Aremania Korban ”Tragedi Kanjuruhan” Dapat Pendampingan
Korban tragedi Kanjuruhan mendapat pendampingan dari Peradi untuk mendapatkan hak mereka.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Perhimpunan Advokat Indonesia Kepanjen mendampingi suporter Aremania yang menjadi korban dalam kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, seusai laga Arema FC versus Persebaya pada Sabtu (1/10/2022). Untuk tahap awal ini, pendampingan dilakukan sampai para korban mendapatkan hak-hak mereka. Setelah itu, baru dipikirkan langkah hukum berikutnya.
Wakil Ketua I Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kepanjen Agus Subyantoro, Senin (3/10/2022), mengatakan, pendampingan dilakukan agar keluarga korban mendapatkan keadilan. ”Kalau hak mereka tidak terpenuhi, kami akan melakukan langkah hukum berikutnya, melakukan class action,” ujarnya.
Menurut Agus, untuk sementara ini, pihaknya berkeliling ke rumah sakit dan keluarga korban agar biaya perawatan bisa ditanggung oleh pemerintah daerah. Untuk korban yang hanya menjalani perawatan di rumah, diupayakan agar bisa dirujuk ke rumah sakit. Peradi Kepanjen mengaku berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat untuk menangani masalah ini.
”Kami prioritaskan yang lagi rawat inap dan rawat jalan. Setelah rawat inap dan jalan selesai, kami baru ke korban meninggal. Hak-haknya seperti apa, itu yang akan diperjuangkan,” katanya. Sejauh ini, lanjut Agus, jumlah korban yang didampingi masih kurang dari 10 orang. Pihaknya membuka posko di Kantor Peradi Kepanjen jika ada keluarga lain yang mengadu.
Sementara itu, Slamet Sanjoko, Aremania Koordinator Wilayah ”The Black Lion” Bantur, mengatakan, pihaknya berharap ada pertanggungjawaban terkait tragedi ini. Jangan sampai rekan-rekannya yang bergelimpangan diabaikan. Proses hukum harus berjalan.
Sanjoko pun memberikan testimoni seputar peristiwa memilukan itu. Menurut dia, awalnya ada dua suporter yang masuk ke lapangan. Keduanya hendak berfoto dengan pemain Arema. Sanjoko sendiri saat itu hendak memungut atribut yang terpasang di sisi depan tribun.
Ternyata, setelah masuk, keduanya tidak berfoto. Keduanya mendekat ke pemain, tapi sang pemain lari. Dari situ kemudian terjadi bentrok dengan petugas. ”Di situ pemicunya. Suporter yang ada di tribune timur akhirnya naik semua. Tak terkendali. Namun, kami menginstruksikan teman-teman dari Black Lion wilayah Bantur untuk tidak ikut-ikutan turun ke lapangan. Ayo, ambil bendera (atribut) dan keluar. Yang perempuan segera keluar dulu,” ujarnya.
Namun, setelah 3 menit keluar gerbang (pintu kecil), menurut Sanjoko, ada tembakan gas air mata ke arah tribune. ”Di situ kami lolos. Setelah itu tidak paham apa yang terjadi di dalam stadion. Teman kami menghubungi dia terjebak, mata pedih. Waktu itu lampu stadion juga mati,” ucapnya.
Yang menjadi pertanyaan Sanjoko, mengapa sampai ada pelepasan gas air mata. Kalau tujuannya menembak suporter yang masuk ke lapangan, bisa dimaklumi. Namun, jika arahnya ke tribune, itu yang menjadi pertanyaan besar.
”Kalau kata sebagian (orang) ini kesalahan polisi. Tidak hanya polisi, tetapi juga manajemen Arema mengapa tidak melarang. Kami Aremania mengeluarkan biaya sendiri untuk Arema. Kami cinta Kanjuruhan dan kuburan kami di Kanjuruhan juga. Bukan karena pertarungan suporter. Mirisnya, kan, itu. Kami kayak dibantai dalam sebuah kurungan, tidak bisa keluar. Saudara kami, perempuan, anak-anak, jadi korban,” katanya.
Disinggung soal kondisi pintu keluar saat kejadian apa masih tertutup? Sanjoko mengatakan, pintu di sisi selatan papan skor sudah terbuka. Meski begitu, tidak memungkinkan semua orang dari segala arah bisa berebut keluar dari situ semua. Adapun untuk pintu yang lain, dirinya tidak tahu. ”Tapi, kalau pintu loket sudah terbuka sebelum pertandingan selesai, namun banyak yang berebut,” katanya.
Dia pun berharap agar rekan-rekannya yang meninggal tidak dibiarkan tanpa ada klarifikasi yang jelas. ”Mesti ada pertanggungjawaban, keadilan untuk kami. Di luar pertandingan, suporter itu adalah rakyat,” ujarnya.