Gangguan Stres Pascatrauma Keluhan Umum Korban Tragedi Kanjuruhan
Gangguan stres pascatrauma menjadi keluhan yang banyak dirasakan oleh korban Tragedi Kanjuruhan.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Post-traumatic stress disorder atau gangguan stres pascatrauma menjadi keluhan yang banyak dirasakan oleh korban Tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur. Keluhan-keluhan itu disampaikan ke posko trauma healing baik secara langsung maupun melalui hotline.
Sejauh ini ada beberapa posko trauma healing, salah satunya Posko Trauma Support Mobility yang berada di lantai satu Masjid AR Fachruddin Kampus Universitas Muhammadiah Malang (UMM). Setiap hari ada 3-5 klien trauma yang berkonsultasi ke tempat ini. Mereka tidak saja berasal dari Malang Raya, tetapi juga Pasuruan hingga Bekasi.
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Malang yang juga Dekan Fakultas Psikologi UMM, Muhammad Salis Yuniardi, mengatakan, hampir semua korban yang menjalani konseling ke posko mengarah ke post-traumatic stress disorder (PTSD).
”Mereka stres akibat kejadian traumatis di mana mereka melihat langsung peristiwa yang terjadi di stadion, mengalami langsung kejadian itu (tragedi yang memakan ratusan korban jiwa dan luka), sehingga kenangan itu sangat menghantui,” ujarnya, Senin (10/10/2022).
Dampak dari PTSD ini bermacam-macam, mulai dari sulit tidur, enggan makan, bahkan ada beberapa klien posko UMM yang histeris, tiba-tiba menangis, dan lari minta tolong. ”Tingkat stresnya tinggi sekali,” katanya.
Ada beberapa langkah untuk menangani korban stres pascatrauma, yakni melakukan intervensi tanggap bencana awal (psychological first aid/PFA).
”Kita dengarkan dulu karena mereka terlalu banyak beban, kita pancing sedikit akhirnya keluar semua beban. Setelah lebih lega, mereka kita beri relaksasi sehingga secara psikis dan psikologis bisa meredakan ketegangan sekaligus mencurahkan pendaman-pendaman yang masih tersisa,” katanya.
Setelah relaksasi, mereka diarahkan untuk berdoa sehingga pada akhirnya yang bersangkutan bisa ikhlas menerima keadaan. Langkah berikutnya berkaitan dengan pola pikir, bagaimana mereka bisa hidup damai dengan kenangan buruk itu. Sebab, peristiwa-peristiwa buruk semacam tragedi tidak mungkin dilupakan.
Menurut Salis, mereka yang mengalami stres akibat Tragedi Kanjuruhan bukan saja penonton yang kehilangan anggota keluarganya, melainkan juga pihak lain, termasuk petugas kesehatan yang kala itu berada di dalam stadion.
Dia mencontohkan, salah seorang klien merupakan petugas medis yang saat peristiwa terjadi gagal menyelamatkan seorang anak. Sang petugas medis itu pun merasa bersalah walaupun dari sisi keluhan fisik—akibat pukulan aparat dan suporter—berangsur membaik.
Keluhan terkait PTSD bisa hilang dalam waktu 10 hari sampai tiga pekan. Namun, ada juga yang cukup lama. ”Mereka juga butuh dukungan sosial,” ucapnya.
Posko di UMM tidak hanya melayani konseling terhadap mereka yang datang atau melalui hotline. Tim psikolog juga berkunjung ke rumah-rumah korban.
”Kemarin ada sembilan anak yang kami kunjungi. Dari jumlah itu, dua anak butuh rujukan psikolog. Anak gejalanya sama, semua mengalami arah ke PTSD, nangis, diam, tidak mau makan. Beberapa anak biasa-biasa saja. Hanya saja, saat terstimulus melihat video (peristiwa), ingat ayahnya meninggal, kesedihan mereka muncul lagi,” katanya.
Posko Trauma Support Mobility UMM bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Malang. Selain UMM, ada kampus lain, seperti Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Merdeka, dan Institut Agama Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Masalah lain adalah soal data. Dari 700-an korban (meninggal 131 orang dan sisanya luka), tidak semua menyertakan kondisi psikologis korban yang bersangkutan.
”Sekarang kami buat prioritas anak-anak, home visit. Kita kerja sama dengan Koordinator Wilayah Aremania, lembaga NU (Nahdlatul Ulama). Yang ada data anak-anak, semua kami kunjungi. Memang belum selesai karena jumlahnya banyak. Sementara untuk dewasa hanya yang butuh bantuan psikologis,” katanya.
MDS (19), salah seorang sukarelawan medis yang mengalami trauma pascatragedi, menuturkan, dirinya sulit melupakan ketika seorang anak kecil yang dia tolong di dalam stadion akhirnya mengembuskan napas terakhir. Hal itu membuatnya merasa bersalah.
Padahal, saat berupaya menolong, MDS juga sempat terluka yang membuat dirinya harus menjalani perawatan selama satu pekan di rumah sakit.
”Pada malam peristiwa itu, saya kritis dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Kanjuruhan, siang harinya saya pulang dan langsung dirujuk ke Rumah Sakit Unisma. Saya baru keluar dari rumah sakit Sabtu (8/10/2022) sore dan saat ini konseling,” ujarnya.
Menurut MDS, dirinya masih sering terbayang akan peristiwa yang terjadi awal Oktober lalu itu. Dia pun mengalami insomnia, baru bisa tidur dini hari, dari biasanya mulai terlelap pukul 22.00. Sementara dari sisi fisik, kepalanya masih sering pusing.