Antisipasi Banjir, Sidoarjo Siagakan 28 Mesin Pompa
Pemerintah daerah menyiagakan 28 unit mesin pompa dan mempercepat pembangunan rumah pompa di sekitar Desa Kedungbanteng yang menjadi daerah langganan bencana.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Bencana banjir rawan melanda sebagian wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada musim hujan kali ini karena lokasinya yang berada di kawasan delta Sungai Brantas. Agar banjir tidak menjadi lebih parah, pemerintah daerah menyiagakan 28 unit mesin pompa dan mempercepat pembangunan rumah pompa di sekitar Desa Kedungbanteng yang menjadi daerah langganan bencana.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Juanda memprediksi sejumlah wilayah di Jatim diguyur hujan pada 6-7 Oktober 2022. Salah satunya di wilayah Sidoarjo yang diprediksi bakal diguyur hujan pada pukul 13.00-16.00.
Seiring datangnya musim hujan tersebut, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mulai memitigasi bencana hidrometeorologi di wilayahnya. Setidaknya ada dua bencana yang patut diwaspadai, yakni angin kencang atau puting beliung dan banjir.
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor mengatakan, wilayahnya rawan banjir karena berada di delta Sungai Brantas. Kawasan ini menjadi muara dari sungai yang hulunya berada di wilayah Sumberbrantas, Kota Batu, dan melintasi sejumlah kabupaten/kota di Jatim. ”Salah satu daerah yang rawan banjir adalah Kecamatan Tanggulangin. Setidaknya ada tiga desa, yakni Kedungbanteng, Banjarasri, dan Banjarpanji,” ujarnya, Rabu (5/10/2022).
Dalam upaya mengantisipasi bencana banjir tersebut, pemda telah membangun rumah pompa yang ditargetkan beroperasi pada akhir Desember tahun ini. Total ada tiga rumah pompa yang tengah dibangun di Kecamatan Tanggulangin, yakni di Desa Kedungbanteng, Banjarasri, dan Banjarpanji. Pembangunan ketiga rumah pompa ini menelan anggaran sekitar Rp 12 miliar.
Pembangunan rumah pompa di Kedungbanteng dianggarkan Rp 5 miliar, di Banjarasri dianggarkan Rp 894 juta, dan di Banjarpanji senilai Rp 6 miliar. ”Selain itu, Pemkab Sidoarjo juga menyiagakan 28 unit mesin pompa portable yang siap dioperasikan sewaktu-waktu. Jika jumlahnya masih kurang, bisa ditambah lagi,” ucap Muhdlor.
Sejumlah upaya itu diharapkan bisa mengurangi dampak banjir yang melanda Sidoarjo setiap musim hujan. Selain tiga desa di Tanggulangin, banjir juga mengancam Jalan Raya Porong dan sejumlah desa di Kecamatan Porong, seperti Candipari.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidoarjo Dwijo Prawito mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun timnya, angin kencang melanda Kecamatan Wonoayu pada Selasa (4/9/2022) sore sekitar pukul 15.00. Belasan rumah, fasilitas umum, dan tempat usaha rusak diterjang angin kencang itu.
Kerusakan parah terjadi di Desa Mulyodadi dan Pagerngumbuk. Total lebih dari 20 bangunan rusak parah, terdiri dari 9 bangunan di Mulyodadi dan 11 bangunan di Pagerngumbuk.
Selain rumah warga, ada juga bangunan fasilitas umum dan tempat usaha yang rusak akibat bencana itu. Sejauh ini tidak ada laporan mengenai jatuhnya korban jiwa. Selain itu, meski rusak parah, rumah warga masih bisa ditinggali sehingga tidak ada yang mengungsi.
Kondisi saat ini rumah warga masih ditempati dan aktivitas mereka berjalan normal.
”Tim BPBD Sidoarjo melakukan koordinasi dengan pemerintah desa, kecamatan, serta warga untuk melakukan asesmen kerusakan. Kondisi saat ini rumah warga masih ditempati dan aktivitas mereka berjalan normal,” ujar Dwijo.
Terkait banjir di Desa Kedungbanteng, Banjarasri, dan Banjarpanji, fenomena itu sudah berlangsung sejak 2018. Banjir itu sulit diprediksi kapan berhenti karena faktor penyebabnya yang kompleks, salah satunya karena penurunan tanah secara masif. Lebih dari 2.000 keluarga menderita di berbagai sendi kehidupannya.
Pemkab Sidoarjo telah melayangkan surat kepada Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada November 2021 dan belum mendapat jawaban. Surat yang dikirim oleh Sekretaris Daerah Sidoarjo itu berisi permohonan agar Badan Geologi mengungkap penyebab fenomena penurunan tanah yang terjadi di wilayahnya.
BPBD Sidoarjo telah menggandeng Pusat Penelitian Manajemen Kebencanaan dan Perubahan Iklim (PPMKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya untuk mengkaji fenomena penurunan tanah sejak 2018. Sebelum 2018 tidak ada laporan penurunan tanah, padahal dua desa itu hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo.
Kajian di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri dilakukan pada akhir 2020 dan dilanjutkan pada pertengahan 2021. Kajian meliputi penurunan tanah dengan metode INSAR, pengukuran GPS, topografi, pengukuran geolistrik, asesmen hidrologi banjir, dan asesmen kerugian bencana.
Peneliti dari PPMKPI ITS Amin Widodo mengatakan, hasil kajian INSAR dan GPS menunjukkan kawasan tersebut mengalami penurunan (subsidence) 20-60 cm per tahun. Akibatnya, kawasan tersebut menjadi cekung dan menyebabkan air menggenang saat hujan.
Hasil pengukuran GPS dan hidrologi sungai menunjukkan adanya perubahan morfologi dasar sungai sehingga ada perubahan arah aliran. Hasil pengukuran geolistrik menunjukkan kawasan tersebut tersusun oleh endapan lempung lunak yang tebal dan ada retakan-retakan di bawah kawasan yang turun.