Menguatkan Ketahanan Pangan lewat Rumah Burung Hantu
Pelestarian habitat burung hantu di Dusun Bendet di Sidoarjo, Jawa Timur, untuk membantu petani membasmi hama tikus. Terobosan yang membantu keseimbangan lingkungan dan menekan biaya produksi petani.
Kenaikan harga bahan bakar minyak telah memicu naiknya biaya produksi usaha tani. Petani pun dituntut menaikkan produktivitas hasil panennya sekaligus menekan ongkos produksi agar kesejahteraan tetap terjaga. Salah satu caranya membangun rumah burung hantu untuk mengendalikan serangan hama tikus.
Tiga rumah burung hantu (rubuha) resmi berdiri di area persawahan Dusun Bendet, Desa Pagarngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (25/9/2022). Kehadiran rumah tersebut melengkapi sebuah rubuha sebelumnya yang telah beroperasi selama lebih kurang setahun belakangan.
Pengoperasian tiga rubuha baru ini diyakini memperkuat peran rubuha yang telah berpenghuni seekor burung hantu (Tyto alba). Ketua Kelompok Tani Dusun Bendet Suwardi mengatakan, sebelum ada burung hantu yang bermukim di ladangnya, tanaman padi dan kedelai petani terus diserang hama tikus yang populasinya semakin meningkat dari waktu ke waktu.
”Akibat serangan hama tikus itu, petani sulit memperoleh hasil panen 1 ton kedelai per hektar tanaman. Padahal, idealnya hasil panen diatas 2 ton per ha. Upaya pemberantasan hama tikus dengan menggunakan obat-obatan kimia dilakukan terus-menerus tetapi hasilnya tetap tidak maksimal,” ujar Suwardi.
Baca juga: Antisipasi Hama Tikus dengan Burung Hantu di Sidoarjo
Petani menggunakan pestisida atau racun tikus pada pagi, siang, dan malam hari. Harga pestisida kimia ini rata-rata Rp 10.000 per bungkus sehingga petani minimal merogoh koceknya Rp 30.000 per hari hanya untuk membasmi tikus. Racun tikus itu harus dipasang selama proses pemasakan buah atau sekitar dua pekan hingga sebulan.
Alhasil, biaya operasional yang dikeluarkan petani hanya untuk membasmi tikus mencapai ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Biaya itu sangat membebani ongkos produksi usaha tani. Biaya lain yang wajib dikeluarkan adalah pembelian benih, pupuk, dan pembelian obat-obatan lainnya.
Selain itu, petani harus membayar upah buruh tani, biaya panen hingga pengeringan kedelai atau padi hasil panen. Setelah kedelainya kering, petani harus menggilingkannya untuk memisahkan biji kedelai dari kulitnya.
”Akibat naiknya harga bahan bakar minyak, terutama solar, ongkos giling padi dan kedelai juga ikut naik. Kenaikannya mencapai 30 persen sehingga sangat membebani petani. Pada saat bersamaan, upah buruh juga naik lebih dari 200 persen,” ujar Suwardi.
Ongkos giling kedelai, misalnya, naik dari Rp 70.000 per zak menjadi Rp 100.000. Adapun upah buruh tani naik dari Rp 50.000 per orang menjadi Rp 110.000. BBM juga berdampak pada naiknya obat-obatan kimia pembasmi hama dan penyakit.
Baca juga: Kendalikan Perdagangan Burung Hantu
Petani di Dusun Bendet tak bisa tinggal diam ketika hasil panennya terus turun karena serangan hama tikus, sementara biaya produksi terus naik imbas kenaikan harga BBM. Setelah berikhtiar, petani akhirnya sadar bahwa mereka harus kembali pada agensia hayati untuk membasmi hama tikus.
Selain burung hantu, predator tikus adalah ular. Namun, populasi ular terus menurun karena perburuan secara masif oleh masyarakat. Pilihan kemudian jatuh pada burung hantu meskipun prosesnya tidak mudah. Ada stigma negatif yang melekat kuat di masyarakat, kehadiran burung hantu identik dengan kematian dan bencana atau pagebluk.
Salah satu pemuda di Dusun Bendet, Achmad Irfandi, mengatakan, awalnya petani membangun rumah burung hantu secara sederhana. Setelah seekor burung hantu bermukim di sana, petani mulai menerima manfaat yang signifikan. Banyak bangkai tikus ditemukan di sawah setiap hari sehingga populasinya berangsur berkurang.
”Setelah merasakan manfaatnya, petani akhirnya sadar, perlunya pelestarian populasi burung hantu untuk membasmi hama tikus yang merusak tanaman padi dan kedelai,” ujar pendiri Kampung Lali Gadget ini.
Irfandi lantas menggandeng teman-teman dari komunitas pencinta burung hantu, Owl Pride of Sidoarjo (OPOS). Mereka menginisiasi pelestarian habitat burung hantu untuk membantu petani di Dusun Bendet membasmi hama tikus. Komunitas ini pula yang membantu pembuatan rubuha karena biayanya cukup mahal, yakni sekitar Rp 500.000 hingga jutaan rupiah per rumah.
