Tekan Inflasi, Sumsel Diminta Jaga Ketersediaan Pasokan Barang
Kenaikan harga bahan bakar minyak dan beras memicu lonjakan inflasi di Sumsel pada September 2022 sebesar 1, 26 persen. Untuk menekannya, pemangku kepentingan harus melakukan intervensi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kenaikan harga bahan bakar minyak dan beras memicu lonjakan inflasi di Sumatera Selatan. Badan Pusat Statistik mencatat inflasi di Sumsel pada September 2022 dibandingkan bulan Agustus mencapai 1,26 persen. Kondisi ini harus segera diantisipasi dengan menerapkan sejumlah intervensi strategis seperti menjaga ketersediaan barang agar inflasi lebih terkendali.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, inflasi di Sumsel mencapai 6,70 persen. Adapun untuk inflasi tahun kalender (September 2022 dibanding Desember 2021), tingkat inflasi mencapai 5,60 persen.
Koordinator Fungsi Statistik Distribusi BPS Sumsel Sukerik, Senin (3/10/2022), menyatakan, lonjakan inflasi yang terjadi pada September kali ini merupakan yang tertinggi sejak Januari 2020. ”Kami akan terus mendata apakah pada bulan berikutnya akan terus terjadi lonjakan inflasi atau bisa ditekan,” ucap Sukerik.
Inflasi dipicu oleh kenaikan harga pada kelompok transportasi sebesar 17,53 persen, kelompok makanan, minuman, dan tembakau (9,96 persen), dan kelompok rekreasi, olahraga dan budaya (6,87 persen). Adapun komoditas dominan penyumbang inflasi pada bulan September adalah bahan bakar minyak dengan andil inflasi sebesar 0,917 persen, beras (0,129 persen), dan tarif ojek daring (0,079 persen).
Sukerik menyatakan, inflasi yang terjadi di Sumsel itu lebih disebabkan oleh perubahan harga yang diatur oleh pemerintah.
Jaga pasokan
Menanggapi kenaikan ini, Kepala Bank Indonesia Perwakilan Sumsel Erwin Soeriadimadja menyatakan, lonjakan inflasi memang telah diprediksi sebagai akibat kenaikan harga BBM. Lonjakan inflasi diprediksi berkisar 0,8 persen-1,5 persen.
Dalam kondisi saat ini, lanjut Erwin, pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan terkait harus melakukan intervensi untuk mengantisipasi lonjakan inflasi. Misalnya, dengan memasifkan operasi pasar dan memastikan ketersediaan pasokan beberapa komoditas rentan, termasuk memberikan subsidi ongkos angkut agar harga bahan pangan di pasar bisa lebih terkendali.
Adapun untuk beras, kenaikan harga lebih disebabkan oleh menurunnya produksi akibat anomali cuaca sehingga memicu kenaikan harga gabah yang cukup tinggi .”Kita harus berusaha untuk menjaga stabilitas harga pangan agar terjangkau bagi masyarakat,” ucapnya.
Caranya dengan meningkatkan produksi komoditas pangan dengan cara memperluas gerakan tanam dan juga meningkatkan hubungan kerja sama antardaerah untuk mengantisipasi risiko kelangkaan komoditas tertentu. ”Daerah yang surplus harus memasok ke daerah yang mengalami kekurangan pasokan,” ujar Erwin.
Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melakukan operasi pasar beras di sejumlah pasar di Palembang dengan memberikan subsidi untuk mendorong daya beli. ”Cara ini akan efektif jika dilakukan secara masif dan serentak di seluruh daerah di Sumsel,” katanya. Jika skema kerja ini berjalan baik, harapannya inflasi di Sumsel bisa ditekan di angka kurang dari 5 persen.
Daerah yang surplus harus memasok ke daerah yang mengalami kekurangan pasokan. (Erwin Soeriadimadja)
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menyatakan, tugas pemerintah daerah saat ini adalah memastikan komoditas di Sumsel tersedia dengan harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Karena itu, peningkatan produksi komoditas pangan adalah hal yang yang harus dilakukan. ”Saya terus mendorong masyarakat untuk lebih produktif menanam komoditas pangannya mulai dari rumah,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah terus melakukan operasi pasar dengan memanfaatkan hasil refocusing APBD. Untuk saat ini, Pemprov Sumsel menyediakan anggaran sekitar Rp 19 miliar untuk menekan inflasi dengan memberikan subsidi bahan pangan dan ongkos angkut. ”Saya juga telah menginstruksikan pemerintah kabupaten dan kota melakukan hal serupa,” ujar Herman.
Pembangunan infrastruktur juga berkontribusi dalam memperlancar distribusi bahan pangan dan juga memotong ongkos angkut. Saat ini sekitar 93 persen jalan provinsi sudah dalam kondisi mantap, 94 persen jalan nasional juga baik.
Yang masih menjadi masalah adalah jalan kabupaten dan kota yang baru 52 persen yang dalam kondisi mantap. ”Inilah yang harus terus dibenahi, setidaknya jalan dari sentra pertanian ke pasar yang harus sudah baik sehingga ongkos angkut bisa lebih murah,” ucapnya.