Penting, Keberadaan Tempat Khusus Anak dalam Kegiatan Massal
Dalam kegiatan massal yang melibatkan banyak orang, diharapkan ada tempat khusus untuk anak. Itu akan menjadi salah satu ruang aman bagi anak jika terjadi hal-hal tidak terduga dan tidak diinginkan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Dalam kegiatan massal yang melibatkan banyak orang, diharapkan selalu ada tempat khusus untuk anak. Tujuannya, menjadi salah satu ruang aman bagi anak jika terjadi hal-hal tidak terduga dan tidak diinginkan. Khusus Tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, penanganan trauma psikologis pada anak harus terus dilakukan.
Demikian dikatakan Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia Seto Mulyadi, Senin (10/10/2022), seusai mengunjungi anak-anak korban Tragedi Kanjuruhan yang dirawat di Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang. Ruang khusus anak itulah yang nanti, menurut Seto, bisa menjadi tempat rujukan penyelamatan anak jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
”Yang harus dicermati, ke depan, dalam peristiwa melibatkan massa dalam jumlah besar, mohon sarana prasarana betul-betul mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Sepak bola adalah acara keluarga, sekaligus juga hiburan dan kebersamaan. Maka harus ada tempat khusus untuk anak sehingga kalau terjadi hal tak terduga, nomor satu yang harus diselamatkan adalah anak,” katanya.
”Hari ini kami bersama LPA Jatim dan Kota Malang datang melihat kondisi anak-anak korban Tragedi Kanjuruhan. Kami lihat beberapa anak butuh perawatan intensif dan ada yang sudah bisa tersenyum lebar. Kami apresiasi tinggi ke pemerintah, baik provinsi maupun Kota Malang atas penanganan yang cepat, baik dalam pengobatan maupun perawatan,” kata Seto.
Anak-anak korban Tragedi Kanjuruhan tersebut, menurut Seto, butuh penanganan trauma psikologis. ”Trauma (fisik) jika tidak diobati akan menimbulkan cacat jangka panjang. Trauma psikologis jika tak diobati, juga bisa terbawa hingga dewasa. Itu sebabnya, peran penting dari pemerintah, masyarakat, dan semua pihak agar turut mendukung pemulihan kondisi korban tersebut,” katanya.
Beberapa bentuk trauma psikologis anak yang ditemui Seto, misalnya, saat ditanya apakah ke depan mereka mau menjadi pemain bola, anak-anak tersebut mengaku tidak ingin. ”Rata-rata anak-anak itu trauma. Salah satunya mengatakan tak mau jadi pemain bola. Mungkin bukan bolanya, tapi peristiwa di sekitarnya. Itu sebabnya, butuh dukungan dari keluarga, untuk berikan dukungan. Dengan ditunggu bundanya, itu yang utama. Secara perlahan, kondisi psikologisnya harus betul-betul dipulihkan,” kata Seto.
Saat ini, menurut Seto, fokus perhatian penanganan anak adalah pengobatan kesehatan anak. ”Berikutnya, membantu mengurangi trauma psikologis, dengan sikap yang tidak menyudutkan anak, misalnya menyalahkan mereka karena datang ke stadion. Hindari memberikan tekanan kepada anak, tapi besarkan hatinya untuk cepat pulih,” kata Seto.
Sementara itu, Wakil Direktur Pelayanan dan Keperawatan RSSA Malang Syaifullah Asmiragani mengatakan, hingga saat ini 11 orang masih dirawat. Empat di antaranya adalah anak-anak atau di bawah 18 tahun. Dua dirawat di intensive care unit (ICU) dan dua lainnya di high care unit (HCU).
”Saat ini, penanganan intensif untuk korban Tragedi Kanjuruhan terus dilakukan. Selain penanganan medis, juga dilakukan penanganan psikis. Ada satu yang masih dalam penanganan intensif karena sejak awal memang kondisinya belum membaik,” kata Syaifullah.
Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 terjadi seusai laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Saat itu, terjadi bentrokan suporter dengan aparat keamanan hingga terjadi penembakan gas air mata ke tribune penonton. Setidaknya 700-an orang terdampak dan 130 orang tewas. Hingga kini, polisi menetapkan enam tersangka yang dianggap paling bertanggung jawab atas tragedi tersebut.