Cara ini cukup efektif dan juga ramah lingkungan bahkan mampu mengembalikan keseimbangan ekosistem. Hal itu juga bisa menekan biaya produksi petani untuk pembelian obat-obatan yakni racun tikus yang harganya cukup mahal.
Sekretaris Desa Pagarngumbuk Wawan Hariyono mengatakan, setelah melestarikan habitat burung hantu, hasil panen petani meningkat menjadi 2-2,5 ton per ha. Peningkatan hasil panen itu berdampak signifikan terhadap kesejahteraan petani. Apalagi, mereka tak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli racun tikus.
”Petani sangat terbantu dengan kehadiran burung hantu. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk menambah rubuha agar semakin banyak burung hantu yang menjaga tanaman mereka dari serangan hama tikus,” ujar Wawan.
Wawan menambahkan, empat rubuha diharapkan mampu menjaga lahan pertanian seluas 6 ha di Dusun Bendet dan 38 ha di tanaman kedelai petani di desanya. Agar populasi burung hantu tetap terjaga, pemerintah desa melarang perburuan satwa tersebut.
Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Sidoarjo, Muhammad Rudy Al Amin, mengatakan upaya mengendalikan hama tikus melalui predator alami burung hantu sudah mulai dikembangkan oleh banyak petani di wilayahnya sejak 2014. Bahkan, saat ini tercatat sudah 308 rubuha dibangun di sawah untuk mengendalikan serangan tikus.
”Cara ini cukup efektif dan juga ramah lingkungan bahkan mampu mengembalikan keseimbangan ekosistem. Hal itu juga bisa menekan biaya produksi petani untuk pembelian obat-obatan, yakni racun tikus, yang harganya cukup mahal,” kata Rudy.
Rudy menambahkan, burung hantu tidak bisa membangun rumah sendiri. Mereka juga bersikap teritori atau mendominasi satu wilayah sendirian. Oleh karena itu, untuk melestarikan habitat burung hantu, petani harus membuatkan rumah. Satu burung hantu satu rumah.
Pembangunan 308 rubuha dilakukan melalui sinergi dengan institusi lain. Sebanyak 12 rubuha sumber anggarannya berasal dari APBD Jatim dan 54 rubuha dibiayai oleh Pemkab Sidoarjo. Adapun sisanya, ratusan rubuha lainnya, merupakan upaya swadaya petani dibantu pihak swasta.
Petani di Sidoarjo memiliki kesadaran yang bagus tentang upaya pembasmian hama menggunakan agensia hayati untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem pertanian. Mereka mau mengeluarkan biaya untuk membangun rubuha. Tantangannya adalah pengadaan burung hantu yang sulit dilakukan karena satwa ini dilarang diperjualbelikan.
Salah satu upayanya menggandeng komunitas pencinta burung hantu dan perusahaan swasta, seperti PT Pertamina Patra Niaga. OPOS membantu pengadaan burung hantu, sedangkan Pertamina membantu pembangunan rubuha. Sinergi ini diyakini bakal meningkatkan produktivitas pertanian di Sidoarjo, menekan biaya produksi usaha tani, menekan penggunaan obat-obatan kimia, dan pada akhirnya mengembalikan keseimbangan ekosistem lingkungan.
Rudy mengatakan, Pemkab Sidoarjo setiap tahun menganggarkan penambahan rubuha untuk membantu petani. Luas area lahan pertanian produktif di wilayahnya saat ini mencapai 10.000 ha, mayoritas ditanami padi. Namun, pada musim kemarau, sebagian petani yang lahannya sulit air akan menanam palawija, seperti kedelai, jagung, dan buah-buahan.
Supervisor Receiving Storage Pertamina DPPU Juanda Chandra Juliantoro mengatakan, pihaknya akan membantu pembangunan rubuha lebih banyak lagi apabila upaya pelestarian di Dusun Bendet berhasil dengan baik. Pihaknya mendukung Langkah masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional melalui pelestarian burung hantu sebagai predator alami hama tikus.
Sidoarjo merupakan salah satu daerah produsen pangan di Jatim. Adapun Jatim merupakan lumbung pangan nasional dengan produksi 9,79 juta ton gabah kering giling pada 2021. Produksi gabah tersebut menghasilkan 5,65 juta ton beras dan menjadikan Jatim sebagai penyokong kebutuhan pangan nasional.
Langkah kecil petani di Dusun Bendet ini diharapkan bisa menginspirasi petani di daerah lain yang kini tengah berjuang memerangi hama tikus yang mengerat lumbung pangan. Di tengah krisis akibat kenaikan harga BBM dan gejolak geopolitik internasional, menjaga produktivitas pangan dan menekan kenaikan biaya produksi menjadi langkah nyata memperkuat ketahanan pangan nasional.
Baca juga: Petani Khawatir Hama Tikus Mengganas