Siapa Pun yang Bertikai, Anak dan Perempuan Selalu Rentan Jadi Korban KDRT
Anak dan perempuan selalu menjadi korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Relasi kuasa yang timpang membuat kasus ini selalu menghancurkan masa depan korban.
Setelah terpisah lebih dari lima tahun, Suwarti (47) akhirnya bertemu dengan anaknya, R (6). Ia bahagia. Namun, ia juga bersedih. Anaknya itu menjadi korban penganiayaan. Pelakunya, AM, ibu sambung R. Ironisnya, AM juga pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Suwarti berjumpa dengan buah hatinya di kantor Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (1/10/2022) siang. Saat melihat anak laki-laki bermata bulat dengan bulu mata lentik itu, ia menangis. Tangannya memeluk R. Dengan suara pelan, R memanggilnya ”mama”.
Ini kali pertama ia mendengar anaknya menyapanya dalam lima tahun terakhir. Suwarti masih ingat ketika ingin mudik dari Jakarta ke Yogyakarta tahun 2016. Kala itu, ia hamil enam bulan. Namun, saat di jalan pantai utara Cirebon, ia kontraksi.
Suwarti akhirnya melahirkan R secara prematur di RSUD Waled, Cirebon. ”Dulu, ada berita ibu ninggalin anaknya di rumah sakit. Itu saya. Padahal, saya lagi cari kontrakan waktu itu. Harusnya anak saya masuk ICU (ruang intensif), tapi saya enggak punya BPJS,” kenangnya.
Tanpa kartu badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan, ibu tiga anak ini akhirnya memilih merawat R semampunya. Seorang bidan membantunya bolak balik rumah sakit selama tiga bulan. Suwarti menetap sementara di Cirebon sebagai asisten rumah tangga di Kecamatan Pabuaran.
Baca juga: Kasus Dugaan Kekerasan Anak oleh Polisi Dilimpahkan ke Kejaksaan Cirebon
Di sana ia mengenal AM (46), tetangganya. ”Dia sering ke rumah. Katanya, senang adopsi karena enggak punya anak cowok. Saya bilang yang penting ngasuhnya baik-baik. Ada surat perjanjian supaya ngerawat anak saya,” ujar Suwarti yang mengaku tidak memberi uang AM.
Suwarti kalut ketika melepas anaknya yang baru sekitar lima bulan. Perempuan lulusan sekolah menengah atas ini mengatakan harus ke Jakarta untuk bekerja dan fokus membiayai sekolah kedua anaknya yang lain. Pada saat yang sama, ia juga bercerai dengan suaminya.
Dampaknya fatal. Seiring waktu, ia kehilangan kontak dengan AM. Suwarti juga belum sempat ke Cirebon mencari R karena sibuk bekerja sebagai pengasuh anak. Beberapa hari lalu, keluarganya tiba-tiba mendapat kabar dari polisi. Katanya, R, menjadi korban penganiayaan.
Tersangkanya tak lain adalah AM. Tubuh mungil R ”merekam” kekerasan itu. Beberapa bagian kepalanya tampak pitak. Bahkan, luka di belakang kepalanya masih basah, menempel dengan rambutnya. Bintik-bintik bekas luka bakar ada di tangannya. Lengan kanannya yang mungil bahkan bengkok.
Kasus itu terungkap setelah warga melapor ke polisi dan viral di media sosial pertengahan September 2022. Polisi lalu menangkap AM. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Cirebon juga membawa R ke rumah aman. Tubuh R demam. Dia bahkan trauma saat bertemu orang lain.
Polisi dan KPAID Cirebon pun menelusuri keberadaan Suwarti hingga ke Gunung Kidul, Yogyakarta. Akhirnya, ia ditemukan. ”Saya mau asuh anak sendiri atau dibawa ke kampung. Kalau soal uang, pintar-pintar kita aja ngatur,” kata Suwarti, pekerja berupah Rp 3,5 juta per bulan ini.
Lingkaran setan
Suwarti tak habis pikir, anaknya jadi korban kekerasan. Namun, berdasarkan penyidikan polisi, AM juga merupakan korban KDRT. AM korban lingkaran setan KDRT yang mematikan.
”Dia dulu sering dipukul suaminya,” kata Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Cirebon Inspektur Satu Dwi Hartati.
