Pemkot Palembang Dinilai Lalai dalam Mengantisipasi Bencana
PTUN Palembang mengabulkan seluruh gugatan dari Walhi dan perwakilan masyarakat yang merasa dirugikan dalam musibah banjir di Palembang, 25 Desember 2021. Dalam bencana itu, dua warga Palembang meninggal.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
RHAMA PURNA JATI
Banjir merendam ruas Jalan Basuki Rahmat, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (25/12/2021). Banjir disebabkan oleh meningkatnya curah hujan dan meluapnya anak Sungai Musi.
PALEMBANG, KOMPAS — Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang mengabulkan gugatan tindakan faktual Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan perwakilan masyarakat korban banjir terhadap Wali Kota Palembang yang dianggap tidak melaksanakan Rencana Tata Ruang Wilayah sesuai dengan peraturan daerah. Kelalaian ini menyebabkan banjir besar pada Sabtu (25/12/2021) hingga menelan dua korban jiwa. Ini adalah gugatan tindakan faktual dengan isu lingkungan pertama yang dimenangkan oleh pengadilan.
”Dengan putusan ini, diharapkan masyarakat tidak lagi ragu untuk menggugat pemerintah ketika merasa dirugikan atas sebuah peristiwa,” ujar Yusri Arafat dari Tim Advokasi Korban Banjir Palembang selaku kuasa hukum penggugat, Selasa (26/7/2022).
Dalam amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palembang yang diterbitkan pada Rabu (20/7/2022), majelis hakim yang diketuai Fitri Wahyuningtyas mengabulkan seluruh gugatan dari penggugat, yakni organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan tiga warga Palembang yang merasa dirugikan akibat banjir yang terjadi pada Sabtu (25/12/2021). Adapun eksepsi dari tergugat, yakni Wali Kota Palembang, tidak diterima sepenuhnya.
Majelis hakim menyatakan tergugat tidak melaksanakan Rencana Tata Ruang Wilayah sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palembang tahun 2012-2023. Kelalaian itu terlihat dari tidak tersedianya ruang terbuka hijau, tidak mengembalikan fungsi rawa konservasi, tidak menyediakan kolam retensi, dan tidak menyediakan drainase yang memadai.
Selain itu, pemkot juga dianggap tidak menyediakan tempat pembuangan sampah yang layak di setiap kelurahan serta kurangnya penanganan sampah yang mengakibatkan banjir. Hakim menilai, perbuatan ini adalah perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Banjir merendam kawasan permukiman penduduk di Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Kemuning, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (25/12/2021). Banjir disebabkan oleh meningkatnya intensitas curah hujan dan pasangnya air sungai.
Selain itu, majelis hakim menilai pemkot tidak melakukan upaya penanggulangan banjir dalam situasi terdapat potensi bencana sehingga menyebabkan telantarnya korban banjir hingga merenggut korban jiwa.
Atas kesalahannya itu, pemkot diwajibkan untuk menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) seluas 30 persen dari luas wilayah kota Palembang serta mengembalikan fungsi rawa konservasi seluas 2.106,13 hektar di wilayah kota Palembang sebagai fungsi pengendalian banjir.
Kondisi ini tentu akan sangat membahayakan mengingat Palembang merupakan daerah hilir tempat bertemunya beberapa sungai besar. (Yuliusuman)
Pemkot juga berkewajiban untuk menyediakan kolam retensi dan drainase yang memadai sebagai fungsi pengendalian banjir. Sarana itu meliputi saluran primer, sekunder, dan tersier serta terhubung dengan kolam retensi dan masing-masing daerah aliran sungai.
Selain itu, pemkot juga diwajibkan untuk menyediakan tempat pengelolaan sampah yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan air sebagai fungsi pengendalian banjir. Hakim juga mewajibkan pemkot untuk menyediakan posko bencana banjir di lokasi terdampak banjir serta melakukan kesiapsiagaan dan peringatan dini.
Yusri menyatakan keputusan ini menjadi titik terang bagi masyarakat Palembang untuk tidak segan menggugat pemerintah jika dinilai tidak melakukan tugasnya dengan benar. ”Perkara ini adalah gugatan tindakan faktual pertama di Indonesia yang mengangkat isu lingkungan,” ucapnya.
