Sejumlah kalangan di Tarakan tergabung dalam sebuah komunitas pecinta sejarah. Meski tak berlatar pendidikan sejarah atau arkeologi, mereka turut berkontribusi dalam pendataan, penelitian, dan pengarsipan sejarah lokal.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Sejumlah kalangan di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, tergabung dalam sebuah komunitas pecinta sejarah. Meski tak berlatar pendidikan sejarah atau arkeologi, mereka turut berkontribusi dalam pendataan, penelitian, dan pengarsipan sejarah lokal di ujung utara Pulau Kalimantan itu.
Sekitar 10 tahun silam, saat masih bekerja di sebuah hotel, Ronalsyah heran mengapa banyak turis dari Jepang dan Australia wara-wiri ke Kota Tarakan. Pertanyaan itu mulai terjawab satu per satu setelah ia memandu para warga asing itu ke sejumlah tempat. Salah satu yang berkesan, ia mendampingi Garth Pratten (49), seorang profesor sejarah dari Strategic and Defence Studies Centre di Australian National University.
Ronal, sapaan akrab Ronalsyah, mengantar Garth yang berbekal sebuah peta lama ke sejumlah tempat di Kota Tarakan. Ternyata sejarawan itu sedang meneliti tentang sejarah perang dunia II di Kota Tarakan. Garth bercerita kepada Ronal, Kota Tarakan pernah menjadi tempat perang yang menewaskan banyak tentara Australia saat melawan tentara Jepang dalam Perang Dunia II.
Dari sana, hubungan Garth dan Ronal terjalin baik. Dari sana pula, ketertarikan mengenai sejarah Perang Dunia II di Kota Tarakan timbul. Belakangan, Ronal bergabung dengan komunitas Tarakan Tempo Doeloe, komunitas yang fokus mengenai berbagai isu sejarah lokal di Tarakan. Kini, Ronal menjabat sebagai Koordinator Divisi Edukasi di komunitas itu.
Di komunitas itu, Ronal bersama puluhan kawannya melakukan berbagai kegiatan. Salah satunya, menggali informasi dari sisa perang dunia II yang ditemukan warga atau komunitasnya di Kota Tarakan. Terakhir, komunitasnya bersama sejumlah instansi pemerintah menemukan sebuah rangka besi lonjong di Kelurahan Juata Kerikil. Kondisi benda tersebut sudah berkarat dan penyok.
Temuan dan sejarah itu cerminan. Itu bisa menjadi bahan belajar bagi kita di masa kini bahwa peperangan itu akibatnya sangat menyakitkan dan melahirkan kerusakan serta korban jiwa.
Berkat bantuan Garth dan mencari sejumlah sumber, ia menyimpulkan kemungkinan itu adalah bagian dari pesawat tempur milik tentara Australia. Dalam catatan Angkatan Udara Australia, itu merupakan drop tank, tempat penyimpanan bahan bakar eksternal pesawat. Temuan dan informasi itu kemudian dibagikan melalui media sosial untuk menjadi informasi alternatif bagi warga.
Ronal dan kawan-kawannya di komunitas Tarakan Tempo Doeloe juga menyerahkan kepada pemerintah sejumlah temuan warga atau komunitasnya yang diduga benda cagar budaya. Tak hanya itu, mereka juga memberi informasi awal dari penelusuran mereka secara mandiri yang berasal dari sejumlah literatur.
Ronal juga mendapat sejumlah peta lama Kota Tarakan dari Garth saat beberapa kali meneliti di Tarakan. Peta itu kemudian ia sumbangkan ke Museum Minyak dan Perang Dunia II Kota Tarakan. Ia berharap peta itu bisa menjadi informasi dan bahan belajar bagi publik. Lantas, apa pentingnya sejarah dan temuan-temuan itu bagi masyarakat saat ini?
“Temuan dan sejarah itu cerminan. Itu bisa menjadi bahan belajar bagi kita di masa kini bahwa peperangan itu akibatnya sangat menyakitkan dan melahirkan kerusakan serta korban jiwa. Jangan sampai ada lagi peperangan di Tarakan dan dunia,” ujar pria 39 tahun itu, akhir September 2022.