Dwi menuturkan, akibat KDRT itu, AM akhirnya bercerai dengan suaminya sebelumnya itu. Dari pernikahan pertama itu, ia punya dua anak.
AM kini menikah dengan yang orang lain dua tahun lalu. Kini, ia terancam penjara maksimal 10 tahun karena melakukan kekerasan terhadap R, empat tahun terakhir.
Berkaca dari kasus itu, Ketua KPAID Kabupaten Cirebon Fifi Sofiah mengatakan, KDRT telah memicu AM melakukan hal serupa terhadap R. ”Anak selalu jadi korban paling terdampak. R ini sempat trauma. Kalau dengar orang berteriak, dia langsung ketakutan, sembunyi,” ujarnya.
R juga belum masuk sekolah formal, meskipun usianya sudah bisa ke taman kanak-kanak. Tubuhnya lebih pendek dibandingkan anak seusianya.
”Anak ini stunting (kondisi gagal tumbuh). Kami tetap akan memantau R meskipun sudah sama ibu kandungnya,” ucapnya.
R hanya salah satu dari kisah kelam KDRT. Saat ini, Polresta Cirebon tengah menyidik dugaan kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan CH, anggota Polres Cirebon Kota berpangkat brigadir satu. Korbannya adalah anak tirinya yang berusia 11 tahun. Kasus ini juga viral.
Baca juga : Diduga Depresi, Anak Korban Perundungan di Tasikmalaya Meninggal
Kepala Polresta Cirebon Komisaris Besar Arif Budiman mengatakan, berkas kasus dugaan KDRT itu sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Kabupaten Cirebon. Pihaknya berjanji profesional menangani kasus itu. ”Kalau ada pelanggaran oleh penyidik, kami tidak menoleransi,” ujarnya.
Arif juga membuka diri agar masyarakat melapor jika menemukan kasus dugaan KDRT. Pihaknya berkomitmen mengawal kasus itu hingga tuntas, seperti yang terjadi pada R. Tahun lalu, pihaknya menangani 15 kasus KDRT atau meningkat dibandingkan 3 kasus tahun 2020.
Dalam skala nasional, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak mencatat, tahun 2020 terdapat 5.320 kasus dan meningkat menjadi 6.045 kasus tahun selanjutnya. Jumlah korban juga bertambah dari 5.362 orang pada 2020 menjadi 6.097 orang pada tahun lalu.
Tidak hanya warga biasa seperti R, kalangan artis juga bisa jadi pelaku dan korban KDRT. Penyanyi Lestiani alias Lesti Kejora, misalnya, diduga menjadi korban kekerasan oleh suaminya yang juga selebritas, Rizky Billar. Kasus pasangan yang baru saja memiliki satu anak ini pun viral di media sosial. Di antara hiruk pikuk kabar ini, masa depan anak pasangan itu jelas tidak boleh dilupakan.
Manajer Program Women Crisis Center Mawar Balqis, lembaga pendampingan kekerasan terhadap anak dan perempuan, Sa’adah, mengatakan, KDRT terjadi karena relasi kuasa yang timpang apa pun profesinya. Misalnya, suami merasa lebih berkuasa kepada istri dan anaknya.
”Pelaku dan korban kekerasan bisa siapa saja. Makanya, kita harus mendengarkan korban. Jangan buru-buru bilang, ah, enggak mungkin dia melakukan (KDRT) itu,” ujar Sa’adah. Pandangan itu justru membuat korban enggan melapor. Apalagi, KDRT dianggap ranah privat.
Padahal, seperti R, korban bisa mengalami luka di tubuh juga trauma psikis. Sejak 18 tahun lalu, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah mengatur KDRT sebagai tindakan pidana.
Regulasi itu mengamanatkan agar pemerintah menyosialisasikan hingga mengadvokasi soal KDRT. Adapun masyarakat yang mendengar, melihat, atau mengetahui KDRT wajib berupaya sesuai batas kemampuannya. Artinya, semua pihak punya peran mencegah kasus ini.
Jangan sampai kekerasan yang menimpa anak seperti R terus berulang. Menjelang tengah hari, R merengek ke Suwarti untuk segera pulang. R tidak hanya ingin kembali ke tempat tinggalnya. Tetapi juga rumah sesungguhnya, yang membuatnya merasa aman dari kekerasan.
Baca juga: Lagi, Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Cirebon