Morotai, Mutiara Perang Dunia II di Bibir Pasifik
Morotai menjadi saksi pertempuran sengit Perang Dunia II. Kini, keberadaannya masih diminati banyak wisatawan dalam dan luar negeri.
Menghadap langsung ke Samudera Pasifik, Pulau Morotai di Maluku Utara menjadi saksi bisu sengitnya pertempuran Sekutu dengan Jepang pada 78 tahun silam. Morotai menjadi pangkalan operasi Sekutu memperebutkan Filipina dalam Perang Dunia II.
Kini, sisa-sisa peninggalan perang itu masih ada. Tidak sulit menemukan artefaknya di pulau seluas 2.337 kilometer persegi itu. Keberadaannya ada hutan hingga dasar lautan. Sebagian tertata di museum.
Salah satu lokasinya di Army Dock, pantai menawan di sisi barat daya Pulau Morotai. Letaknya dekat dari Daruba, Ibu Kota Kabupaten Pulau Morotai.
Mahari bersinar terik, Sabtu (30/7/2022), saat Mulyadi (45) memungut serpihan berwarna coklat kehitaman. Keberadaannya tersebar bercampur pecahan karang dan kulit kerang di bibir pantai Army Dock di Desa Darame-Pandanga, Kecamatan Morotai Selatan. Diusapnya dengan ibu jari permukaan benda bertekstur padat yang sekilas mirip besi tua seukuran korek api itu.
Dahinya mengeryit sebelum akhirnya yakin bahwa yang dia pegang merupakan besi. Namun dia belum bisa memastikan sisa benda apa. Dia menduga, itu adalah serpihan barang sisa perang.
“Iya, ini besi. Bukan batu. Bentuknya berbeda. Juga lebih berat,” ucapnya.
Lihat juga : Pesona Pulau dan Bawah Laut Morotai
Meski beberapa kali mengunjungi pantai itu, baru kali ini warga Galela, Kabupaten Halmahera Utara, itu mencermati lebih detil hamparan pantai di hadapannya. Mungkin, karena sudah mengenal wilayah sehingga sebelumnya dia tidak lagi memerhatikan hal-hal kecil lebih detil.
Namun, dia mengenali beberapa titik penting yang menjadi sentral saat Perang Pasifik pecah, salah satunya Pulau Zum-zum di seberang Army Duck.
“Kalau di Zum-zum ada patung jenderal,” ucapnya.
Jendral yang dimaksud Mulyadi adalah Douglas MacArthur, panglima perang Pasifik Amerika, yang ternama. Selama di Morotai, Macarthur bermukim di pulau kecil di seberang pantai. Dulu, dari Zum-zum sampai ke daratan Morotai dihubungkan sebuah jembatan.
Serpihan besi yang bertebaran di pantai Army Dock, menurut pendiri museum swadaya Perang Dunia II “Hilang Nampak Kembali” Muhlis Eso, merupakan sisa-sisa jembatan yang penghubung itu. Rupa jembatan tidak terlihat lagi karena hancur terdampak perang.
Selain MacArthur yang terkenal dengan cangklong rokoknya, tokoh militer kesohor lainnya kala itu adalah Marsekal Sir Thomas Albert Blamey, Panglima Militer Australia. Keduanya memimpin 57.000 tentara Sekutu saat tiba di Morotai pada September 1944.
“Saat itu, jumlah tentara Jepang tinggal 500 orang setelah 10.000 orang yang lain ditarik ke negara asal,” tutur Muhlis.
Army Dock bukan satu-satunya obyek wisata sejarah yang banyak dikunjungi wisatawan. Sejumlah lokasi yang banyak dituju, antara lain Goa Air Kaca yang sering digunakan Mac Arthur untuk mandi, spot selam Wreck di Desa Wawama yang banyak terdapat pesawat dan kendaraan tempur di kedalaman laut.
Selain itu, ada Tanjung Gorango, Air Terjun Raja dan Air Terjun Nakamura, hingga lapangan terbang Leo Wattimena atau Bandara Oti, dan Museum Perang Dunia II dan Trikora yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2012.
Menurut Muhlis bukan hanya wisatawan domestik yang banyak berkunjung ke Morotai tetapi juga wisatawan asing. Bahkan, banyak wisatawan mancanegara menjadikan Morotai sebagai tujuan utama berwisata ke Indonesia.
Usai dari Morotai mereka baru akan mengunjungi obyek wisata lain di nusantara. Penerbangan langsung dari Ternate, ibu kota Maluku Utara, sedikit banyak membantu aksesibilitas menuju Morotai.
