Badan Geologi Didesak Ungkap Penyebab Penurunan Tanah 60 Cm di Sidoarjo
Badan Geologi didesak segera ungkap penyebab laju penurunan tanah 60 cm per tahun di Sidoarjo yang berlangsung sejak 2018 dan sulit diprediksi kapan berhenti. Lebih dari 2.000 keluarga menderita.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Badan Geologi didesak segera ungkap penyebab laju penurunan tanah di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, berkisar 20-60 sentimeter per tahun. Fenomena yang berlangsung sejak 2018 itu sulit diprediksi kapan berhenti. Lebih dari 2.000 keluarga menderita di berbagai sendi kehidupannya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sidoarjo Dwijo Prawito mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat kepada Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada November 2021 dan belum mendapat jawaban. Surat yang dikirim oleh Sekretaris Daerah Sidoarjo itu berisi permohonan agar Badan Geologi mengungkap penyebab fenomena penurunan tanah yang terjadi di wilayahnya.
”Dengan mengetahui faktor penyebabnya, Pemkab Sidoarjo bisa merumuskan kebijakan penanganan secara tepat dan menyeluruh. Penanganan ini mendesak karena masyarakat yang berada di daerah bencana sudah sangat menderita,” ujar Dwijo Prawito, Minggu (3/7/2022).
Dwijo telah menggandeng Pusat Penelitian Manajemen Kebencanaan dan Perubahan Iklim (PPMKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya untuk mengkaji fenomena penurunan tanah sejak 2018. Sebelum 2018 tidak ada laporan penurunan tanah padahal dua desa itu hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo.
Kajian di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri dilakukan pada akhir 2020 dan dilanjutkan pada pertengahan tahun 2021. Kajian meliputi penurunan tanah dengan metode INSAR, pengukuran GPS, topografi, pengukuran geolistrik, asesmen hidrologi banjir, dan asesmen kerugian bencana.
Peneliti dari PPMKPI ITS, Amin Widodo, mengatakan, hasil kajian INSAR dan GPS menunjukkan kawasan tersebut mengalami penurunan (subsidence) 20-60 cm per tahun. Akibatnya, kawasan tersebut menjadi cekung dan saat hujan air menggenang.
Hasil pengukuran GPS dan hidrologi sungai menunjukkan adanya perubahan morfologi dasar sungai sehingga ada perubahan arah aliran. Hasil pengukuran geolistrik menunjukkan kawasan tersebut tersusun oleh endapan lempung lunak yang tebal dan ada retakan-retakan di bawah kawasan yang turun.
Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, cari kerja pun susah karena banjir.
BPBD Sidoarjo bersama ITS juga mengkaji kebutuhan pascabencana atau Jitupasna, yakni suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis dampak, perkiraan kebutuhan, serta rekomendasi awal terhadap strategi pemulihan yang menjadi dasar penyusunan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Perhitungan nilai kerusakan dan kerugian berdasarkan berbagai sektor meliputi permukiman, infrastruktur, ekonomi, sosial, dan lintas sektor.
”Berdasarkan hasil kaji cepat kerusakan dan kerugian akibat banjir menunjukkan bahwa setiap terjadi banjir muncul kerusakan dan kerugian sebesar Rp 100 miliar,” kata Amin.
Amin mendesak agar penurunan tanah di Sidoarjo segera mendapat perhatian Badan Geologi karena data INSAR menunjukkan penurunan masih terus berlangsung sampai sekarang dan belum ada tanda-tanda mau berhenti. Oleh karena itu, kajian penyebab penurunan secara detail sangat dibutuhkan segera. Otorita kewenangan kajian tersebut ada di Kementerian ESDM, khususnya Badan Geologi.
Peneliti dari PPMKPI Sidoarjo, Noorlaila Hayati, menambahkan, hasil observasi satelit radar (INSAR) dari 9 Januari 2021 sampai 29 Januari 2022 mencatat laju penurunan sampai dengan 60 cm di Kedungbanteng dan Banjarasri. Padahal, tinggi muka tanah di sana hanya 10 meter dari permukaan laut.
Dia mencatat, terdapat 308 rumah warga yang mengalami penurunan 40-60 cm per tahun dan 2.011 bangunan rumah warga yang turun 20-30 cm per tahun. Akibatnya, banyak rumah yang separuh bangunannya terkubur tanah. Jarak tanah dengan atap rumah menjadi semakin pendek, bahkan banyak juga yang tak lagi bisa dihuni.
Penurunan tanah juga mengakibatkan banjir di setiap musim hujan. Genangan banjir berlangsung 20 hari bahkan berbulan-bulan sehingga mengganggu seluruh sendi kehidupan warga. Kegiatan ekonomi terhambat, sawah tak bisa digarap, tambak kebanjiran, dan perdagangan tak berjalan. Pendidikan terganggu karena bangunan sekolah taman kanak-kanak, SD, dan SMP terendam.
Kesehatan warga menurun karena genangan yang tak kunjung surut di dalam rumah dan sulitnya akses air bersih. Berbagai penyakit pun menyerang warga tanpa kenal usia. Penyakit gatal-gatal, diare, hingga tekanan mental menyerang anak balita hingga warga lansia.
”Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, cari kerja pun susah karena banjir. Saya punya usaha bengkel dan cuci sepeda motor. Namun, hanya buka saat musim kemarau,” ujar Sugiono (45), salah satu warga Kedungbanteng.
Camat Tanggulangin Sabino Mariano mengatakan, dampak penurunan tanah mulai merembet ke desa sekitar seperti Banjarpanji yang kini kerap dilanda banjir. Hal itu selaras dengan hasil kajian ITS yang menunjukkan penurunan muka tanah mulai merembet ke daerah di sekitarnya atau ring luar. Laju penurunannya berkisar 10-30 cm per tahun.
Fenomena penurunan tanah di Sidoarjo sejatinya bukan hal baru. Berbagai kajian menyatakan penurunan tanah secara signifikan terjadi sejak munculnya semburan lumpur Lapindo 2006.
Berdasarkan observasi menggunakan satelit radar dari 19 Mei 2006-14 Juli 2020, sebanyak 29 desa di Sidoarjo terdeteksi mengalami penurunan tanah. Selain di Tanggulangin, fenomena penurunan tanah yang sangat aktif juga ditemukan di kawasan lumpur Sidoarjo dan Desa Pesawahan, Kecamatan Porong.