Gugatan kepada pemerintah perlu dilayangkan karena bencana yang terjadi pada Sabtu (25/12/2021) sudah sangat meresahkan, bahkan sampai menimbulkan dua korban jiwa. ”Hal ini harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera berbenah,” ucapnya.
Sampai saat ini, ujar Yusri, pihaknya masih menunggu langkah hukum dari pihak tergugat apakah mengajukan banding atau tidak. Hakim memberikan waktu hingga 8 Agustus 2022 bagi kedua belah pihak untuk menentukan langkah hukum lanjutan.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Yuliusman berpendapat, gugatan ini adalah akumulasi dari berbagai bentuk kelalaian yang sudah dilakukan pemerintah yang akhirnya berakhir pada bencana yang menelan korban jiwa.
Hal ini terlihat dari tidak adanya progres yang signifikan sebagai bentuk upaya penanggulangan bencana. Misalnya, masih ada saja penimbunan yang terjadi di atas rawa konservasi dan tidak memadainya RTH, yakni 30 persen dari total luas lahan di Palembang, serta belum tersedianya kapasitas drainase yang memadai.
Seorang warga membantu mendorong mobil yang mogok akibat banjir di Jalan R Soekamto, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (25/12/2021). Banjir disebabkan intensitas hujan yang tinggi dan pasangnya air sungai.
Yuliusman mencontohkan adanya hotel yang dibangun di atas kawasan rawa konservasi yang tentu berdampak pada berkurangnya daerah serapan. ”Kondisi ini tentu akan sangat membahayakan mengingat Palembang merupakan daerah hilir tempat bertemunya beberapa sungai besar,” ucapnya.
Putusan ini, ujar Yuliusman, diharapkan bisa menjadi peringatan bagi Pemerintah Kota Palembang untuk lebih bijak dalam membuat kebijakan utamanya yang berkaitan dengan pembangunan dan mengikuti RTRW yang sudah ditetapkan. Hasil putusan ini juga akan diberikan kepada DPRD Kota Palembang agar mereka bisa mengawasi kinerja pemerintah lebih ketat sehingga risiko bencana ekologis bisa dihindari.
Menanggapi putusan ini, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Palembang Ahmad Bastari Yusak mengatakan, putusan yang dikeluarkan oleh PTUN adalah program yang sedang dijalankan sampai program RTRW kota Palembang hingga 2032.
Untuk RTH, misalnya, dari 30 persen yang ditargetkan, sudah berjalan sekitar 14 persen untuk publik dan 10 persen untuk privat. ”Tinggal 6 persen lagi ditargetkan selesai dalam 10 tahun ke depan,” ucapnya.
Pembenahan drainase
Adapun kolam retensi terus dibangun dan jumlahnya terus bertambah dari 16 unit pada tahun 2013 menjadi 48 unit saat ini. Memang jumlah ini belum ideal karena keterbatasan anggaran dan ketersediaan lahan. Pembenahan drainase juga dilakukan dengan menertibkan bangunan yang menutup saluran air.
Pada tahun ini saja sudah ada 200 bangunan yang dibongkar karena menutup drainase. ”Untuk melakukan itu tentu harus ada sosialisasi dan tindakan secara persuasif untuk menghindari konflik,” kata Ahmad.
Terkait bencana yang terjadi pada Sabtu (25/12/2021), banjir itu merupakan dampak dari tingginya curah hujan yang terjadi secara merata di seluruh Sumsel yang menyebabkan peningkatan debit air di kawasan hulu Sungai Musi.
Kondisi ini diperparah dengan pasangnya air laut. ”Sebagai daerah cekungan, Palembang tentu menerima dampak yang paling berat,” ucapnya.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petugas kebersihan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Palembang membersihkan aliran Sungai Bendung di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (24/5/2022). Pembersihan sungai rutin dilakukan untuk meminimalkan risiko banjir.
Meskipun begitu, pemerintah terus berupaya untuk menangani banjir dengan mengoptimalkan pompa yang ada sehingga luapan air bisa surut tidak lebih dari dua hari.
Menurut Ahmad, penanganan banjir di Palembang bukanlah tugas pemerintah semata, tetapi butuh kontribusi dari semua pihak. ”Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kami butuh peran dari semua pihak agar bencana banjir lalu tidak terulang lagi,” ujarnya.