasi lawakan kritis nyatanya menyegarkan. Terkadang, hanya ingin tertawa tanpa berpikir anu dan itu. Terkadang, cuma mau melihat saja aneh yang lucu, seperti Srimulat.