Pendidikan alternatif
Ronal dan sejumlah kawan-kawannya di komunitas Tarakan Tempo Doeloe dalam waktu dekat akan menggelar program sinema. Berkonsep layar tancep, mereka akan menggelar pemutaran film bagi warga Tarakan bertema sejarah. Program yang dibiayai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi itu sedang berlangsung hingga Agustus 2023 kelak.
Program itu semacam ruang pendidikan alternatif bagi warga untuk mengetahui identitas dan sejarah Kota Tarakan. Di luar program itu, Ronal punya impian untuk menulis buku tentang pengalamannya menemani sejumlah peneliti dan keluarga tentara asing yang gugur dalam perang di Tarakan. Ia berharap itu bisa menjadi semacam cerita alternatif sejarah di Tarakan.
“Saya masih kesulitan untuk menulis panjang. Ingin sekali membukukan itu,” katanya.
Selain Komunitas Tarakan Tempo Doeloe, sejumlah pemuda di Tarakan juga turut meramaikan wacana sejarah lokal di Tarakan. Salah satunya, beberapa anggota Oi, organisasi kemasyarakatan yang dibentuk oleh pengagum musisi Iwan Fals. Mereka menilai Kota Tarakan laiknya museum itu sendiri.
Sebab, Kota Tarakan punya sejarah panjang mengenai perminyakan. Eksplorasi minyak yang dimulai tahun 1896 oleh Pemerintah Hindia Belanda turut membentuk identitas Kota Tarakan saat ini. Selain itu, Tarakan menjadi titik awal penaklukan Jepang untuk menguasai Hindia Belanda pada Januari 1942 dalam Perang Dunia II.
Sejumlah anggota Oi Kota Tarakan turut juga mengulik naskah kuno dari berbagai sumber, termasuk laporan intelejen Australia yang sudah dibuka ke publik. Mereka kerap melakukan diskusi kecil dan penelusuran tempat bersejarah di Kota Tarakan. Selain itu, mereka punya impian agar Tarakan bisa menjadi kota dengan wisata sejarah yang unik.
“Akan tetapi itu belum digarap optimal,” ujar Che Ageng (39), Ketua Oi Tarakan.
Abdul Salam yang menjabat Kepala Bidang Sejarah di Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kota Tarakan merasa gerakan para pecinta sejarah dan anak muda itu membantu dalam pencarian informasi awal bagi temuan-temuan benda bersejarah di Kota Tarakan. Informasi itu penting sebagai pendataan jika kelak dilakukan penelitian lebih lanjut.
Bahkan, para pemuda itu kerap melakukan kegiatan sosial membersihkan berbagai situs peninggalan sejarah yang ada. Itu amat membantu pemerintah lantaran terbatasnya juru pelihara untuk situs-situs tersebut. Energi para pehobi sejarah dan anak muda itu juga menjadi penyemangat bagi pemerintah untuk membenahi pengelolaan peninggalan sejarah di Kota Tarakan.
Pemerintah Provinsi Kaltara dan Kota Tarakan sudah menganggarkan Rp 10 miliar untuk program kontrak tahun jamak. Itu akan digunakan untuk pembenahan museum sejarah yang saat ini belum ditata proporsional. Dana itu juga akan digunakan untuk melakukan pelatihan menulis sejarah bagi para pehobi agar bisa juga berkontribusi dalam menuliskan wacana sejarah lokal di Tarakan.
“Permasalahannya, saat ini banyak yang hanya fokus di sejarah Perang Dunia II. Itu penting untuk melengkapi sejarah lokal, tetapi kami juga berharap ada alternatif sejarah lain yang bisa ditulis untuk menghubungkan nilai nasionalisme dan sejarah lain di Kota Tarakan,” ujar Abdul.
Kendati gerakan para pemuda dan pehobi itu masih belum menelurkan buku untuk melengkapi sejarah lokal, setidaknya Kota Tarakan memiliki orang-orang yang peduli terhadap narasi tempat tinggalnya. Energi mereka seolah menjadi bahan bakar untuk Kota Tarakan mengidentifikasi dirinya sendiri. Dari mereka, siapa saja bisa belajar bahwa masa silam bisa menjadi tempat refleksi dan belajar.