Sistem drainase yang buruk dan pompanisasi yang tidak optimal menjadi penyebab banjir di Palembang, Kamis (6/10/2022). Masalah ini akan ditindaklanjuti untuk mengantisipasi banjir yang masih menghantui Kota Palembang.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sistem drainase yang buruk dan pompanisasi yang tidak optimal menjadi penyebab banjir di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (6/10/2022). Masalah ini akan ditindaklanjuti untuk mengantisipasi banjir yang masih menghantui Kota Palembang sampai akhir tahun mendatang.Wali Kota Palembang Harnojoyo, dalam apel kesiapsiagaan banjir, Jumat (7/10/2022), mengatakan, banjir yang terjadi di Palembang beberapa waktu lalu disebabkan sistem drainase yang kurang baik. Masih banyak saluran yang tertutupi bangunan sehingga air tidak mengalir optimal.Kondisi ini diperparah dengan sampah yang dibuang ke sungai sehingga menyebabkan sedimentasi. Tumpukan sampah juga menyumbat saluran air. Edukasi kepada masyarakat juga perlu dilakukan lebih intensif sehingga ada kesadaran untuk tidak membuang sampah ke sungai lagi.Di sisi lain, menurut Harnojoyo, penanggulangan banjir juga terkendala topografi Kota Palembang yang cenderung datar sehingga ketika hujan turun, air lambat mengalir. Karena itu, risiko genangan banjir di Palembang sangatlah besar.
”Kemarin, banjir juga disebabkan pasang sungai dan intensitas hujan yang sangat tinggi, bahkan nomor dua tertinggi dalam 30 tahun terakhir,” ucap Harnojoyo.
Untuk menanggulangi permasalahan itu, sistem pompanisasi yang baik adalah syarat mutlak. Permasalahnya, kini, ujar Harnojoyo, jumlah pompa bergerak belum ideal.
Jika pompa bergerak milik seluruh instansi digabungkan, hanya tersedia 10 unit pompa di Palembang dengan kapasitas 250-500 liter per detik. ”Karena itu, saya meminta jajaran untuk menghitung jumlah pompa yang dibutuhkan, dan harus disediakan dalam waktu dekat yang dananya diperoleh dari biaya tidak terduga,” ucap Harnojoyo.
Dengan sistem pompanisasi yang optimal, banjir di Palembang bisa cepat surut. Air yang tergenang dapat dialirkan menggunakan pompa keenam kolam retensi yang tersedia. Enam kolam retensi itu sudah terhubung ke rumah pompa bendung berkapasitas 36.000 liter per detik. Dari rumah pompa itu, air bisa langsung bisa dialirkan ke Sungai Musi. Skema ini diharapkan menjadi solusi dalam jangka pendek untuk menanggulangi banjir di Palembang.
Kepala Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Palembang Marlina Sylvia mengakui, permasalahan drainase masih menjadi pekerjaan rumah yang terus dibenahi. Sudah ada 248 bangunan yang ditertibkan karena dinilai menutup saluran air. Namun, masih banyak warga yang bandel melakukan pembangunan di atas saluran air. ”Kami harus melakukan pendekatan terlebih dahulu sebelum membongkar bangunan. Terkadang banyak yang mengeluh banjir, tapi mereka tidak mau membongkar bangunan yang menutupi saluran,” ucap Marlina.
Selain itu, banyak pengembang perumahan yang melakukan penimbunan rawa tanpa membangun kolam retensi sehingga banjir pun tidak terhindarkan. Jika menilik pada aturan, setiap penimbunan di atas 5.000 meter persegi harus disediakan lahan untuk pembangunan kolam retensi. Namun, Marlina menyebut, masih banyak pengembang yang melanggar.
Di sisi lain, Marlina berpendapat, restorasi sungai juga merupakan upaya mitigasi terhadap risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir. Dengan sungai yang semakin dalam dan lebar, daya tampung air akan semakin besar. Risiko banjir pun bisa diminimalkan.Direstorasinya Sungai Sekanak membuat area sub-daerah aliran sungai (DAS) Sekanak, yang dulunya daerah kritis, kini kondisinya membaik. Dari 21 sub-DAS yang ada di Palembang, masih ada dua sub-DAS yang kondisinya kritis, yakni di Sungai Bendung dan Sungai Buah. Ke depan, akan semakin banyak sungai yang direstorasi sehingga kondisinya semakin baik. Melihat risiko banjir yang masih membayangi, pihaknya telah menyiapkan sekitar 497 orang yang akan bersiaga dalam menanggulangi risiko banjir di Palembang. Mereka akan bertugas untuk mengangkat sumbatan dan juga melakukan penanggulangan jika terjadi banjir di Palembang.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Yuliusman berpendapat, banjir yang terjadi di Palembang adalah akumulasi dari berbagai bentuk kelalaian yang sudah dilakukan pemerintah yang akhirnya berakhir pada bencana.Hal ini terlihat dari tidak adanya progres yang signifikan sebagai bentuk upaya penanggulangan bencana. Misalnya, masih ada saja penimbunan yang terjadi di atas rawa konservasi dan tidak memadainya ruang terbuka hijau, yakni 30 persen dari total luas lahan di Palembang, serta belum tersedianya kapasitas drainase yang memadai. Yuliusman mencontohkan adanya hotel yang dibangun di atas kawasan rawa konservasi yang tentu berdampak pada berkurangnya daerah resapan. ”Kondisi ini tentu akan sangat membahayakan mengingat Palembang merupakan daerah hilir tempat bertemunya beberapa sungai besar,” ucapnya.