Diduga Depresi, Anak Korban Perundungan di Tasikmalaya Meninggal
Korban berinisial F (11) diduga depresi setelah dipaksa melakukan perbuatan asusila terhadap kucing dan videonya tersebar di media sosial.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti (berdiri), menjelaskan seriusnya masalah perundungan.
BANDUNG, KOMPAS — Seorang anak dari Tasikmalaya, Jawa Barat, diduga mendapatkan perundungan karena disuruh melakukan tindakan asusila terhadap kucing. Anak yang tumbuh kembangnya lambat ini akhirnya meninggal diduga karena depresi setelah aksi itu viral di media sosial.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto menyampaikan, anak berinisial F (11) ini meninggal pada Minggu (17/7/2022) malam. Sebelumnya, F diketahui mendapatkan perundungan dan dipaksa melakukan persetubuhan dengan kucing.
Tindakan asusila ini kemudian diunggah di media sosial. Ato memaparkan, video tersebut berdurasi sekitar 35 detik dan terjadi pada akhir Juni 2022. Tindakan ini berdampak pada perubahan perilaku korban yang menjadi pendiam serta tidak mau makan dan minum.
”Video tidak senonoh ini dari salah satu wilayah di Kabupaten Tasikmalaya. Kami melakukan pendalaman dan dari gejala yang dialami korban, diduga meninggal akibat depresi. ”
Ato berujar, korban F mengalami keterlambatan dalam tumbuh kembangnya sehingga memicu perundungan. Sebelum dipaksa melakukan tindakan asusila ini, korban juga kerap mengalami kekerasan.
”Kejadian ini diduga melibatkan empat anak. Para terduga pelaku ini berusia lebih tua dari korban dan mereka yang memaksa korban melakukan tindakan asusila tersebut lalu merekamnya,” ujar Ato.
Korban berasal dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Ato, F merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Orangtua F bekerja serabutan dan tinggal di rumah semipermanen berdinding bilik.
”Setelah mendapatkan temuan video dan mengetahui kondisi korban, kami melakukan asistensi kepada keluarganya. Para terduga pelaku juga kami laporkan ke kepolisian karena keluarga korban tidak memungkinkan untuk melapor,” ujarnya.
Laporan ini, lanjut Ato, dilakukan agar terduga pelaku mendapatkan edukasi yang lebih baik. Dia berujar, meskipun menjadi pelaku, mereka masih berumur anak-anak yang menjadi tanggung jawab bersama agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Seorang pelajar tengah menyelesaikan lukisan tentang stop perundungan pada anak di RPTRA Cengkareng Utama, Jakarta Barat, Rabu (26/6/2019) pagi.
Psikolog dari Biro Psikologi Dandiah Care, Diah Mahmudah, menyayangkan tindakan tidak terpuji tersebut. Dia berujar, kondisi ini terjadi karena kurangnya pengawasan dan pendampingan keluarga dan orang dewasa di lingkungan korban dan pelaku.
”Berdasarkan yang saya lihat dari pemberitaan, ini sudah memasuki tindakan perundungan. Selain destruktif dan bermotif agresi, ada pengulangan di sini. Selain itu, tindakan ini juga dilakukan secara kolektif oleh yang kuat terhadap yang lebih lemah,” ujarnya.
Menurut Diah, perundungan terjadi karena kurangnya harga diri dari anak, baik korban maupun terduga pelaku. Dari segi korban, kondisi ini bisa dilihat dari ketidakberdayaannya dalam melawan dan menolak para pelaku untuk melakukan tindakan tersebut.
Sementara itu, dari segi terduga pelaku, tindakan pemaksaan tersebut menandakan mereka perlu melakukan tindakan yang di luar nalar, bahkan asusila, untuk mendapatkan pengakuan dan perhatian dari lingkungan. Untuk meningkatkan harga diri itu, lanjut Diah, perlu peran orangtua dalam memperhatikan anak.
”Saya menyayangkan karena kondisi ini bisa terjadi karena kegagalan parenting. Perundungan ini terjadi karena anak-anak ini menilai diri mereka lebih rendah. Itu tanggung jawab orangtua dan orang dewasa di lingkungannya untuk memperhatikan hal tersebut,” ujar salah satu penulis buku Literasi Emosi tersebut.
Menurut Diah, kondisi ini merupakan fenomena gunung es karena orangtua yang kurang memperhatikan kondisi anak, mulai dari lingkaran pertemanan hingga media sosial yang hadir di sekitar mereka. Dampak tontonan negatif yang dikonsumsi anak bahkan memberikan efek buruk.
Diah berujar, tindakan irasional, bahkan asusila yang melanggar norma sosial dan agama, bisa terjadi di kalangan anak-anak, terutama usia remaja. Karena itu, dia berharap orangtua kembali hadir, memenuhi hak-hak anak, dan memberikan literasi emosi yang menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan.
”Mari jadikan potret korban F ini cerminan bagi para orangtua, mari kembali ke rumah. Perhatikan dan penuhi hak-hak anak,” ujarnya.