KRI Teluk Tomini, dari Normandia hingga Tanjung Priok
Operasi amfibi terbesar dalam Perang Dunia II terjadi di pantai Normandia, 6 Juni 1944. Salah satu kapal, LST Kelas 511, dalam operasi Normandia kemudian digunakan TNI Angkatan Laut.
Oleh
IWAN SANTOSA
·6 menit baca
Operasi amfibi terbesar dalam Perang Dunia II terjadi di pantai Normandia, Perancis, tanggal 6 Juni 1944 dengan pendaratan pasukan Sekutu yang melawan Nazi Jerman. Kapal perang, kapal angkut, dan tank amfibi dikerahkan ke pantai Normandia demi mengalahkan Nazi Jerman.
Ada salah satu kapal angkut dari beberapa LST (Landing Ship Tank) Kelas 511 dalam operasi Normandia yang kemudian digunakan oleh TNI Angkatan Laut, yakni KRI Teluk Tomini 508. Kapal tersebut telah dibesituakan di Cilincing meski sebelumnya diusulkan dijadikan Museum Terapung di Ancol pada tahun 2012.
Dalam beberapa tulisan Kompas sepanjang tahun 2012 disebutkan, KRI Teluk Tomini semasa Perang Dunia II bernama USS Bledsoe County yang dioperasikan Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) sejak bulan Maret 1943.
Sebelum D–Day Normandia, dalam data Pusat Sejarah Angkatan Laut Amerika Serikat disebutkan, USS Bledsoe County terlibat dalam operasi pasukan Sekutu di Oran, Tunis, Bizerte di Afrika Utara, dan Pulau Sisilia, Italia (Operasi Husky), tanggal 10 Juli 1943. Bledsoe County mendaratkan pasukan di Pantai Biru Dua di Sisilia.
Selanjutnya di bulan September 1943, kapal tersebut terlibat operasi bersejarah, yakni Operasi Avalanche, pendaratan Pasukan Sekutu (Amerika dan inggris) di Salerno, daratan Italia dengan menurunkan kendaraan amfibi DUKW (dijuluki ”The Duck”). Operasi yang dipimpin Letjen Mark W Clark itu mengerahkan Angkatan Darat ke-5 yang terdiri atas Divisi Lintas Udara ke 82 Amerika Serikat, Korps AD AS ke–6 dan Korps AD Inggris ke–10. Pasukan pendarat ini ”mandi darah” dalam operasi pendaratan yang mengincar kota pelabuhan Napoli itu.
Sebanyak 170.000 serdadu Sekutu berhadapan dengan 35.000 prajurit Nazi Jerman yang memberi perlawanan gigih bahkan nyaris mengusir Sekutu kembali ke laut.
Salah satu pendiri Kompas, PK Ojong, dalam buku Perang Eropa mencatat pasukan Angkatan Darat ke–5 ini di awal tahun 1944 terlibat dalam pertempuran berdarah melawan pasukan Nazi Jerman di sekitar Biara Monte Cassino (The Battle of Monte Cassino) yang merupakan situs bersejarah.
USS Bledsoe County dalam operasi tersebut juga dicoba menjadi ”kapal induk” untuk menerbangkan empat pesawat ringan L-4A Grasshopper dari geladaknya. Rel besi dibentangkan menjadi semacam landasan untuk pesawat ringan tersebut meluncur tinggal landas.
Namun, dalam dua kali percobaan, pesawat yang mencoba diterbangkan terempas ke laut dari kapal yang memiliki panjang 100 meter itu. Akhirnya, dua pesawat yang tersisa tidak jadi diluncurkan. Pesawat ringan jenis itu sangat penting dalam operasi militer sebagai pemantau situasi medan pertempuran dalam hal ini pantai pendaratan.
Operasi Normandi
Setelah operasi di Italia, USS Bledsoe County terlibat dalam operasi Overlord, yakni operasi amfibi terbesar di dunia berupa pendaratan tentara Sekutu dari Inggris ke pantai Normandia, Perancis.
LST dengan kode 356 itu tidak terlibat operasi pada D–Day tanggal 6 Juni 1944. Bledsoe County mulai terlibat operasi di Pantai Sword bersama enam LST Amerika lainnya tanggal 14 Juni 1944 di bawah perlindungan balon udara antipesawat terbang.
Mereka ditembaki artileri pantai Jerman yang berada di dekat muara Sungai Orne. Ketika itu, Bledsoe County dan LST lainnya menunggu air surut di pantai–ketinggian air masih 10 kaki atau 3 meter.
