Di tengah keterbatasan, petugas imigrasi terus berupaya membantu warga di tapal batas.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Siprianus Maubuti mengganti kasut dengan sendal, lalu menggulang kaki celana. Di hadapannya, membentang Sungai Malibaka selebar lebih dari 100 meter. Petugas imigrasi asal Indonesia itu bersiap menerobos air demi mencapai pos imigrasi Negara Timor Leste di seberang sana, pada suatu siang September 2022 lalu.
Kali ini, Siprianus tidak terlalu kerepotan menyeberangi sungai dari arah Pos Imigrasi Turiskain di Desa Maumutin, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Kemarau panjang yang menerjang hampir seluruh wilayah Pulau Timor membuat debit air sungai pembatas dua negara itu, menyusut. Air tak dalam. Juga tak berarus kencang.
Tiba di seberang, wilayah negara Timor Leste, ia kemudian berjalan kaki menyusuri jalan setapak tanah di tengah hutan sejauh 1,5 kilometer, hingga tiba di Pos Imigrasi Distrik Maliana. Dengan modal selembar surat dari Kantor Imigrasi Indonesia di Atambua, ia menemui petugas imigrasi Timor Leste. Mereka menyambutnya dengan ramah.
"Tidak ada kendala komunikasi. Kami berbicara pake bahasa Tetun, " ujarnya. Bahasa Tetun merupakan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat yang mendiami sisi utara Pulau Timor seperti Kabupaten Malaka dan Belu di NTT dan seluruh warga negara Timor Leste. Jumlah penutur bahasa itu lebih dari 1 juta orang, termasuk Siprianus yang juga putra Timor.
Maksud kedatangan Siprianus ke Pos Imigrasi Maliana untuk berkoordinasi terkait pembukaan kembali perlintasan tradisional antara Turiskain dan Maliana. Perlintasan itu ditutup akibat pandemi Covid-19 yang merebak mulai tahun 2020. Sejak saat itu, Timor Leste hanya membuka satu pintu perlintasan, yakni di Pos Lintas Batas Negara Terpadu Motaain.
Baik warga Turiskain maupun Maliana yang hendak saling mengunjungi, mereka harus melawati pintu Motaain. Jarak Turiskain ke Motaain sejauh 60 kilometer sedangkan Maliana ke Motaain sekitar 50 kilometer. Waktu tempuh Turiskain ke Maliana lewat Motaain paling cepat 3 jam menggunakan mobil.
Padahal, jika melalui Sungai Malibaka, mereka menyeberang beberapa menit kemudian berjalan kaki tidak sampai 2 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Mereka juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sewa kendaraan. Melalui Motaain, mereka harus menyiapkan ongkos paling sedikit Rp 2 juta.
"Oleh karena itu, masyarakat meminta agar jalur ini segera dibuka karena mereka sangat kesulitan biaya maupun waktu. Setelah kami koordinasi dengan imigrasi Timor Leste, mereka akhirnya mau membuka perlintasan. Tanggal 3 Oktober lalu, sudah dibuka dan warga kedua negara saling mengunjungi, " tuturnya.
Warga di tapal batas memiliki hubungan keluarga dalam ikatan budaya maupun melalui hubungan kawin mawin. Selama perlintasan ditutup, mereka kesulitan melintas. Sebagian terpaksa melintas lewat "jalur tikus" yang berada di luar jangkauan petugas. Ada yang lolos pergi pulang, namun banyak yang kedapatan sehingga dideportasi.
Operasi simpatik
Menurut data Kantor Imigrasi Atambua, sepanjang Januari hingga September 2022 lalu, sebanyak 86 warga negara Indonesia yang dideportasi dari Timor Leste melalui Pos Lintas Batas Negara Terpadu Motaain. Sebagian besar dari mereka adalah warga yang mendiami perbatasan. Mereka kedapatan melintas melalui jalur tidak resmi.