Baca juga : Ke Morotai Aku Kan Kembali
Denyut pariwisata di Morotai juga tidak terganggu sepenuhnya oleh pandemi Covid-19. Mereka tetap datang meski jumlahnya berkurang dari kondisi normal.
Muhlis menuturkan, September mendatang juga ada rombongan wisatawan asal Jakarta yang akan datang. Mereka membawa belasan mobil jip tua dan berencana napak tilas di pulau berpenduduk hampir 74.500 jiwa itu.
“Mereka sudah memberitahu saya untuk datang kemari,” katanya.
Sejauh ini, tidak sedikit pula wisatawan yang menyempatkan diri melihat koleksi museum miliknya. Di rumahnya di Desa Joubela, Kecamatan Morotai Selatan, Muhlis menyimpan ribuan sisa-sisa peninggalan perang dunia II, mulai dari dogtag nama-nama tentara sekutu, peluru dan granat, senjata mesin berat, helm tentara, dan masih banyak lainnya. Sebagian besar barang itu dia kumpulkan sendiri, sedikit sisanya ada yang dari penyerahan pihak berwajib.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Pulau Morotai Kalbi Rasyid mengatakan, potensi wisata Morotai memang berbeda dengan daerah lain di Maluku Utara, bahkan Indonesia. Obyek wisata di Morotai tersebar baik di laut maupun darat, baik itu yang berkaitan dengan perang maupun keindahan alam tropis.
“Dari aspek histori, Morotai menyimpan banyak sejarah pada masa perang Pasifik. Morotai menjadi pusat komando yang dimpimpin MacArthur. Perang menyisakan banyak saksi sejarah. Peninggalannya sampai saat ini cukup banyak meski pada tahun 1980-an banyak yang telah diangkut ke Jawa menjadi besi tua,” katanya.
Selain wisata sejarah, kondisi pantai di Morotai juga menarik. Ada beberapa desa wisata di pulau kecil, seperti Kolorai yang dijadikan desa wisata oleh pemerintah daerah dan desa bahari oleh TNI Angkatan Laut. Wisatawan juga bisa menyelam bersama hiu sirip hitam di perairan Mitita.
Morotai dikelilingi pantai nan indah. Lambaian nyiur berpadu dengan kondisi daratan yang masih alami dan ombak yang cukup tenang laksana surga.
Karena potensi yang ada inilah, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memasukkan Morotai menjadi salah satu dari 10 destinasi wisata unggulan Indonesia bersama destinasi lain, di antaranya Danau Toba, Candi Borobudur, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, dan Taman Nasional Wakatobi.
Dari beberapa obyek wisata memang tidak semua masih alami. Ada beberapa yang telah direvitalisasi, seperti Army Dock yang melibatkan pemerintah pusat.
Tahun 2012, pemerintah pusat juga sempat meggelar event bahari tingkat internasional “Sail Morotai”. Bagi pemerintah daerah dan warga setempat, momentum ini menjadi pintu masuk untuk pengembangan wisata di salah satu pulau terluar di Indonesia timur itu.
“Kita diuntungkan oleh kegiatan itu. Selain Sail Moritai, sekarang juga dikembangkan kawasan ekonomi khusus. Beberapa kebijakan pusat membantu pengembangan ekonomi di Morotai. Namun, kami juga berinovasi di sektor wisata, misalnya, kami menggelar acara berskala lokal untuk memancing kunjungan wisatawan,” katanya.
Angka kunjungan wisatawan ke Morotai pada tahun 2021 mencapai 60.000 orang. Angka ini terbilang lumayan bagus lantaran situasi pandemi, masih banyak pembatasan. Sedangkan sebelum pandemi angka kunjungan wisatawan ke pulau itu bisa tembus di atas 100.000 orang setahun.
Diakui Kalbi memang ada sejumlah kendala dalam dunia pariwisata di Morotai. Saat Covid-19, misalnya, pembatasan kegiatan sosial ikut memukul dunia pariwisata di daerahnya. Adapun dalam situasi normal, masih terbatasnya fasilitas dan lokasi destinasi wisata yang jauh menjadi kendala.
Pemerintah pusat dan daerah, kata Kalbi berusaha memaksimalkan potensi yang ada. Misalnya dengan membangun infrastruktur sampai lokasi wisata hingga penyiapan sumber daya manusia.
“Memang kita akui di wilayah tertentu aksesibilitas kita masih terbatas,” ucapnya.
Morotai dengan pulau-pulau di sekitarnya memang menyimpan potensi alam dan sejarah yang luar biasa. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika julukan yang berkembang menyatakan kepulauan ini laksana mutiara yang berada di bibir Samudera Pasifik.
Baca juga : Keajaiban Bawah Laut Morotai