Bledsoe County ditembaki tanpa bisa membalas. Dia menunggu empat jam hingga air surut, menurunkan rampa, dan tank serta kendaraan pasukan Kanada yang mereka angkut pun merayap ke pantai.
Dalam kurun Juni 1944 hingga April 1945, USS Bledsoe County menjalankan 39 misi dari Inggris ke pantai Perancis. Dia mendapat penghargaan Bintang Perang (Battle Stars). Seperti para prajurit, kapal perang dalam tradisi militer Amerika Serikat juga mendapat bintang jasa atas peran yang diberikan dalam berbagai operasi pertempuran. Tanda jasa tersebut biasanya dilukis di bagian sisi luar anjungan kapal.
Selepas Perang Dunia II berakhir, Bledsoe County ”tidur panjang” hingga akhirnya memperkuat TNI Angkatan Laut. Bledsoe County bergabung dengan TNI AL pada 1967.
Sebelumnya sejak Maret 1960 melalui program Military Assistance dari Amerika Serikat untuk Indonesia, diberangkatkan LST tipe 511 yang mula-mula yakni KRI Teluk Langsa 501, lalu pada Desember 1960 KRI Tandjung Nusanive, lalu pengiriman gelombang ketiga pada Juni 1961 yakni KRI Teluk Bayur, KRI Teluk Kau, KRI Teluk Manado, dan KRI Tanjung Raja.
Dalam buku Sejarah Perkembangan Alutsista TNI AL 1945–1965 terbitan Dispenal TNI Angkatan Laut tahun 2010, disebutkan kapal-kapal ini adalah veteran Perang Dunia II di berbagai mandala dari D-Day Normandia hingga Perang Pasifik.
Adapun KRI Teluk Tomini terlibat dalam Operasi Seroja di Timor Timur pada 7 Desember tahun 1975. Laksamana Gatot Suwardi yang ketika itu berpangkat kolonel mengisahkan, mereka sempat berhadap-hadapan dengan dua kapal perang Portugis, yakni frigat NRP Alfonso de Albuquerque dan NRP Commandante Joao Bello.
Ketegangan terjadi, tetapi tidak pecah saling tembak. Kapal-kapal LST pun mendaratkan pasukan di Timor Timur. ”Kita sesudah pendaratan menunggu hampir seminggu kapal logistik datang. Itu berbahaya bagi kapal-kapal pendarat,” kata Gatot Suwardi dalam satu pertemuan.
Selepas Operasi Seroja, KRI Teluk Tomini pun terlibat dalam berbagai misi kemanusiaan, seperti evakuasi pengungsi letusan Gunung Api di Banda tahun 1988. Kompas bertemu dengan Tomini, seorang gadis yang dilahirkan di atas KRI Tomini yang mengevakuasi ibunya yang sedang hamil tua lalu melahirkan dirinya. ”Saya lahir di atas kapal Tomini waktu ibu mengungsi bersama warga Pulau Banda lainnya,” katanya saat bertemu bulan April tahun 2012.
KRI Teluk Tomini bersama kapal-kapal angkut TNI AL berpangkalan di Tanjung Priok, Jakarta, di bawah Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil).
Semula Wakil KSAL waktu itu di tahun 2012, Laksamana Madya Marsetio, sempat berharap kapal tersebut dijadkan Museum Terapung. Pertemuan pun sempat dilakukan di kantor Mendiknas di Jakarta terkait rencana pembuatan museum terapung pertama di Indonesia dengan menggunakan KRI Teluk Tomini yang sudah habis masa pengabdiannya.
Sebagai negara maritim terbesar di dunia, hingga kini belum ada museum kapal yang berada di laut di Indonesia. Museum kapal yang ada di Jakarta dan Surabaya menempatkan kapal-kapal perang di daratan.
Pegiat sejarah Ade Purnama dari komunitas Sahabat Museum ketika itu mengingatkan, di dunia hanya Indonesia yang masih memiliki kapal-kapal eks Perang Dunia II. Bahkan, Pemerintah Amerika Serikat pernah meminta kapal-kapal jenis tersebut untuk dijadikan koleksi museum mereka.
Namun, kebijakan yang diambil akhirnya mengabaikan nilai sejarah yang tidak bisa dibandingkan dengan harga besi tua. Setelah mengabdi dalam Perang Dunia II dan berbagai operasi militer di Indonesia, akhirnya KRI Teluk Tomini urung menjadi museum terapung. Kapal bersejarah tersebut dibelah di lapak besi tua di Cilincing bersama beberapa bekas kapal perang lainnya.