Setengah Mati Pariwisata Wakatobi
Baru hendak pulih setelah 2,5 tahun dirundung pandemi, sektor pariwisata Wakatobi harus kembali menghadapi badai lainnya. Satu-satunya layanan penerbangan ke destinasi wisata unggulan di Sultra itu berhenti beroperasi.
Setelah badai pandemi Covid-19 melunak, pariwisata di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, digadang bisa menjulang kembali. Namun, tiba-tiba, "badai" lain menghantam. Satu-satunya layanan penerbangan ke destinasi unggulan nasional ini terhenti selama tiga bulan terakhir. Pariwisata pun kembali mati suri, membuat pelakunya bertahan setengah mati.
Duduk di salah satu ruangan rumah yang dijadikan kantor, di Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Seto Ariyadi (37) menatap layar ponselnya. Ia sibuk mengunggah paket wisata selam sembari terus berharap ada wisatawan yang tertarik datang.
Telah tiga bulan terakhir ia melakoni hal yang sama, tanpa pernah mendapat pelanggan. Setiap ada yang bertanya, seketika pula semua calon wisatawan itu mundur teratur. Sebabnya, penerbangan ke Wakatobi telah terhenti sejak awal Juli lalu.
“Terakhir ada yang tanya paket wisata itu tiga hari lalu. Sampai sekarang tidak ada lagi. Tapi, mau tidak mau tetap kami posting paket, utamanya di masa jam kerja seperti ini. Kami seperti berharap keajaiban,” ungkapnya, saat dihubungi dari Kendari, Rabu (5/10/2022).
Selain mengunggah paket wisata, ia sibuk membalas pesan calon pembeli kendaraannya. Sebuah sepeda motor miliknya terpaksa dijual karena kesulitan memenuhi kebutuhan harian. Uang dari penjualan motor tersebut akan digunakan untuk membayar tagihan listrik, internet, hingga kebutuhan hidup sehari-hari.
“Sudah 15 tahun saya jadi pegiat wisata, tapi baru kali ini jual aset. Sebelumnya juga saya tidak pernah mengeluh, tapi kondisinya sekarang betul-betul sulit,” tambah pengelola Wakatobi Dive Trip ini.
Baca juga: Dua Bulan Tak Ada Penerbangan, Pariwisata Wakatobi Mati Suri
Situasi ini terjadi sejak Wings Air, satu-satunya maskapai penerbangan ke Wakatobi, berhenti melayani rute ke Wakatobi pada 8 Juli 2022. Sejak saat itu, Seto hanya menerima satu kali rombongan wisatawan. Tamu ini adalah mereka yang telah telanjur mengambil cuti sehingga terpaksa datang.
Tanpa adanya penerbangan langsung, wisatawan dari luar Sulawesi Tenggara hanya bisa terbang sampai Kota Baubau. Dari Baubau, perjalanan dilanjutkan dengan kapal selama lima jam. Artinya, wisatawan harus menambah waktu perjalanan sekitar dua hari dari waktu normal.
Bertambahnya waktu liburan membuat biaya juga jauh lebih tinggi. Hal itulah yang menyebabkan calon wisatawan mengurungkan niat untuk datang ke salah satu surga bawah laut di kawasan timur Indonesia ini.
“Sebenarnya wisatawan ke Wakatobi itu sebagian besar orang yang siap secara biaya. Tapi, mereka maunya praktis dan tidak ribet. Sekarang kondisinya orang pasti memilih ke tempat lain daripada ke Wakatobi yang begitu sulit untuk sekadar berwisata,” ucap Seto.
Baca juga: Wakatobi, Surga Wisata Laut dan Budaya
Terakhir, pada September lalu, ia mendapatkan calon wisatawan sebanyak lima orang. Saat itu, disebutkan pesawat akan terbang di awal Oktober. Namun, sampai sekarang penerbangan tidak kunjung terbuka. Ia kehilangan harapan dan omzet yang bisa menjadi pegangan hidup.
Alfian Asmara (34), pelaku pariwisata di Pulau Tomia, salah satu dari empat pulau utama di Wakatobi, merasakan dampak yang sama. Jumlah tamunya berkurang drastis, bahkan bisa dihitung dengan jari. Saat penerbangan masih ada, ia bisa memandu hingga 20 orang setiap bulan dengan omzet mencapai Rp 30 juta.
Saat ini, ia harus bekerja serabutan mencari penghidupan. Ia menerima segala panggilan dari rekan untuk bisa menyambung hidup. “Kadang kerja di bengkel atau bangunan. Pokoknya apa saja yang bisa dikerjakan. Untuk penginapan, di sekitar tempat tinggal saya saja sudah ada empat yang tutup dari delapan penginapan,” katanya.
Di waktu senggang, ia rutin mengecek ponsel membuka aplikasi penjualan tiket. Ia berharap bisa melihat penerbangan rute Wakatobi di layar ponselnya. Namun, hingga sekarang, hal tersebut belum terkabulkan.
Wakatobi, yang terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya, merupakan salah satu destinasi pengembangan wisata prioritas nasional. Data Taman Nasional Wakatobi memperlihatkan betapa kepulauan di wilayah paling selatan Sultra itu layak dijadikan destinasi pariwisata prioritas.
Namun, kendalanya itu ada di negosiasi harga subsidi tiket dengan maskapai.
Dari 820 jenis karang yang ada di dunia, sebanyak 750 jenis karang atau 91 persen di antaranya ada di Wakatobi. Titik-titik penyelaman dan terumbu karang pun tersebar luas di semua empat pulau utama di kabupaten itu, yakni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.
