Koalisi Masyarakat Sipil: Gas Air Mata Ditembakkan Saat Eskalasi Massa Mulai Mereda
Gas air mata di Stadion Kanjuruhan ditembakkan pada saat eskalasi massa mulai melandai menjadi salah satu temuan awal Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Gas air mata yang ditembakkan petugas menjadi penyebab kepanikan penonton sehingga berujung pada jatuhnya ratusan korban jiwa dan luka dalam Tragedi Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. Padahal, saat itu eskalasi supoter yang turun ke lapangan mulai berkurang.
Demikian salah satu dari beberapa poin temuan awal hasil investigas Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil yang disampaikan dalam konferensi pers di Malang, Jawa Timur, Minggu (9/10/2022), oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, LBH Surabaya Pos Malang, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Lokataru.
”Ketika mulai banyak supoter turun, (mereka) sebenarnya sudah didorong mundur oleh aparat keamanan. Pada titik itu, kita melihat situasi sudah mulai terkendali. Namun, entah bagaimana di tribune selatan, saat suporter sudah berada di tribune, gas air mata ditembakkan,” kata Jauhar Kurniawan dari LBH Surabaya.
Keterangan saksi dan dokumentasi video yang sudah didalami oleh Koalisi Masyarakat Sipil, lanjut Jauhar, memberikan gambaran bahwa pada titik awal suporter Aremania turun ke lapangan tidak bertujuan untuk melakukan kekerasan. Namun, mereka hendak memberikan semangat dan ucapan terima kasih kepada pemain karena mereka telah bermain maksimal menghadapi Persebaya.
Gas air mata yang ditembakkan itu pun akhirnya menimbulkan kepanikan. Penonton berusaha lari keluar stadion sehingga berdesakan di tribune. Akibatnya, banyak yang terimpit dan sesak napas. ”Mestinya dalam eskalasi massa yang mulai mereda, aparat tidak perlu melakukan tembakan gas air mata,” ucapnya.
Koalisi Masyarakat Sipil juga melihat ada potensi pelanggaran Peraturan Kapolri soal Pengendalian Massa atau Pengerahan Kekuatan dan Pengendalian Huru Hara. Penggunaan gas merupakan tahapan ketiga (peraturan lain, bahkan tahapan 4) yang mesti didahului imbauan secara lisan, pendorongan massa, penembahan water cannon, baru gas air mata.
Namun, fakta menunjukkan, imbauan secara lisan dan penggunaan water cannon itu tidak dilaksanakan. Petugas serta-merta langsung menggunakan gas air mata sebagai pengendalian massa.
Andi Muhammad Rizaldi dari Kontras menambahkan, ada 12 temuan awal terkait dengan peristiwa ini. Beberapa di antaranya adalah pengerahan aparat keamanan yang membawa gas air mata dilakukan pada pertengahan babak kedua. Padahal, situasi saat itu tidak ada ancaman ataupun gangguan keamanan.
Suporter turun untuk memberikan dorongan motivasi. Namun, penonton yang masuk ke lapangan itu direspons berlebihan oleh aparat. Akibatnya, tindak kekerasan itu membuat suporter lain ikut masuk ke dalam lapangan. Peristiwa kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aparat kepolisian, tetapi juga anggota TNI.
Penembakan gas air mata tidak hanya dilakukan di area lapangan, tetapi juga ke berbagai sisi tribune. Saat penembakan gas air mata dan suporter berusaha keluar, tim Koalisi Masyarakat Sipil menemukan terkuncinya pintu yang menyebabkan mereka tidak bisa keluar. Saat mereka terjebak, belum terlihat pertolongan yang dilakukan segera oleh petugas dan panitia pelaksana.
”Penembakan gas air mata tak hanya terjadi di dalam stadion, tetapi juga di luar stadion,” katanya. Adapun efek gas air mata berdampak buruk pada kesehatan, bukan hanya jarak pandang, melainkan juga gangguan saluran pernapasan.
Daywin Prayogo, tim advokasi Lokataru Foundation, mengatakan, sampai hari ini pihaknya tidak menemukan proses rekonstruksi kasus yang melibatkan korban. ”Kita masih bertanya-tanya, sebagian saksi juga bertanya-tanya, apa yang terjadi pada keluarga mereka ataupun dirinya,” katanya.
Prayogo menyinggung soal data spesifik, utamanya terkait korban meninggal. Jika ada yang meninggal tidak wajar, polisi berhak meminta otopsi jenazah korban. Namun, sampai sekarang pihaknya belum mendapatkan jawaban terkait soal otopsi itu. ”Bahkan, soal penyebab kematian saja koalisi belum mendapatkan informasi cukup detail mengenai apa yang terjadi,” katanya lagi.
Demikian halnya soal proses pengaburan fakta. Ada beberapa orang ”diamankan” lebih dulu terkait dengan informasi yang mereka ketahui, termasuk yang berusaha mengunggah ke media sosial. Ini dinilai bisa berdampak pada keraguan orang untuk mengungkapkan kebenaran.
Daniel Alexander Siagian dari LBH Surabaya Pos Malang menilai, tragedi Kanjuruhan merupakan dugaan kejahatan secara terstruktur, tidak hanya melibatkan pelaku lapangan. Pihaknya sudah turun ke lapangan sepekan terakhir, menginventarisasi dan berfokus pada perspektif korban. ”Ketemu saksi mata, keluarga korban, dengan kondisi yang masih trauma. Temuan awal ini akan di-update,” katanya.
Peristiwa Kanjuruhan, menurut Koalisi Masyarakat Sipil, tidak hanya melihatkan aktor lapangam, tetapi juga ada aktor lain. Ada level lain yang juga harus bertanggung jawab. Seharusnya proses hukum yang berjalan juga diarahkan pada level yang paling tinggi.
Soal proses hukum pidana yang dilakukan pada anggota polisi, menurut Andi, idealnya dilakukan oleh suatu tim independen. Proses hukum yang dilakukan polisi terhadap polisi berpotensi bias terkait fakta.
Begitu pula terkait indikasi adanya intimidasi pada sejumlah saksi dan korban, hal itu berpotensi menebar ketakutan bagi saksi dan korban itu sendiri.
”Kami dorong pihak tertentu untuk menghentikan intimidasi itu karena ada berbagai fakta penting untuk diungkap ke publik. Dan, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) harus aktif memberikan rasa aman kepada saksi dan korban,” katanya.
Soal pelaku di lapangan yang sudah menjadi tersangka, koalisi menduga ada aktor-aktor lain yang punya kewenangan lebih tinggi dalam melakukan perintah soal penggunaan gas air mata. Pasalnya, tidak mungkin aparat setingkat komandan batalyon atau kepala unit dengan berani melakukan perintah menembakkan gas air mata di dalam kerumunan banyak orang.