"Ada yang beralasan mengunjungi keluarga yang sakit atau meninggal, juga menghadiri acara pernikahan. Setelah dideportasi, mereka membuat surat pernyataan yang berisi tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama, " kata KA Halim, Kepala Kantor Imigrasi Atambua.
Pihak imigrasi, lanjut Halim, menawarkan jalan keluar bagi warga yang mendiami garis batas melalui pemberian pas lintas batas. Syaratnya adalah foto kopi kartu identifikasi seperti kartu tanda penduduk, pas foto berukuran 3X4, serta surat keterangan dari kepala desa yang menerangkan pemohon adalah penduduk di perbatasan.
Pengurusan pas lintas batas tidak sampai satu jam, dengan masa berlaku satu tahun dan bisa diperpanjang lagi. Proses pengajuan pas lintas batas tidak dipungut biaya. Sekedar membandingkan, untuk pengurusan paspor membutuhkan biaya Rp 350.000. "Pas lintas batas ini khusus untuk mereka yang berada dalam radius satu kecamatan di garis batas, " ucap Halim.
Pada akhir September lalu, Halim memimpin tim melakukan pelayanan pas lintas batas simpatik untuk warga perbatasan yang berpusat di Desa Maumutin. Pihak imigrasi mendatangi warga dan mengajak mereka mengajukan permohonan pas lintas batas. Puluhan orang ikut dalam sosialisasi itu. Beberapa di antaranya mengajukan permohonan dan langsung diterbitkan.
Kepala Desa Maumutin Yohanes Dua mengapresiasi langkah imigrasi yang langsung turun ke kampung-kampung perbatasan. Ia mengakui, sebagian besar masyarakat di daerah itu belum mengetahui adanya fasilitas pas lintas batas yang proses pengajuannya sangat mudah, cepat, dan tidak dipungut biaya.
Ia mengatakan, pengajuan yang gratis itu sangat membantu masyarakat setempat yang hampir semua hidup dalam kondisi ekonomi kurang mampu. Ia juga berjanji akan mengarahkan masyarakat untuk segera memiliki pas lintas batas. Ke depan, jangan sampai ada lagi masyarakat yang melewati "jalur tikus".
I Ismoyo, Kepala Devisi Keimigrasian Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi NTT memaparkan, di NTT terdapat dua kantor imigrasi, yakni di Kota Kupang dan Atambua. Imigrasi Kelas I Kota Kupang membawahi lima pos sedangkan Imigrasi Kelas II Atambua membawahi delapan pos termasuk empat pos lintas batas negara terpadu.
Dari semua pos dimaksud, sebanyak sembilan pos yang berbatasan darat dan dua pos berbatasan laut. "Penempatan jumlah petugas pada setiap pos perbatasan dioptimalisasikan dengan menyesuaikan kondisi lapangan berdasarkan volume pelintas, " katanya.
Menurutnya, petugas imigrasi di perbatasan menghadapi banyak kendala seperti jarak tempuh dari tempat tinggal ke pos imigrasi yang jauh dengan kondisi jalan rusak berat sehingga sangat beresiko terhadap keselamatan mobilitas mereka. Mereka memilih tinggal di ibu kota kabupaten mengingat tidak ada rumah dinas di pos perbatasan.
Selain itu, ada pos yang tidak memiliki gedung baru setelah gedung lama terkena longsor. Di perbatasan itu, konektivitas jaringan telekomunikasi sering terkendala dan bahkan tidak ada jaringan sama sekali. Juga keterbatasan terkait tunjangan kesejahteraan petugas imigrasi di wilayah perbatasan.
Di tengah kondisi semacam itu, Ismoyo memastikan semua petugas dapat berkerja optimal seperti pengabdian Siprianus yang menyeberang Sungai Malibaka demi berkoordinasi dengan pihak imigrasi Timor Leste. Mereka berjibaku di tengah keterbatasan demi melayani masyarakat di tapal batas.