Tidak heran, sektor pariwisata berkembang dan menjadi tumpuan daerah. Sektor ini pada 2015 lalu diklaim menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga 45 persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah wisatawan ke daerah ini pada 2018 mencapai 29.408 orang.
Setahun setelahnya, jumlah wisawatan berkurang di angka 28.857 orang. Selama 2020 dan 2021, saat pandemi Covid-19 sedang tinggi-tingginya, wisatawan memang berkurang drastis. Pemerintah mulai mengupayakan agar jumlah wisatawan kembali meningkat pada 2022 ini.
Akan tetapi, upaya ini mandek akibat berhentinya satu-satunya layanan penerbangan ke Wakatobi. Dalam rilis pihak Wings Air yang dikirimkan pada Rabu (6/7/2022), disebutkan, penghentian sementara penerbangan rute Kendari-Wakatobi berlaku mulai Jumat (8/7/2022). Penghentian ini hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Corporate Communications Strategic Wings Air Danang Mandala Prihantoro, yang dihubungi pada Selasa (4/10/2022), tidak menjawab sejumlah pertanyaan yang dikirimkan.
Baca juga: Negosiasi Mandek, Penerbangan ke Wakatobi Kembali Tertunda
Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara Belli Harli Tombili mengungkapkan, Pemprov Sultra telah mengalokasikan dana subsidi untuk penerbangan sebesar Rp 1,5 miliar. Dana ini akan dikirimkan ke Pemkab Wakatobi, yang akan berkoordinasi dengan maskapai yang bekerja sama nantinya. Subsidi penerbangan akan dilakukan hingga akhir tahun mendatang.
"Namun, kendalanya itu ada di negosiasi harga subsidi tiket dengan maskapai. Terakhir diskusi dengan Lion Air, kami telah menyetujui subsidi di harga batas atas tiket, yaitu Rp 848.000 per kursi, dengan total 70 kursi. Namun, menurut mereka nilai ini dianggap belum menutupi operasional penerbangan,” kata Belli, di Kendari, Selasa (4/10/2022).
Nilai subsidi tersebut, ia melanjutkan, tidak dapat dinaikkan lagi karena terbentur dengan aturan. Pihak Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) juga telah mengingatkan agar nilai subsidi tidak melebihi harga batas atas tiket.
Situasi seperti ini, tambah Belli, membuat kepastian penerbangan ke Wakatobi belum akan berjalan dalam waktu cepat. Sejumlah alternatif telah dilakukan, termasuk mengajak maskapai lain untuk masuk ke Wakatobi, salah satunya Susi Air.
Kami terus lakukan upaya dan mencari alternatif agar pesawat bisa segera beroperasi.
"Meski pesawatnya berkapasitas 19 orang, tapi kalau dua kali penerbangan dalam sehari, harusnya cukup untuk membawa penumpang atau barang. Kami terus lakukan upaya dan mencari alternatif agar pesawat bisa segera beroperasi. Tapi itu juga kalau Pemkab Wakatobi segera sahkan APBD-Perubahan,” katanya.
Kepala Dinas Pariwisata Wakatobi Nadar mengatakan, pembahasan dan penetapan APBD-P 2022 memang tidak sesuai tenggat waktu yang ditentukan. Saat ini, pemerintah tengah melakukan proses penyusunan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) untuk pengganti Peraturan Daerah terkait penganggaran tersebut.
Setelah Perkada APBD-P selesai ditetapkan, upaya untuk pengoperasian penerbangan tentu tidak akan langsung bisa dilakukan. Sebab, harus ada finalisasi komitmen hingga penandatanganan kerja sama. Oleh karena itu, ia tidak mau memberi target kapan penerbangan ke Wakatobi bisa berjalan kembali.
“Karena masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan dahulu. Semoga bisa segera selesai semuanya. Sejauh ini, data kami terjadi penurunan wisatawan lebih dari 90 persen. Itu yang paling terasa ke banyak sektor,” ujarnya.
Hugua, anggota DPR asal Wakatobi, menyampaikan, terhentinya penerbangan di Wakatobi seharusnya segera diselesaikan dan tidak menunggu hingga berlarut-larut. Sebab, berhentinya penerbangan telah berdampak luas ke banyak sektor.
Menurut mantan Bupati Wakatobi 2006-2016 ini, pariwisata menjadi tumpuan hidup banyak orang yang turut menggerakkan roda ekonomi secara luas. Nelayan, petani, transportasi, dan berbagai sektor lainnya merasakan dampak pariwisata yang lumpuh tiga bulan terakhir.
“Ini kondisinya seperti kembali ke 20 tahun yang lalu saat kami baru membangun Wakatobi. Tapi sekarang situasinya diperparah dengan politik lokal yang kurang dewasa dan tidak mengutamakan kepentingan yang lebih luas. Akibatnya, penerbangan terhenti, anggaran perubahan pun tertunda,” kata Hugua.
Oleh sebab itu, ia berharap pihak legislatif dan eksekutif saling menahan diri dan segera duduk bersama menyelesaikan persoalan yang terjadi. Subsidi penerbangan harus dilakukan untuk memancing kembali pariwisata sehingga bisa tumbuh dan menjadi motor ekonomi masyarakat.
Baca juga: Menyelami Pesona Tersembunyi Pulau Binongko
Seto menyampaikan, dengan kondisi seperti saat ini, ia hanya mampu bertahan satu sampai dua bulan ke depan. Setelahnya, ia tidak tahu seperti apa masa depannya.
“Kami ini sudah jatuh karena pandemi, tertimpa tangga pula karena tidak adanya solusi untuk menyelesaikan masalah penerbangan. Kami sudah kehilangan pendapatan dan kepercayaan wisatawan yang telah kami bangun bertahun-tahun,” ucapnya.